Jihan Alessa. Gadis ceria yang selalu mengejar cinta lelaki bernama Abintang Sagara.
Namun, ternyata perasaannya itu justru menambah luka di hidupnya. Hubungan yang seharusnya manis justru berakhir pahit. Mereka sama-sama memiliki luka, tetapi tanpa sadar mereka juga saling melukai karena itu.
"Suka lo itu bikin capek ya."
"Gue nggak pernah minta lo suka gue."
Rumah yang seharusnya tempat paling aman untuk singgah, justru menjadi tempat yang paling bahaya bagi Jihan. Dunia seakan mempermainkan hidupnya bagai badai menerjang sebuah pohon rapuh yang berharap tetap kokoh.
"Kamu adalah kesialan yang lahir!"
Itulah yang sering Jihan dengar.
Pada akhirnya aku pergi—Jihan Alessa
__________
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Affara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arsen
...Darimu aku belajar, bahwa bahagia hanya datang sementara dan menderita untuk selamanya. —Cuplikan bab selanjutnya...
...__________________________...
Arsen memerhatikan gerak-gerik Jihan dengan seksama. Semakin ia amati, justru Jihan semakin nekat berbuat jauh.
Pisau itu mencabik permukaan kulit Jihan, meninggalkan garis merah yang dalam. Dagingnya terlihat menganga sejenak sebelum genangan darah mengaburkan segalanya. Warnanya pekat, dan aromanya besi samar memenuhi udara.
Jihan menyandarkan punggungnya pada batang pohon di belakangnya. Kepalanya mendongak. Setetes air telah jatuh dari pelupuk mata. Bibirnya terkatup rapat, hanya ada napas yang perlahan mulai melemah.
"Mati itu enak, ya? Jihan pengen," Lirihnya pelan sembari tersenyum menatap dedaunan yang gugur.
Seperti di sambar petir, Arsen mematung sejenak mendengar kalimat yang terlontar dari mulut adiknya. Hatinya terasa diremas. Perasaan bersalah mulai tersarang dalam benaknya.
Ingatan-ingatan menyakitkan mulai berputar. Suara gadis kecil yang selalu ceria memanggil namanya, kini kembali terdengar.
"Abang Alsen! Liat deh! Jihan gambal kita beldua loh! Ini ada bang Alsen dan ini Jihan. Gimana, bagus gak?" Suara cadel gadis berumur 6 Tahun itu, tampak antusias menyambut kedatangan Arsen yang baru pulang sekolah.
Namun, Arsen tak meresponnya. Hanya melirik sekilas hasil tangan cantik adiknya tersebut lalu berjalan pergi menaiki tangga.
Antusias Jihan mulai luruh. Tetapi bibirnya masih terangkat meski kecewa. Dengan kaki kecilnya, ia berlari mengejar langkah besar Arsen.
"Abang gak mau nyimpen gambal Jihan?! Bagus loh! Jihan gambarnya pake pulpen walna-walni tauk!" Tapi Arsen tak menggubrisnya.
"IHHH ABANG TUNGGUIN JIHAN!!"
Sosok gadis kecil itu berusaha melangkahi tangga yang lumayan tinggi untuk seukuran kaki kecilnya. Kertas gambar di tangannya ia pegang erat-erat, seolah menjaga harta karun paling berharga di dunia.
"Abang Alsen mau kemana?! Jihan kan belum sempet nunjukin gambal Jihan! Kok Abang udah mau pelgi?" Celoteh Jihan mengembungkan pipinya kesal.
Melihat Arsen yang sudah menuruni tangga sedangkan Jihan masih berada di pertengahan anak tangga, karena sedikit kesulitan.
Arsen menghela napas panjang, ia melirik adik kecilnya dengan perasaan asing karena mereka jarang berinteraksi. Arsen mulai mendekati tubuh kecil Jihan, lalu menggendongnya dengan mudah.
Jihan tersenyum riang. Ia menunjukkan kertas gambarnya pada Arsen. "Abang liat gambal aku!! Bagus gak?" Tanya gadis cerewet itu.
Arsen tak menjawab, ia menuruni tangga sembari menggendong tubuh Jihan. Setelah itu menurunkan nya di lantai.
"Abang mau kemana? Jihan boleh ikut?"
"Gak!" tolak Arsen cepat.
Mata Jihan mulai berair. Tapi tatapan Arsen justru menajam. "Kenapa? Jihan kan mau ikut abang. Jihan janji gak nakal kok! Boleh ya..."
"Gak ada ikut-ikut! Abangmu mau les." Sosok Hendra yang baru datang membuat Jihan terkejut. Ekspresi gadis itu terlihat ketakutan.
Pria itu berjalan mendekat pada Jihan, tatapannya menusuk. "Siapa yang nyuruh kamu gambar hal gak berguna kayak gitu? Papah kan udah nyuruh kamu belajar! Kenapa kamu malah males-malesan hahh!!?" Bentak Hendra berapi-api hingga tubuh Jihan gemetar.
Pria itu merebut kertas dari genggaman Jihan dengan kasar. Meremasnya hingga tak terbentuk, lalu membantingnya ke lantai.
Mata Jihan memerah. Kepalanya menggeleng.
"Papah jangan... Ini ada abang Alsen sama Jihan... Jangan di hanculin," Lirih gadis kecil itu meraih kertas gambarnya yang terbuang.
Pandangan Hendra semakin menajam.
"Sudah berani kamu menjawab papah?! Masih kecil aja udah ngelawan orang tua, mau jadi anak durhaka kamu!!??" Kaki Hendra terangkat tinggi lalu menginjak tangan kecil gadis itu dengan keji. Menghalangi Jihan yang berusaha mengambil kertas di lantai.
Bugh!
Tangis Jihan pecah. Suaranya menjerit kecil.
Tangannya tetap erat menggenggam kertas gambarnya yang sudah tak terbentuk itu, meski kini tangannya sudah babak belur oleh injakan Hendra.
"Papah, sakit!" Keluh Jihan dengan suara yang amat lemah. Suara isakan nya terdengar memenuhi ruangan.
Apa salahnya? Ia hanya ingin menunjukkan hasil gambarnya pada abang kandungnya sendiri. Tetapi kenapa mereka menghukumnya seolah ia melakukan sebuah dosa besar?
Apakah itu adil.
Suara isakan Jihan menyayat siapapun yang mendengarnya. "Papah maafin Jihan... Tangan Jihan udah sakit hiks!"
Arsen hanya bisa terdiam melihat kejadian itu di depan matanya. Rasa marah menumpuk dalam dada, tapi tubuhnya tak mampu untuk sekedar bergerak.
Hanya satu kalimat yang membekas di hatinya. 'Jihan pantas mendapatkan itu.'
××××××
Arsen perlahan mendekat pada sosok Jihan yang terduduk lemas dengan mata terpejam, menyandar pada pohon. Pria itu segera melepaskan kaos putih yang di pakainya sehingga ia telanjang dada, lalu berjongkok di depan adiknya dengan sorot mata sulit terbaca.
Tangan Arsen meraih lengan Jihan pelan membuat gadis itu membuka matanya perlahan. "Lo telat bang," tutur Jihan membuang muka. Tak mau menatap pria yang selama ini ia harapkan menjadi tempat pelindung.
Arsen tak menjawab, hanya melipat bajunya lalu menggulung kan nya pada lengan Jihan yang terluka. Sejenak suasana menjadi sunyi, angin menerpa dedaunan hingga luruh ke tanah.
Hanya terdengar suara alam juga rintihan suara Jihan ketika Arsen mengikatkan kain bajunya lebih kencang. Sehingga kaos putih itu mulai berubah warna menjadi merah pekat yang membuat hati Arsen perih ketika melihatnya.
"Kenapa lo peduli bang?" tanya Jihan pada akhirnya, mulai menatap sosok kakak di depannya.
Helaan napas terdengar. Pria itu dengan pelan membelai pipi adiknya lembut. Mengusap air mata Jihan yang masih menetes.
"Luka lo obatin dulu." Arsen mengeluarkan sekantung plastik berisi obat dari kantung celananya. Ia tadi sempat mampir di apotik saat mengingat Jihan sedang sakit.
"Ini di minum. Lalu istirahat," Katanya singkat, kemudian beranjak berdiri.
Pria itu melirik sejenak pada raut wajah Jihan yang merenung kecewa. Ia pun menyindir, "Gak usah geer. Lo keliatan kasihan." Setelahnya ia menghilang masuk ke dalam rumah.
Jihan mengepalkan tangannya. Merasa tersinggung langsung melepas asal ikatan kain yang di berikan oleh Arsen, namun semakin ia mencoba melepaskan kain itu, ikatannya justru semakin kencang.
"Bastard!" Umpat Jihan frustasi.
Tanpa Jihan sadari.
Di balik dinding, sosok Arsen tengah bersembunyi sembari tersenyum tipis.
-
-
-
kasihan banget jadi jihan
semangat ubii/Bye-Bye//Applaud/
semangat y nulisnya /Bye-Bye/