bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terjun ke jurang
Bab 34 – Terjun ke Jurang
Pistol sudah diarahkan ke kepala Amira.
Namun sebagai petarung terlatih, Amira tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Napasnya tenang. Mata tajamnya menatap ke lantai, menghitung detik.
Dengan gerakan cepat, ia menunduk, menyikut pergelangan tangan Alesandro dan merebut pistol dari genggamannya.
“Dor!”
Tembakan dilepaskan ke arah lampu gantung. Seketika, ruangan gelap gulita.
Amira tak membuang waktu. Ia meloncat, mengayun tubuh, dan berlari dalam kegelapan.
“Kejar dia! Cepat!” teriak Alesandro.
Langkah kaki berdentum di belakangnya, tapi Amira telah lebih dulu menerobos pintu gudang menuju hutan lebat. Setiap semak ia terjang. Tembakan demi tembakan ia lepaskan sambil berlari.
“Dor!” “Dor!” “Dor!”
Jeritan dan tumbangnya tubuh-tubuh musuh terdengar. Amira tak meleset. Tapi larinya kian menipis saat tiba di ujung tebing yang curam. Jurang menganga di depannya.
“Ceklek.”
Ia memeriksa magazin. Kosong.
“Ah, sial. Pelurunya habis,” desisnya.
Langkah kaki berat menghentak dari belakang. Suara Alesandro muncul dengan tawa sengit.
“Hahaha, akhirnya kau mati juga, bocah sialan.”
“Dor!”
Tembakan meletus.
Tubuh Amira meloncat ke udara. Tapi peluru sempat mengenai punggungnya sebelum ia menghilang ke dalam gelapnya jurang.
“Cepat kejar!” teriak Alesandro, mendekat ke tepi jurang. Matanya mencari-cari ke bawah. “Anak gila! Bisa-bisanya loncat ke jurang!”
“Tuan, besok saja. Kita belum punya perlengkapan untuk turun,” ujar anak buahnya.
...
Di tempat lain, Alecia menatap layar laptopnya dengan detak jantung tak beraturan. Hasil tes DNA terpampang jelas.
“55% cocok…” gumam Alecia, menahan napas.
Tangannya gemetar saat membuka hasil tes berikutnya—tes DNA antara dirinya dan Helena.
“99% cocok…”
Matanya membelalak. Napasnya tercekat.
"A... Amira kemungkinan besar adikku... dan anak Mama Helena… Lalu siapa yang memalsukan hasil tes DNA Amira selama ini?" bisiknya, suara parau.
Alecia berdiri tergesa, mengambil ponselnya dan menekan nomor Aston.
Tidak diangkat.
“Hey! Kalian lihat Ka Aston?!” tanyanya kepada dua bodyguard di lorong.
“Tuan Aston sedang pergi… bersama Nona…”
“Kemana mereka?!” sergah Alecia panik.
Kedua bodyguard itu saling pandang, ragu menjawab.
“Jangan bohongi aku! Atau aku tembak kalian sekarang!” ancam Alecia dengan suara gemetar.
“Maaf, Nona… Tuan Aston bilang… Amira akan dieksekusi. Dia mengaku Amira bagian dari mafia perdagangan anak…” ucap salah satu dari mereka.
Alecia menjerit.
“GILA! Ini gila semua!” teriaknya histeris. Tangis menahan amarah tak terbendung.
“CEPAT! Cari Papa! Cari Kak Aston!” teriaknya lagi.
Langkah kaki terdengar.
“Alecia…”
Alecia menoleh cepat. Aston berdiri di sana.
“Ka… Di mana Amira?” tanyanya, air mata memenuhi mata.
“Amira sedang diurus Papa… CIA sudah turun tangan.”
PLAK!
Tamparan Alecia mendarat di pipi Aston.
“Amira itu adikku, Ka! DIA ADIKKU!” jeritnya, melemparkan hasil tes DNA ke dada Aston. Tubuhnya gemetar, suara pecah. “Temukan dia, Ka… Sebelum semuanya terlambat…”
Tangan Aston gemetar saat membaca satu per satu lembar hasil tes DNA itu. Matanya menyusuri angka-angka dengan tatapan kosong namun membara.
“Darimana kamu dapat tes DNA ini? CIA?” tanyanya tajam.
“Ka… aku sendiri yang urus semuanya. Aku lakukan diam-diam karena ada yang janggal dengan tes sebelumnya. Tes itu bilang Amira bukan siapa-siapa, tapi… lihat sendiri gimana reaksi mamah waktu hampir kehilangan Amira. Naluri seorang ibu nggak bisa dibohongi,” ucap Alecia terisak. “Tes ini valid, Ka. Aku jamin. Waktu tes pertama... Kaka yakin sudah periksa sendiri hasilnya?”
Aston terdiam. Matanya menyipit penuh penyesalan. Lalu tiba-tiba, ia berteriak keras, “Rioooo!”
“Tuan Rio sudah tidak ada sejak tiga puluh menit lalu, Tuan,” sahut bodyguard.
“### Cari dia! Hidup atau mati, aku nggak peduli! Tangkap dia SEKARANG!” pekik Aston, penuh amarah dan rasa bersalah yang mulai membakar.
...
Langkah kaki Alesandro menggema di koridor batu yang sunyi. Setiap hentakan seolah membawa beban puluhan tahun dendam dan kehilangan. Wajahnya keras, rahangnya mengatup rapat. Tangannya mengepal, menggenggam pistol yang siap menuntaskan satu lagi prasangka lamanya.
"Kalau Amira terlibat dalam jaringan perdagangan manusia," gumam Alesandro pada dirinya sendiri, "maka Renata juga pasti terlibat. Aku yakin, dalang di balik hilangnya anak-anakku dulu... adalah dia."
“Ceklek.”
Pintu terbuka. Renata duduk di kursi pojok ruangan, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat.
“Dimana Amira?” suara Renata nyaris tak terdengar, tapi ketakutan di matanya sangat nyata.
“Dia sudah aku bunuh,” jawab Alesandro datar.
Renata terlonjak. “Kamu gila!” isaknya. “Dia tak ada sangkut pautnya dengan dendam kita! Sudah cukup... suamiku, kau rampas... kenapa kau harus bunuh juga menantuku?” Suaranya pecah, menggema di ruangan dingin itu. Air matanya jatuh tak tertahan.
“Sekarang katakan,” suara Alesandro meninggi, pistolnya diacungkan ke arah Renata, “Kau bersekongkol dengan siapa?!”
“Papah!!” Teriakan nyaring itu menghentikan segalanya.
Alesandro menoleh. “Alecia? Ada apa kamu kemari?”
“Pah... Amira di mana?” Suara Alecia gemetar, penuh kecemasan.
“Amira sudah papah singkirkan. Dia ancaman, sayang. Kamu tahu sendiri mafia perdagangan anak dendam pada kita. Kita tak bisa ambil risiko.”
“Amiraaaaaaaa!!!” Jeritan Alecia mengguncang ruangan. Ia jatuh berlutut, tangisnya meledak. “Pah... dia... dia adikku... Amira itu adikku…”
“Apa maksudmu, nak?” Alesandro membeku.
“Amira... dia... kembaranku... anak kandung mama... bukan anak mafia seperti yang papah kira!” Alecia tersungkur, tangannya menghantam lantai, tubuhnya terguncang hebat. “Amira… adikku… adikku pah… kenapa…” isaknya seolah merobek dada semua yang mendengar.
Aston maju perlahan, menyodorkan lembaran hasil tes DNA yang telah Alecia berikan. Dengan suara pelan, ia menjelaskan bagaimana Alecia melakukan tes diam-diam, bagaimana hasil itu mengungkap kebenaran yang selama ini tertutup kabut.
Alesandro membaca. Tangannya gemetar.
99% cocok.
Darahnya seperti berhenti mengalir. Dunia berputar pelan. Nafasnya tercekat.
Tubuh Alesandro lunglai. Pistol terlepas dari genggamannya. Ia jatuh berlutut, menatap kosong.
“Tidak… tidak… tidak…” bisiknya, bergema seperti doa putus asa. Bayangan wajah Amira—saat dia melompat ke jurang, saat peluru menembus punggungnya—menari-nari di matanya. Suara teriakannya kembali menggema dalam kepala Alesandro seperti kutukan yang tak bisa dihapus.
“Cepat cari Amira!!” raungnya tiba-tiba, suaranya pecah dan parau. Ia menjambak rambutnya sendiri. “Kalau kalian tak temukan dia… akan kubunuh kalian semua!!!”
Renata, yang menyaksikan semua itu dari kursinya, tak mampu berkata apa-apa. Tangisnya meledak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Amira… gadis malang itu…
Ternyata bukan ancaman.
Dia adalah anak yang selama ini mereka cari.
Dan kini… mungkin sudah tak bernyawa.
....
Di tempat lain, suasana ruang rahasia dipenuhi ketegangan yang tertahan.
Viona memijat pelipisnya yang berdenyut. “Gila... si Felix. Selama ini hampir setengah perusahaanku diisi oleh orang-orang dia,” gerutunya.
Robert mengangguk serius. “Makanya kita harus bentuk kekuatan baru. Felix sudah kuasai hampir semua tim pengamanan keluarga. Hampir semua bodyguard itu anak buah dia.”
Viona menajamkan pandangannya. “Kalau kamu... orang siapa?”
“Ya ampun Oma, aku ini sahabat Andika dari zaman dia belum disunat!” ucap Robert, setengah kesal.
Andika masuk sambil membawa dokumen rahasia. “Untung aku sempat dibantu mertuaku. Sekarang aku punya dukungan dari organisasi Black Cat.”
Viona mengernyit. “Organisasi misterius itu? Bagaimana kalian bisa kerja sama dengan mereka?”
Andika tersenyum tipis. “Pendiri Black Cat adalah Amira.”
“Astaga! Bukankah dia cuma tukang ojol?” Viona terkejut.
“Dia berhenti lima tahun lalu. Sekarang Black Cat dipimpin tangan kanannya,” jelas Andika.
Viona masih terpana. “Lalu... kenapa mereka bantu kalian?”
“Karena penasihat mereka... adalah Pak Budi,” jawab Andika.
Semua mata tertuju ke Budi yang mendadak kikuk. Viona menatapnya lama, lalu mendekat.
“Kau... Raja Maling, ya?” bisiknya kaget.
“Jangan kencang-kencang, Nyonya,” ucap Budi gugup.
Andika dan Robert saling melirik. Satu misteri besar akhirnya terungkap: Pak Budi bukan sekadar ayah Amira.
Pantas saja Budi bisa mengatur strategi sedemikian rupanya dia adalah raja maling yang hidupnya pasti dipenuhi akal
kena jebakan sendiri nih...
felix ini yang jadi tangan kanan oma viona yang berusaha menyingkirkan keluarga wijaya dan bagus akan dijadikan pewaris....
wah, keren nih ceritanya 👍 makin seru
lanjut dong thor...
dipihak allesandro ada si rio....
jadi ini semua adalah jebakan mereka yang pasti ada dalang utama nya... membuat dua kubu saling berselisih paham, semoga cepat terbongkar...
kira2 siapa ya ? apa jangan2 yang disebut ayah oleh si bagus .....
lanjut dong thor❤️
allesandro tidak tahu kalau amira anaknya, tanpa disadari hasil TEs DNA sudah di sabotase....
alecia selidiki lebih lanjut tentang amira,,,
coba tes Dna ulang kembali pasti 99,9%.
siapa yang disebut bagus adalah ayah???
setiap kesalahan yang mengenai oma viona pasti dicuragai allesandro....
benarkan sudah disabotase hasil Tes DNA milik amira....
semoga secepatnya terbongkar kebusukan mereka....
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya