Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Alina mengusap wajahnya setelah dzikir dan berdoa.
Ketika menoleh ke arah jendela, ia mendapati suaminya sedang berdiri di dekat jendela, menatapnya dengan senyum.
Wanita itu segera melipat mukena dan meletakkan kembali ke rak. Lalu, segera keluar dari masjid.
Pipinya bersemu merah saat Brayn menggandeng tangannya menuju mobil.
"Kak, boleh tanya sesuatu?" tanyanya, ketika Brayn memasang sabuk pengaman ke tubuhnya.
"Boleh, Dek."
"Pernah bertemu dengan Aisha, tidak?"
"Orang yang ditaksir Zayn?"
Alina mengangguk cepat.
"Pernah sekali di pernikahan Rafa dan Mia. Dia kerja di katering."
"Ingat wajahnya, tidak?"
"Sedikit, aku tidak terlalu perhatikan. Masih muda sih, tidak jauh beda dari kamu."
Alina melirik ke arah pintu masjid, melirik gadis yang baru keluar.
"Itu orangnya bukan, Kak?"
Brayn pun melirik ke arah yang ditunjuk Alina. Ia sempat berpikir sejenak untuk mengingat-ingat.
"Ya namanya baru sekali bertemu. Aku tidak terlalu ingat wajahnya."
"Tadi aku dengar orang itu curhat ke seorang ustadzah di masjid, aku dengar dia dipanggil Aisha. Terus, dia jodohkan dengan lelaki yang dia tidak suka, padahal dia punya pilihan sendiri. Tapi lelakinya itu miskin dan sering dihina keluarganya si Aisha itu."
Brayn mengangguk pelan.
"Khumairah, apa kamu tidak tahu kalau menguping pembicaraan orang apalagi kalau membicarakan aib itu dosa?"
Alina terkesiap, bukan reaksi seperti ini yang ia harapkan dari suaminya.
"Aku tidak ada niat menguping, Kak. Aku menunggu Kakak sambil dzikir sebentar. Tapi suara mereka kedengaran sampai telingaku. Bukan salah telingaku, kan?"
"Jadi, kamu fokus dzikir atau fokus dengar curhatan orang?"
"Duh, bukan gitu!" Gemas, ia mencubit lengan suaminya. "Aku hanya prihatin dengan yang namanya Aisha itu. Kasihan, Kak. Dia sebenarnya suka lelakinya yang katanya miskin itu, tapi keluarganya pilih lelaki kaya walaupun lelaki itu red flag."
"Jodoh tidak akan ke mana, Khumairah. Manusia bisa berencana, tapi jodoh tetap di tangan Allah."
"Kak, apa jangan-jangan dia benar-benar perempuan yang disukai Zayn? Tapi, apa Aisha tidak tahu siapa Zayn? Terus kenapa Zayn harus bohong dan bilang dia hanya tukang ojek?"
"Zayn tidak bohong. Dia memang tukang ojek, tapi untuk Aisha saja."
"Ibunya Aisha itu keterlaluan sekali menghina. Dia tidak tahu saja Zayn anaknya siapa."
Brayn hanya terkekeh.
"By the way, aku merasa sepertinya pernah melihat Ibunya si Aisha itu. Tapi, aku lupa lihat di mana. Wajah judesnya seperti tidak asing," ucap Alina, sambil berusaha mengingat wajah wanita yang dilihatnya tadi.
Ia merasa tidak asing dan seperti pernah bertemu sebelumnya.
Tapi di mana?
"Hemm ... Dora the explorer sepertinya akan ada versi di dunia nyata."
"Ih Kakak!" seru Alina gemas, sambil memukul lengan suaminya.
**
**
Waktu menunjuk pukul tujuh malam ketika Brayn dan Alina tiba di rumah. Malam itu suasana tampak sedang ramai.
Zahra dan Raka sedang bermain bersama Bastian.
Pak Vino sendiri sedang menunjukkan beberapa koleksi ikan hias di akuarium besar pada Rika, sementara Zayn sedang terduduk seorang diri di pojok sofa ruang keluarga.
Ada Bima yang sedang disuapi camilan oleh sang Oma.
"Dari mana nih pengantin baru?" tanya Oma.
"Habis lihat rumah, Oma," jawab Brayn, memilih duduk di sisi Zayn.
Alina ikut duduk di samping suaminya. Ia agak penasaran dengan Zayn dan kisah cintanya yang unik.
"Suka rumahnya?" tanya sang oma lagi.
"Alhamdulillah, suka, Oma," jawab Alina tersenyum.
"Besok jadi pindah?" tanya Pak Vino menoleh pada mereka.
"Insyaallah, Pa."
Selepas mengobrol sebentar dan shalat isya bersama, mereka menghabiskan waktu makan malam.
Lalu, kembali berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati camilan dan teh hangat.
Brayn sudah ke kamar lebih dulu, begitu pun dengan Raka dan Zahra yang malam ini akan menginap di rumah.
Sementara Alina masih betah menemani ibu mertuanya menonton drama Korea favoritnya sambil memijat kaki.
"Belum ngantuk, Nak? Biasanya pengantin baru itu cepat ke kamar," gurau Bu Resha.
"Filmnya sedang seru, Ma." Alina mengulas senyum tipis, pipinya bersemu merah.
"Takut diterkam anaknya Mama." Gerutuan itu hanya berani dalam hati.
Terlebih saat mengingat ancaman lima ronde dari sang dokter.
Alina masih sibuk memijat kaki sang mertua saat terdengar nada pesan masuk.
Tangannya cepat meraih benda tersebut dan membaca pesan yang baru saja masuk.
"Sedang apa di bawah?" tulis Brayn dalam pesan.
"Menemani Mama." Alina mengirimkan foto Bu Resha yang berbaring di sofa.
"Lima menit lagi kamu tidak kembali ke kamar, aku hukum sepuluh ronde!"
Kelopak mata Alina melebar membaca pesan bernada ancaman dari suaminya. Menarik napas dalam, ia meletakkan ponsel ke sudut sofa.
Ancaman lelaki itu sepertinya cukup membuatnya ketakutan.
Perlahan ia menurunkan kaki sang ibu mertua yang masih dipijatnya.
"Mama masih mau nonton?"
"Iya, sedang seru, nih. Kalau ngantuk, kamu ke kamar saja."
Sudut bibirnya melengkung tipis. "Kalau begitu aku duluan ke kamar ya, Ma."
"Iya, Sayang. Kamu harus banyak-banyak istirahat karena baru keluar dari rumah sakit. Bilang pada Brayn jangan membuat kamu kecapean dulu."
"Bagaimana bisa bilang, orangnya baru saja mengancam sepuluh ronde. Duh, gini amat punya suami predator." Namun, gerutuan itu hanya berani dalam hati, berbeda dengan bibirnya yang selalu mengumbar senyum.
"Iya, Ma."
"Biasanya lelaki itu tidak sadar kondisi badan istrinya siap atau tidak. Apalagi kalau sudah nafsu lebih dulu, akan dihajar terus," tambah wanita itu.
Pipi Alina sontak memerah, ia menunduk demi menyembunyikan agar tidak terlihat.
Aneh memang.
Padahal, dulu ia bukanlah tipe gadis yang mudah tersipu. Entah mengapa setelah menikah semuanya berubah.
Mengusap wajah karena merasa pipinya memanas dengan pembicaraan yang baginya kelewat vulgar.
Mungkinkah ini semacam hukuman dari semesta karena dulu di malam pernikahan Zahra, ia menggoda sahabatnya itu dengan menakut-nakuti tentang malam pertama.
Bahkan ia sempat membisikkan bahwa lelaki yang biasanya tampak tenang dan pendiam itu justru beringas di ranjang.
Kini, justru ia sendiri merasa ketakutan. Bak seekor kelinci yang hendak diterkam harimau lapar.
Wajah tampan seorang Brayn Hadiwijaya itu pun tak luput dari imajinasinya.
Ia bayangkan berubah layaknya harimau, sementara dirinya sendiri seperti anak kucing yang tidak berdaya.
"Aku ke kamar ya, Ma. Mama jangan banyak begadang. Tuh, Papa sudah menungggu dari tadi," ucap Alina memandang Pak Vino yang sedang berjalan ke arah mereka.
Papa mertuanya itu baru saja menidurkan Bastian di kamar.
"Tidak apa-apa. Apa sih yang tidak untuk Mama," tambah Pak Vino tertawa.
Ia mengambil bantal yang digunakan Bu Resha, sehingga wanita itu bisa berbaring dengan menggunakan pahanya sebagai bantal.
Tangannya kemudian membelai rambut panjang wanita itu.
Alina tersenyum dan bangkit dari sofa. Bisa meleleh jika melihat kebersamaan mertuanya.
Pak Vino adalah tipe suami paling hangat dan lembut yang pernah ia temui.
Lihatlah, pernikahan mereka sudah berjalan 28 tahun, namun keduanya masih terlihat hangat.
Entah kebaikan apa yang pernah dilakukan Bu Resha sampai mendapatkan sosok suami sempurna seperti Vino Hadiwijaya.
***********
***********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran