Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Uji coba
Angin malam berdesir lembut, menyusup melalui celah-celah jendela batu kastil Ceaseton yang menjulang tinggi. Bulan menggantung pucat di langit, mengintip dari balik awan tipis, melemparkan cahaya dingin ke sudut-sudut kamar yang sunyi. Di ranjang kecil berkanopi putih, Kate terlelap, napasnya tenang dan wajahnya terlihat damai. Namun kedamaian itu tidak bertahan lama.
Sebuah suara lirih, seperti bisikan dari balik tirai dunia lain, menyusup ke telinganya. Samar seperti gema dari lorong-lorong kastil yang tak pernah tersentuh cahaya. Kate mengerutkan kening dalam tidurnya, kemudian tubuhnya bergeser resah. Suara itu datang lebih dekat dan lebih nyata. Matanya terbuka sedikit, masih berat oleh kantuk. Pandangannya kabur, tetapi sosok itu ada di sana. Di tengah bayangan yang tak seharusnya ada di kamarnya.
Tubuh tinggi pria itu berdiri membelakangi cahaya rembulan, membuat wajahnya hanya tampak seperti siluet misterius. Sebelum Kate sempat bergerak, berbicara, bahkan berpikir, Damian sudah mengangkat tangan. Dengan suara nyaris tak terdengar, ia mengucapkan mantra kuno yang hanya dimengerti oleh para pemegang Chaos.
Udara bergetar. Cahaya lilin berkedip. Kate terkulai kembali di atas ranjang. Matanya tertutup, tapi tubuhnya tidak lagi damai. Nafasnya berubah gelisah, seolah tubuhnya menolak untuk kembali ke keadaan tidur paksa.
Tanpa suara, Damian melangkah maju dan duduk di sisi tempat tidur. Dengan hati-hati, ia membungkuk, menyentuhkan bibirnya ke bibir Kate. Bukan sebuah ciuman penuh hasrat, tapi ritual perpindahan energi. Dalam ciuman itu, aliran energi Chaos yang pekat dan liar menyusup masuk, mengalir ke dalam tubuh Kate.
Tubuh gadis itu menegang. Ujung jemarinya mengepal pelan. Dada mungilnya naik-turun tak beraturan, seakan menolak keberadaan sesuatu yang asing dalam dirinya. Wajahnya berkedut, alisnya berkerut seperti tengah melawan sesuatu yang tak kasat mata.
"Gh..." gumaman lirih lolos dari bibir Kate. Matanya terbuka sedikit, sayu, buram.
“Damian?” bisik Kate, lemah nyaris seperti helaan napas.
Damian terdiam, menatap mata itu yang kini mulai menyala samar oleh perpaduan Arcane dan Chaos. Tubuh Kate memberontak, nalurinya menolak kekuatan asing yang mencoba berpadu dengan jiwanya.
“Sstt...” bisik Damian, memeluk tubuh Kate yang mulai menggigil.
Dia membelai rambut gadis itu lembut, suaranya rendah, nyaris penuh iba namun tak ada keraguan dalam niatnya. “Jangan melawan.”
Kate menggeleng pelan, tubuhnya terus bergetar, energi dalam dirinya saling bertubrukan. Arcane yang terang melawan Chaos yang gelap. Namun Damian tetap memeluknya, menyalurkan energi itu perlahan dengan sabar.
“Aku tahu ini berat,” bisik Damian lagi, bibirnya nyaris menyentuh kening Kate, “tapi kau tak bisa terus menutup mata. Kau bukan hanya pemilik Arcane, Kau juga bagian dari kekacauan dunia ini. Kau harus siap.”
Satu tetes air mata jatuh dari sudut mata Kate yang setengah sadar. Damian menggenggam bahu gadis itu, merasakannya gemetar hebat. Dahinya bercucuran peluh, napasnya berat dan tersengal, seperti berlari jauh tanpa henti. Kulitnya bersinar samar dengan cahaya emas Arcane yang berkelip tidak stabil, bercampur dengan rona merah gelap dari Chaos yang baru disusupkan.
“Terbakar...” gumam Damian, menyadari apa yang terjadi.
Tubuh Kate sedang mencoba bertahan dari dua kekuatan yang saling bertolak belakang di dalam dirinya dan gagal. Satu sisi adalah Arcane yang murni, teratur, lembut berbenturan dengan Chaos yang liar, tak terkekang dan kuat. Dua arus kekuatan ini tidak bisa dipaksa menyatu, mereka butuh waktu. Dan jika Damian memaksa, tubuh Kate akan menjadi medan perang yang tak akan pernah sembuh.
“Tidak. Tidak boleh seperti ini,” bisik Damian dengan suara tegang.
Ia segera menarik diri dari dekapan itu dan mengangkat kedua tangannya. Ujung jarinya berkilau biru pucat saat ia memanggil esensi sihir dingin dari dasar kekuatan Chaos, bagian yang jarang disentuh, lambat, tapi menenangkan.
Dengan hati-hati, ia menyalurkan sihir itu ke dalam tubuh Kate. Aura dingin menyebar di kulit gadis itu, meredam kobaran panas yang membakar dari dalam. Butir-butir es kecil terbentuk di sekitar pergelangan tangannya, menguap perlahan begitu menyentuh kulit hangat Kate.
“Nafasmu terlalu cepat, jantungmu terlalu kuat. Kau belum siap menerima lebih... maafkan aku, Kate.” Damian bergumam, menjaga kestabilan sihirnya.
Tatapan Damian meredup. Ada luka dalam suaranya yang tidak ia tunjukkan di wajahnya. Ia duduk kembali di sisi tempat tidur, jari-jarinya menyapu lembut pipi Kate yang lembab oleh keringat dingin.
“Aku tahu kau ingin bangkit, aku tahu kau ingin kuat. Tapi jika aku memaksamu menerima semua kekuatanku sekarang, kau akan hancur. Dan aku... aku tidak akan pernah bisa memelukmu lagi,” bisik Damian lirih.
Matanya menatap lekat wajah Kate. Wajah yang dikenalnya selama berabad-abad, dalam tubuh yang berbeda, dalam kehidupan yang terus berulang. Namun kini tidak ada lagi rantai reinkarnasi. Kate sendiri yang memutusnya, memilih untuk hidup sebagai dirinya sendiri. Tanpa nama suci. Tanpa takdir yang ditulis ulang. Jika Kate mati sekarang, dia akan hilang selamanya.
Damian menggertakkan gigi, menahan gejolak keputus asaan yang ingin meledak dari dalam dadanya. Kekasihnya kini hanya seorang gadis biasa dengan dua kekuatan yang bertarung di tubuhnya, dan satu kesalahan kecil saja bisa merenggut segalanya.
Perlahan ia menarik napas panjang dan mulai menyalurkan energi Chaos lagi sedikit, sangat sedikit, seperti tetes hujan pertama yang menyentuh tanah kering. Ia menyusupkan kekuatannya dengan lembut, seperti bisikan malam untuk menghindari guncangan apa pun yang bisa memicu reaksi fatal.
Tubuh Kate tampak lebih tenang sekarang. Panasnya mulai mereda, napasnya melambat. Meski masih dalam keadaan tidak sadar sepenuhnya, wajahnya tak lagi tampak kesakitan. Damian menunduk, dahinya bersandar di kening Kate. Suara hatinya bergetar.
“Kau satu-satunya, tak akan ada lagi setelah ini. Jadi berjanjilah, Kate. Bertahanlah.”
Malam terus berputar di atas langit kastil Ceaseton. Di balik tembok batu, dunia tetap diam. Tak ada yang tahu bahwa takdir dua jiwa tengah dipertaruhkan dalam keheningan kamar yang hanya disinari cahaya bulan, antara api dan es, antara Arcane dan Chaos, antara cinta dan kehancuran.
***
Cahaya pagi menyusup pelan melalui tirai tipis kamar, mengusir bayang-bayang malam yang menggantung lelah di sudut langit-langit batu. Burung-burung kecil mulai bernyanyi dari balik jendela, dan aroma embun pagi bercampur dengan udara dingin.
Kate perlahan membuka mata. Dunia di sekelilingnya terasa lebih tajam. Suara-suara lebih jernih, aroma kayu dari tempat tidur dan debu halus dari tirai terasa seolah-olah menempel di inderanya. Ia mengerjapkan mata, duduk perlahan sambil memegangi dada. Ada sesuatu yang berbeda di dalam tubuhnya. Sesuatu yang baru.
Energi mengalir dalam diam, dalam denyut halus di balik kulitnya. Bukan hanya Arcane yang sudah ia latih selama bertahun-tahun, tetapi sesuatu yang lain. Lebih gelap dan lebih dalam. Seperti bisikan yang tak bisa ia pahami, meski terasa akrab dalam cara yang membuatnya merinding.
“Apa ini?” gumam Kate, menatap telapak tangannya yang bergetar halus.
Panas dan dingin silih berganti menyapu tubuhnya, bergolak dalam perut dan dada, seolah dua arus sungai mencoba saling melawan dan berpadu dalam satu aliran. Rasanya tak menyakitkan, tapi menekan.
Lalu seperti gemuruh yang tertinggal dari badai semalam, ingatannya kembali. Bayangan seseorang. Siluet gelap berdiri di kamar ini. Suara mantra, sentuhan di bibirnya dan pelukan hangat di tengah rasa terbakar. Damian. Mata Kate melebar, tetapi ia segera menggelengkan kepala, berusaha menepis kenangan samar itu.
“Itu pasti hanya mimpi,” desis Kate pelan.
Ia berdiri dan berjalan ke depan cermin kecil di sudut ruangan. Wajahnya masih pucat, mata sedikit sembab, tapi tidak ada luka, tidak ada bekas apa pun yang bisa membuktikan mimpi aneh itu nyata. Ia menatap pantulan matanya sendiri dan dalam sekejap, ia merasa seolah ada kilau ungu gelap melintas di irisnya. Sekejap saja. Tapi cukup untuk membuatnya terdiam.
“Tidak... ini tak mungkin.”
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mulai tak teratur. Ia ingat dengan jelas gosip yang didengarnya kemarin saat turun ke kota tentang bangsawan baru yang menetap sementara di kastil selatan. Namanya Damian. Tampan, penuh aura gelap, misterius dan langsung membuat semua gadis di pasar sibuk berandai-andai. Tentu saja itu bisa saja hanya kebetulan. Nama Damian bukan satu-satunya di dunia ini. Tapi kenapa mimpi itu terasa begitu nyata?
Kate menggigit bibir bawahnya. Tidak ada waktu untuk tenggelam dalam kebingungan. Pagi sudah datang, saatnya ia bersiap untuk mengikuti latihan bersama yang lain. Latihan Ksatria Cahaya bukan hal yang bisa ditunda atau dilewatkan hanya karena mimpi aneh.
Dengan sigap, ia mengambil tunik putih berlapis pelindung ringan dan mengenakannya di atas pakaian dalam. Gerakannya cepat meski sedikit terganggu oleh sensasi energi yang terus bergerak di bawah kulitnya, seolah menyambut setiap gerakannya dengan getaran halus. Ia berhenti sejenak. Matanya menatap jendela yang terbuka, angin pagi menyentuh wajahnya.
“Jika kau benar-benar datang tadi malam, Damian. Apa yang kau lakukan padaku?” bisik Kate lirih.
Tak ada jawaban, hanya desir angin dan nyanyian pagi yang lembut. Dengan langkah cepat dan jantung yang tetap resah, Kate keluar dari kamarnya, menyusuri lorong-lorong kastil menuju pelataran latihan. Pikirannya penuh pertanyaan yang belum berani ia jawab, sementara dalam tubuhnya, dua kekuatan kini hidup berdampingan, menunggu waktu yang tepat untuk menunjukkan siapa di antara mereka yang akan menguasai takdir sang gadis.
***
Hari ini pelatihan tidak berada di pantai seperti biasa, karena mereka akan berlatih bersama Ksatria Cahaya yang lain. Kate melangkahkan kakinya dengan mantap ke pelataran timur kastil Ceaseton yang masih dibalut embun pagi, meski pikirannya masih berkecamuk. Udara dingin menyapu kulitnya, menyegarkan sekaligus menusuk. Suara derap langkah para anggota Ksatria Cahaya bergema di batu-batu lantai, bercampur dengan denting senjata dan seruan perintah dari para pelatih.
Di tengah pelataran, Orion menoleh saat melihat Kate datang.
“Kau tepat waktu, seperti biasa,” kata Orion datar, tapi sudut mulutnya terangkat tipis, senyum kecil yang hanya dimunculkannya pada saat-saat tertentu.
Kate mengangguk kecil.
“Latihan hari ini bukan hanya tentang fisik,” ujar Orion sambil melangkah ke tengah lapangan. Suaranya tegas, cukup keras untuk didengar semua orang. “Kita akan berlatih sparing menggunakan sihir. Ini termasuk penguatan, pertahanan, dan serangan berbasis energi.”
Kate menelan ludah pelan. Ia tahu saat itu akan datang, tetapi tidak menyangka secepat ini. Sejak Arcanenya, kekuatannya tidak pernah benar-benar pulih. Bahkan saat sparing pertamanya dengan Orion, ia gagal mengaktifkan sihir dasar, hanya menimbulkan semburat cahaya yang segera padam. Meski sudah berlatih diam-diam bersama Danzzle, ia belum terlalu percaya diri jika harus menunjukkannya di depan banyak orang.
“Kate. Kau yang pertama.” Orion memanggil namanya, langsung.
Deg.
Langkahnya terhenti sejenak sebelum ia maju. Semua mata tertuju padanya, termasuk Jasper dan Lyra yang berdiri di sisi pelataran. Mereka tak berkata apa-apa, hanya mengamati dengan wajah netral, entah bersimpati atau sedang menilai.
Di kejauhan, Kate menangkap isyarat anggukan kecil dari Danzzle yang bersandar di tiang latihan. Pria itu mungkin tampak malas dan santai, tapi dalam diamnya dialah satu-satunya yang bersedia mengajarkan Kate cara menstabilkan kembali Arcane miliknya. Ia mengangkat dua jari dan menunjuk ke dada, lalu ke kepala seakan berpesan ‘percaya pada kekuatanmu, dan kendalikan dengan pikiran’.
Orion mendekat, matanya menatap dalam ke mata Kate. “Kau sudah punya pondasi. Bahkan jika kau belum yakin, kekuatan itu ada di dalammu. Kau hanya perlu memanggilnya dan mengendalikannya.”
Kate mengangguk pelan. Napasnya mulai berat, tubuhnya sudah siap, sekarang batinnya yang diuji. Ia maju ke tengah lapangan. Lawannya adalah salah satu anggota pelatih yang tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menguji kekuatan sihir yang masih labil. Derap sepatu berhenti. Mereka saling membungkuk tanda hormat.
“Mulai!” seru Orion.
Sparing dimulai cepat. Beberapa serangan pedang dilayangkan dan Kate mampu bertahan, meski tidak dalam posisi dominan. Tapi ini bukan soal pedang, ini soal sihir. Saat ia melihat celah, Kate mundur selangkah dan mulai mengumpulkan energi. Kedua tangannya terangkat, dan ia menarik napas dalam-dalam.
Arcane yang biasanya mengalir hangat dan ringan, kini terasa bergetar. Di dalamnya ada sesuatu yang lain, berdesir seperti bisikan. Tangan Kate bersinar. Masih samar, tapi cukup untuk membentuk lingkaran pertahanan di hadapannya. Lawan menyerang dan energi itu menangkisnya. Tak sempurna, meski sudah stabil. Kate melangkah maju. Energinya mulai menguat. Ia mengangkat tangan lagi, mengucap mantra singkat.
Seketika cahaya memancar lebih kuat, serangan Arcane berbentuk tombak cahaya melesat dari telapak tangannya, tidak besar, tapi cukup membuat lawannya terlempar mundur tiga langkah. Pelindung sihirnya pecah sebagian.
Hening.
Orion mengangkat tangan, menghentikan latihan. “Cukup.”
Kate menunduk, napasnya memburu. Wajahnya memerah oleh tenaga yang terkuras dan sedikit terkejut bahwa ia berhasil.
“Tidak buruk,” kata Orion. Kali ini, suaranya mengandung sedikit pujian yang terselip dalam nada datarnya. “Stabil, tapi masih kasar. Kau masih menahan sesuatu. Tapi jelas kau berkembang.”
Kate terdiam, bibirnya perlahan melengkungkan senyum kecil. Di sudut lapangan, Danzzle menyeringai lebar dan mengangkat ibu jarinya. Saat Kate mundur dan duduk untuk mengatur napas, ia menyentuh dadanya perlahan. Arcanenya hidup kembali. Tapi di balik cahaya itu, ia bisa merasakan energi lain berdesir, seperti bara dalam abu. Belum menyala, tapi ada.