NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:20.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PEREMPUAN / PRIA

Malam itu…

Mateo duduk termenung di balkon apartemennya. Angin malam berhembus pelan, menyapu rambutnya yang sedikit berantakan. Di tangannya ada secangkir kopi yang sudah dingin. Ia menatap langit kota yang gelap, hanya dihiasi titik-titik cahaya lampu dari gedung-gedung.

Sudah seminggu sejak kejadian penculikan Livia. Semuanya seolah kembali normal ia kembali bekerja dengan Justin, dan setiap pulang ke rumah, ia melihat senyuman Livia yang mulai pulih, perlahan. Tapi jauh di dalam hati Mateo, ada sesuatu yang tak tenang.

Suara dokter kala itu masih terngiang di kepalanya.

> "Kandungan istri Anda lemah, Pak Mateo. Kami akan terus memantau secara intensif, terlebih karena janin berjenis kelamin perempuan. Ada risiko tinggi, terutama jika tekanan psikologis ibu meningkat."

Mateo terdiam saat itu. Bukan karena kecewa anaknya perempuan bukan. Tapi karena ia tahu dunia tempat anak itu akan tumbuh tidak ramah bagi yang ‘berbeda’, dan tidak pernah adil bagi yang tak sesuai ekspektasi.

Ia menghela napas panjang.

“Bagaimana aku bisa melindunginya… dari semuanya?” gumamnya lirih.

Dalam keluarga Velasco, segalanya telah ditetapkan jauh sebelum anak itu lahir.

> "Anak laki-laki pertama adalah pewaris. Anak perempuan? Hanya pelengkap. Jika bukan laki-laki, maka ia tak tercatat dalam sejarah kita."

Itu kata-kata Juan Carlos Velasco, Kakeknya yang tak pernah Mateo lupakan.

Mateo mengepalkan tangan. Ia bukan lagi anak muda yang bisa dibentuk oleh kehendak ayahnya ataupun juga kakeknya. Tapi luka dari masa lalu, dari tradisi yang dingin dan kejam, tetap membekas.

“Jika anakku tak punya tempat dalam buku keluarga itu, maka akan kutulis sendiri tempatnya di hatiku, di hidupku, dan di dunia ini.” ucapnya dengan lirih namun mantap.

Ia menatap langit. Tak ada bintang malam itu. Tapi dalam pikirannya, ia membayangkan wajah mungil seorang bayi perempuan, dengan senyum Livia yang lembut.

“Tak peduli dunia menolaknya, aku akan membuat dunia tunduk padanya.”

Saat sedang melamun, Mateo merasakan kehadiran seseorang dari arah belakang. Langkah pelan itu berhenti tak jauh darinya, dan saat ia menoleh, wajah lembut Livia menyambutnya dalam cahaya redup balkon.

Mateo tersenyum kecil.

"Kenapa bangun? Ini masih malam, tidurlah," ucapnya pelan seraya mengelus rambut Livia dengan penuh kasih.

Livia duduk di sampingnya, mengenakan cardigan tipis dan menggigit bibir menahan udara malam yang dingin.

"Kau sendiri kenapa belum tidur?" tanyanya sambil bersandar pelan di bahu Mateo.

"Hanya ingin menikmati udara segar," jawab Mateo, menatap kosong ke arah langit gelap yang tak berbintang.

Beberapa detik mereka diam. Hening. Hanya suara napas mereka dan desau angin yang menemani.

Mateo menoleh, menatap wajah istrinya yang mulai tampak lebih tenang setelah masa traumatis itu. Ada raut khawatir di wajahnya, tapi ia menahannya rapat-rapat. Belum saatnya…

Ia belum siap memberi tahu tentang tradisi kuno keluarga Velasco, bahwa jika anak pertama adalah perempuan, maka anak itu dianggap tak layak menjadi bagian dari keluarga. Mateo tahu betul, Livia akan langsung merasa bersalah… merasa bahwa dirinya gagal.

“Livia tak boleh tahu. Tidak sekarang,” pikir Mateo.

“Ia harus tetap bahagia, demi bayi kita.”

"Maaf, aku membangunkanmu," ucap Mateo akhirnya, mencoba mengalihkan kegelisahan yang menggelayuti hatinya.

Livia menggeleng, lalu meraih tangan Mateo dan menggenggamnya erat.

"Aku senang bisa duduk di sini bersamamu... Meskipun hanya sebentar," ucapnya pelan.

Mateo menatapnya lama, lalu mencondongkan tubuh dan mengecup kening istrinya lembut.

"Kau tahu, tidak ada hal di dunia ini yang lebih berarti bagiku selain kau dan bayi kita," gumamnya.

Livia tersenyum, walau samar. Ada keteduhan dalam tatapannya. Tanpa tahu bahwa di balik tatapan penuh cinta Mateo, tersembunyi perang batin yang sedang berkecamuk antara mencintai keluarga yang sedang dibangun… dan menolak warisan gelap dari keluarga yang melahirkannya.

Livia meletakkan tangan Mateo di atas perutnya. Dalam sekejap, pria itu terdiam, dan matanya melebar saat merasakan gerakan kecil dari janin di sana.

“Dia bergerak,” ucap Livia, senyumnya merekah pelan meski ada semburat kekhawatiran di wajahnya.

Mateo tersenyum sumringah, mata pria itu memanas seketika, haru bercampur gembira.

“Sepertinya dia menendang,” balas Mateo lirih, suaranya sedikit bergetar karena tak sanggup menahan rasa bahagia yang mendadak menyelimuti dadanya.

Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Livia menarik napas panjang, lalu menatap Mateo dengan sorot mata ragu. “Mateo… apa benar tentang tradisi keluargamu mengenai anak perempuan?”

Pertanyaan itu membuat senyum Mateo perlahan menghilang. Wajahnya berubah kaku. Tatapannya mengarah kosong ke depan, dan tangan yang tadi hangat di perut Livia, kini terasa kaku.

“Kau mengetahuinya dari siapa?” tanyanya pelan namun tajam.

“Nathan… dan Samuel,” jawab Livia pelan, menunduk seolah takut telah menyakiti Mateo.

“Mereka yang berbicara padaku pada saat itu… waktu aku ditahan. Mereka bilang… kalau anak kita perempuan, maka dia tidak akan pernah diakui keluarga Velasco. Aku jadi takut… Mateo, aku takut…”

Suara Livia bergetar, dan matanya mulai basah.

Mateo mengalihkan pandangan, berdiri dan berjalan ke pinggir balkon, mencoba menenangkan degup jantung yang mulai tak beraturan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menunduk dalam diam.

“Jadi, itu benar?” tanya Livia dari belakang, suaranya kecil namun tajam menghantam batin Mateo.

Mateo mengangguk perlahan, masih tidak sanggup menatap mata istrinya.

“Ya… Itu memang tradisi tua di keluarga kami. Tapi aku benci tradisi itu, Livia. Aku benci karena itu membuatku seperti monster yang harus memilih antara keluarga… dan anakku sendiri.”

Livia berdiri, memeluk perutnya sendiri seperti ingin melindungi anak mereka.

“Lalu, kau akan apa? Jika dia perempuan?”

Mateo berbalik. Matanya kini menatap lurus ke arah Livia. Serius. Penuh keyakinan.

“Aku akan melawan mereka semua. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhmu, atau anak kita.”

“Dia anakku… tak peduli laki-laki atau perempuan. Dia darahku, dagingku… dan dia akan tetap hidup. Bersama kita.”

Livia menutup mulutnya, terisak pelan.

Mateo melangkah mendekat dan memeluknya dengan hati yang kacau tapi tekad yang bulat. Ia tahu, sejak malam itu, hidupnya bukan lagi tentang mewarisi tahta keluarga… tapi tentang melindungi keluarga kecil yang ia ciptakan sendiri.

"Apa kau sudah tahu jenis kelamin anak kita?" tanya Livia pelan, sorot matanya masih ragu, seolah takut mendengar jawaban yang bisa mengubah segalanya.

Mateo mengangguk perlahan. "Iya, aku mengetahuinya."

Livia menahan napas sejenak, lalu memberanikan diri berkata,

"Dokter bilang… jenis kelamin anak kita adalah perempuan."

Ia menatap Mateo, mencoba mencari tanda di wajah pria itu tanda penolakan, kecewa, atau apa pun yang bisa membuat hatinya remuk.

Namun yang ia lihat justru senyum kecil yang hangat, dan mata yang mulai berkaca-kaca.

Mateo menggenggam tangan Livia erat, lalu duduk kembali di sampingnya.

"Tapi kau tenang saja," ucap Mateo lembut, "Aku akan di sini bersamamu. Kita akan lewati semuanya bersama… dan kita akan membesarkan putri kita dengan bahagia."

"Tak peduli dia perempuan atau bukan pewaris yang diinginkan keluargaku dia adalah anugerah, Livia. Putri kita… adalah cahaya hidupku."

Livia tak sanggup menahan air matanya, tangis haru itu akhirnya jatuh juga di pipinya. Ia memeluk Mateo erat, dan untuk pertama kalinya setelah semua penderitaan itu, ia merasa benar-benar aman.

“Terima kasih, Mateo.”

Mateo mencium pelipisnya, memeluknya erat.

"Aku yang berterima kasih, karena kau memberiku alasan untuk hidup… dan kesempatan menjadi ayah dari anak perempuan yang akan mengubah segalanya."

Keesokan harinya, Mateo duduk bersama Don di sebuah dermaga tua di pinggiran pelabuhan pribadi keluarga mereka. Langit sore tampak mulai menguning, angin laut menghembus perlahan, membuat suasana menjadi tenang, namun juga penuh nostalgia.

"Kira-kira kapan terakhir kita menikmati momen ini, Mateo?" tanya Don sambil memandang luas ke horizon yang mulai ditelan senja.

Mateo mengangkat bahunya sambil tersenyum tipis. "Mungkin saat aku masih kecil, Pa. Mungkin... sebelum aku berumur sebelas tahun."

Don mengangguk pelan, lalu tertawa kecil. "Kau benar. Dulu, kita sering ke sini. Kau bahkan pernah bilang ingin menjadi nelayan saja karena katanya langit dan laut lebih jujur daripada manusia."

Mateo ikut tertawa kecil, lalu menunduk.

"Dan ternyata aku benar... soal manusia."

Hening sejenak. Angin berhembus pelan membawa suara burung camar dari kejauhan. Don menghela napas panjang, menatap wajah putranya yang kini tampak jauh lebih dewasa dan lelah dari yang pernah ia bayangkan.

"Mateo..." Don memulai dengan suara parau, "Aku tahu aku bukan ayah yang selalu hadir. Aku terlalu sibuk membangun kerajaan ini, sampai lupa bahwa yang paling penting bukan hanya pewaris, tapi keluarga yang tetap utuh."

Mateo hanya diam, menatap laut.

"Dan sekarang," lanjut Don, "kau akan menjadi ayah. Kau harus lebih baik dariku. Lebih hadir, lebih mendengarkan, lebih melindungi."

"Aku akan melindungi mereka, Pa. Livia... dan putri kami." ucap Mateo yakin.

Don memandang Mateo tajam. "Putri?"

Mateo mengangguk pelan. "Ya. Dia perempuan."

Don tampak ingin berkata sesuatu, tapi akhirnya memilih diam. Kemudian, perlahan, ia menepuk bahu Mateo.

"Mungkin... sudah saatnya kita menulis ulang tradisi keluarga Velasco," ucap Don akhirnya. "Kalau kau percaya putrimu layak, maka aku akan mendukungmu. Kita mulai dari sana, dari anak perempuan Velasco pertama yang tidak akan disembunyikan."

Mateo terdiam, matanya memanas.

"Terima kasih, Pa. Itu... lebih dari yang pernah kuharapkan."

Mateo menggeleng pelan, matanya masih tertuju pada laut, namun kini tampak berkabut.

"Tetapi... kakek?" ucapnya lirih. "Aku meragukannya. Dia yang paling membenci anak perempuan pertama, Pa. Aku takut Livia... dan putriku merasa terasingkan. Seolah mereka tidak diinginkan sejak awal."

Don terdiam sejenak. Tatapannya menerawang, mengingat masa lalu bersama ayahnya Juan Carlos Velasco seorang pria keras yang hidup dengan prinsip lama dan kebanggaan berlebihan terhadap garis keturunan laki-laki.

"Ayahku tidak pernah berubah sejak muda. Baginya, darah Velasco hanya layak diteruskan oleh pria," gumam Don getir. "Dan aku... terlalu lama tunduk pada pemikiran itu."

Mateo menatap ayahnya. "Apa dia akan menyuruhku membuang anakku dari daftar warisan? Dari keluarga?"

Don menghela napas panjang, lalu menatap Mateo dalam-dalam.

"Mungkin. Tapi dengar aku, Mateo sudah waktunya seseorang memutus rantai itu."

"Jika kita terus membiarkan suara ayahku menentukan segalanya, maka anak-anak kita, terutama putrimu, akan tumbuh dalam bayang-bayang kebencian yang sama. Kau ingin itu terjadi, Mateo?"

Mateo menggeleng cepat, matanya memerah.

"Tidak. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin Livia tahu bahwa anak kami diterima... bahwa dia cukup, meskipun perempuan."

Don mengangguk mantap, lalu meraih bahu Mateo dan menepuknya keras.

"Maka jadilah tameng mereka. Jadilah suara yang mengguncang meja keluarga ini. Karena hanya kau yang bisa, Mateo. Hanya kau."

Mateo menatap ayahnya dengan campuran rasa haru dan keberanian yang mulai menyala.

"Kalau begitu, Pa, bantu aku. Kalau kau ada di sisiku, aku bisa hadapi kakek. Aku bisa lindungi mereka."

Don tersenyum pelan, tatapannya berubah hangat.

"Kau tidak sendiri, Nak. Kali ini... aku akan berdiri di belakangmu."

1
kayla
/Coffee//Coffee/
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
terharu
Uthie
Wadduuhhhh.. susah kalau kejahatan mistis kaya gtu mahh 😥
Uswatun Hasanah
kok ada mistiknya
Ria Nasution
jgn la mati Livia nya. balikkan lg mantra kiriman tersebut
kayla: yang harus kau lenyapkan itu kakekny mateo bukan livia..
kenapa tidak kau lenyapkan kakekny mateo dari sejak awal jika kamu bisa bermain kotor seperti itu.. mungkin alana akan terselamatkan/Sleep/

kayak nonton sinetron bkin emosi kak..
tp penasaran gmna ujungna..
nex kka semangat..
total 1 replies
Uthie
nexxxttt 💞
Uswatun Hasanah
lanjut
Uswatun Hasanah
mantul
Uthie
makin seru 👍👍🤩
dan suka juga niii cerita nya, langsung satset gak pake lama cerita penelurusan Alana nya 👍👍😁🤩🤩
istripak@min
lanjot thor
istripak@min
apa livia kembaran meteo???
Uthie
niceee 👍
istripak@min
menghina livia gakk taunya livia turunan velasco yg dibuang krn ank perempuan pertama ,ku rasa ank liam si livia ini
Uthie
jahatnya 😡
Uswatun Hasanah
mantap
kayla
kasihan livia..
hmm jd gak kuat baca nya..
gak sanggup terlalu banyak kekejaman..
tp mau tahu endingnya..
lanjut kak
jangan kecewakan endingny ya kak/Facepalm/
Susanti
ibunya mateo gendeng 😤
Uthie
lebih menyeramkan adalah musuh dari orang terdekat, Bahkan sangat dekat dan lebih berbahaya.. tak terdeteksi 😡
istripak@min
bos kok begok yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!