Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Home?
"Apa Jihan harus mati dulu, supaya kalian berhenti nyakitin Jihan?"
..._________________...
Abintang menghentikan motornya di depan halaman rumah Jihan. Tanpa sepatah katapun Jihan langsung turun dan menyerahkan helemnya. Abintang menerimanya dengan tenang.
"Habis ini langsung mandi air hangat, supaya gak kedinginan. Maaf ya, kamu jadi kehujanan gara-gara aku." Entah suara Abintang yang begitu perhatian, sedikit asing di telinga Jihan.
Gadis itu tak menjawab sedikit pun hanya mengangguk lalu membuang muka, enggan bertatapan langsung dengan Abintang.
Lelaki itu memandang Jihan sendu. Kecewa karena sedari tadi Jihan mengacuhkan dirinya.
Tak apa, Abintang memang pantas di perlakukan seperti itu.
Jihan berhak marah.
"Yaudah, aku pamit dulu," Ujarnya pasrah. Abintang tersenyum tipis ketika ia tak mendapatkan respon.
Merasa tak di perlukan lagi, Abintang langsung menyalakan motornya pergi dari halaman rumah Jihan. Sesekali melirik sosok perempuan itu dari kaca spion.
Hatinya berdesir melihat Jihan masih setia menunggu ia benar-benar pergi, meskipun tidak memandang langsung. Tapi itu cukup untuk membuktikan bahwa Jihan masih peduli padanya, walau dari luar terkesan cuek.
Setelah motor Abintang menghilang, Jihan langsung melangkah masuk kedalam rumah. Tatapannya kosong, seperti boneka tanpa nyawa.
Kepalanya menoleh ke atas. Langit yang tadinya mendung kini telah menunjukkan sinarnya. Tampak indah dengan warna jingga yang hangat.
Ia menutup matanya yang sembab. Menghirup udara di sekitarnya secara pelan. Di hembusnya perlahan, lalu bibirnya terangkat tipis.
"Bunuh diri itu dosa gak, ya?"
Wushhh!
Semilir angin menerpa wajahnya. Menerbangkan setetes air yang jatuh dari pelupuk mata.
Alam pun menegurnya, bahwa perkataan yang baru saja ia lontarkan tak akan pernah merubah apa-apa.
Dan kini...
Jihan berada di titik terendah dalam hidupnya.
Antara memilih hidup dalam kesengsaraan, atau mendahului takdirnya lebih cepat.
-
-
(Pemikiran yang tidak boleh ditiru⚠️)
×××××××
Pukul 18.30
Sebuah kantor yang berada di sudut timur kota sudah mulai sepi karena beberapa pegawai sudah beranjak pulang. Menyisakan beberapa pegawai yang berniat lembur.
Suara langkah kaki menggema di ruangan senyap itu. Sesosok pria berjas hitam dengan wibawa berdiri di depan meja salah seorang pekerja kantor di sana.
"Hendra, kenapa kamu masih di sini? Bukannya saya sudah menyuruh untuk pulang. Saya perhatikan dari kemarin kamu selalu lembur. Tidak baik untuk kesehatanmu, juga keluargamu pasti menunggu di rumah," Ujar pria itu ramah.
Hendra menatap Manager Galang sembari tersenyum canggung. "Pekerjaan saya masih banyak, Pak. Gak enak kalo di tinggal," Jawab Hendra formal. Meskipun Galang lebih muda darinya, Hendra tetap harus menghargainya.
Suasana kantor yang sunyi membuat percakapan mereka terdengar lebih keras. Beberapa pegawai yang masih lembur sedikit melirik, kemudian membuang muka tak peduli.
"Hasil dari pekerjaanmu memuaskan, Hendra. Jadi tak apa jika hari ini kamu istirahat dahulu. Apalagi kamu mempunyai anak gadis bukan? Dia pasti sudah menunggu ayahnya pulang sekarang." Perkataan Galang membuat Hendra terdiam seribu kata.
"Saya kebetulan juga punya anak gadis, setiap saya pulang dia pasti menyambut saya dengan rewel. Entah marah-marah karena saya pulang terlambat. Tapi itulah yang membuat saya senang, karena mendengar ocehan putri saya sendiri sedikit membuat lelah saya hilang," Ujar Galang lagi. Bibirnya terangkat tinggi, menunjukkan senyum manis saat mengingat kembali putrinya yang saat ini berada di rumah.
Lagi dan lagi Hendra hanya bisa terbungkam. Seperti sebuah kilatan petir yang menyambar hatinya. Bayangan yang tergambar jelas di ingatan Hendra adalah setiap ia pulang akan selalu bersikap kasar pada putrinya sendiri.
Entah mengguyur seember air ke tubuh Jihan yang sedang tidur, berupaya agar putrinya tidak menjadi pemalas dan terus belajar supaya menjadi anak yang membanggakan.
Perasaan bersalah mulai tersarang di benaknya. Tapi Hendra dengan cepat kembali menepis perasaan itu. Perilakunya sudah benar kan. Hendra ingin mendidik keras putrinya supaya tidak menjadi lemah dan tak bisa apa-apa. Pernah sesekali Hendra mengamati Jihan yang sedang menggambar desain baju diam-diam, tapi justru Hendra menghampirinya dan merebut kertas bergambar itu lalu menyobeknya hingga tak tersisa.
Bakat apa itu? Menggambar bukanlah sesuatu hal yang perlu di banggakan.
Tidak berguna.
"Baiklah, saya harus pergi untuk mengecek karyawan yang lain. Saran saya kmu lebih baik pulang. Siapa tahu sekarang putrimu sudah menunggu di depan rumah?" Ujar Galang dengan tawa ringan yang merdu.
Ha💸Ha💸Ha💸
Hendra akhirnya memilih untuk membereskan barang-barangnya. Dia memilih untuk pulang ke rumah. Berharap bisa bertemu putrinya.
Tapi bukan adegan keharmonisan yang Hendra harapkan, melainkan kesempatan Hendra untuk mengecek perkembangan belajar Jihan dari hari lalu hingga sekarang.
Kejam bukan?
*****
Di sisi lain, Arsen tengah memperhatikan sosok Jihan yang duduk di taman belakang rumah. Duduk di bawah pohon mangga yang lumayan besar. Gadis itu sedang menggambar sesuatu di bukunya, tapi Arsen tak tahu ia menggambar apa.
Sesuatu yang aneh mulai terlihat lebih jelas. Arsen memperhatikan tatapan Jihan yang kosong. Matanya melebar ketika adiknya mengambil pisau kecil dari kantung bajunya, mendekatkan benda itu pada pergelangan tangannya sendiri.
Arsen tertegun. Hatinya berdesir. Tubuhnya seakan melemas di tempat. Apa dia tidak salah lihat?
Ada rasa gejolak amarah yang terpendam dalam hatinya. Namun kenapa kakinya justru enggan untuk melangkah.
Mata tajamnya masih mengawasi gerak-gerik Jihan yang mulai meneteskan cairan merah dari tangannya ke sebuah kertas di pangkuan. Anehnya, kenapa gadis itu tak merasakan sakit?
Wajahnya tampak santai seperti sedang melukis pemandangan biasa. Entah kenapa perasaan Arsen mulai tak tenang melihat perilaku Jihan yang semakin pendiam akhir-akhir ini.
Lo kenapa, dek?