Galuh yang baru saja diterima di universitas impiannya harus menerima kenyataan bahwa ia akan tinggal di kos campur karena kesalahan administratif. Tidak tanggung-tanggung, ia harus tinggal serumah dengan seorang senior wanita bernama Saras yang terkenal akan sikap misterius dan sulit didekati.
Awalnya, kehidupan serumah terasa canggung dan serba salah bagi Galuh. Saras yang dingin tak banyak bicara, sementara Galuh selalu penasaran dengan sisi lain dari Saras. Namun seiring waktu, perlahan-lahan jarak di antara mereka mulai memudar. Percakapan kecil di dapur, momen-momen kepergok saat bangun kesiangan, hingga kebersamaan dalam perjalanan ke kampus menjadi jembatan emosional yang tak terhindarkan.
Tapi, saat Galuh mulai merasa nyaman dan merasakan sesuatu lebih dari sekadar pertemanan, rahasia masa lalu Saras mulai terungkap satu per satu. Kedekatan mereka pun diuji antara masa lalu Saras yang kelam, rasa takut untuk percaya, dan batasan status mereka sebagai penghuni kos yang sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 34 Tumbukan Dua Dunia
Langit kampus menjelang sore tampak mendung, seolah menyatu dengan suasana hati Galuh yang campur aduk. Setelah kejadian dengan Saras di kantin siang tadi, pikirannya tidak bisa tenang. Sorot mata Saras yang seperti menyimpan seribu makna itu masih terbayang jelas dalam benaknya. Gadis itu bukan hanya misterius, tapi juga mulai mempengaruhi cara Galuh memandang dunia sekitarnya.
Galuh menatap layar laptop di kamarnya. Tugas-tugas kuliah menumpuk, tetapi pikirannya melayang ke percakapan singkat mereka tentang masa lalu. Ada sesuatu yang ingin dia gali lebih dalam dari Saras, tapi dia tahu tidak bisa memaksa. Semua harus pelan-pelan.
Sementara itu, Saras duduk di bangku taman kampus, tempat favoritnya untuk menyendiri. Ia menatap langit yang sebentar lagi akan hujan. Dalam pikirannya, pertahanan yang selama ini ia bangun mulai retak sedikit demi sedikit karena kehadiran Galuh. Dia benci mengakui itu, tapi denyut jantungnya tak bisa berbohong.
“Kenapa aku jadi seperti ini?” gumam Saras pelan, nyaris tak terdengar.
Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Saras menoleh dan mendapati Galuh berdiri di sana, membawa dua cup kopi hangat.
“Masih suka kopi hitam kan?” tanya Galuh, mencoba tersenyum.
Saras menerima kopi itu tanpa banyak bicara. Mereka duduk berdampingan dalam diam. Hujan mulai turun gerimis.
“Kalau kau tidak nyaman dengan pembicaraan tadi siang, aku minta maaf,” ujar Galuh akhirnya.
Saras menggeleng. “Bukan kamu yang salah. Aku saja yang belum siap membicarakannya.”
Keheningan kembali menyelimuti. Namun, ada ketenangan di dalamnya. Galuh tahu bahwa untuk mendekati Saras, dia harus sabar. Bukan untuk mengubahnya, tapi untuk membuat Saras tahu bahwa dia tidak sendiri.
Tiba-tiba, ponsel Saras bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal: “Kau pikir kau bisa kabur dari masa lalu?”
Saras menegang. Wajahnya pucat seketika.
Galuh melihat perubahan ekspresi Saras. “Ada apa?”
“Bukan apa-apa,” jawab Saras buru-buru sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Galuh tidak ingin memaksa, tapi hatinya dipenuhi rasa penasaran dan kekhawatiran. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa maksudnya? Apakah ini ada hubungannya dengan masa lalu Saras yang ia sembunyikan?
Beberapa hari kemudian, suasana di rumah kos mereka berubah sedikit tegang. Saras lebih banyak mengurung diri di kamar, dan Galuh tak bisa mengelak dari rasa cemas. Apalagi sejak melihat Saras menerima telepon tengah malam dan berbicara dengan nada lirih namun penuh tekanan.
Puncaknya terjadi ketika Saras pulang dalam keadaan lebam di bagian lengan.
“Apa yang terjadi?!” seru Galuh begitu melihatnya.
Saras mencoba menutupi, tetapi Galuh sudah berdiri di depan pintu kamar, menghalangi.
“Kau tidak bisa terus seperti ini, Saras. Aku tahu kau sedang menghadapi sesuatu. Aku mungkin bukan siapa-siapamu, tapi aku peduli,” ucap Galuh, suaranya berat oleh emosi yang tertahan.
Saras menatap Galuh lama. Mata itu tidak lagi dingin. Ada air di sudut-sudutnya. Dan perlahan, untuk pertama kalinya sejak mereka tinggal bersama, Saras berkata, “Galuh… Aku butuh bantuanmu.”
Bab ini berakhir dengan langkah awal Saras membuka sedikit pintu masa lalunya kepada Galuh. Sebuah keputusan yang akan mengubah arah hubungan mereka dan mungkin, hidup mereka berdua.
Galuh terpaku di tempatnya. Kata-kata Saras barusan menggema di kepalanya, membuat detak jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia hanya menebak-nebak, menunggu waktu yang tepat untuk Saras mau bicara, dan sekarang momen itu datang. Tapi, yang membuatnya lebih terenyuh adalah bagaimana suara Saras terdengar rapuh. Bukan sekadar kalimat, tapi permintaan tolong yang selama ini disembunyikan di balik semua kekuatannya.
Tanpa banyak tanya, Galuh mengangguk pelan. Ia tidak menjawab dengan kata-kata, hanya gerakan tubuhnya yang mendekat dan tangannya yang menyentuh lembut bahu Saras menjadi penegas bahwa ia akan ada untuk gadis itu.
“Ayo masuk dulu. Kita duduk dan bicara,” ucap Galuh, berusaha tenang.
Saras menatap Galuh sejenak, kemudian mengangguk. Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah kos. Hujan di luar makin deras, mengiringi langkah mereka seperti simfoni yang menyelimuti ketegangan dan kehangatan sekaligus.
Di ruang tengah yang sederhana itu, Saras duduk di sofa dengan tangan yang memegangi lengan lebamnya. Galuh mengambil kotak P3K dari lemari kecil di sudut ruangan.
“Biar aku bantu,” kata Galuh, membuka perban dan alkohol.
Saras hanya mengangguk. Matanya menatap kosong ke arah lantai. Ketika Galuh mulai membersihkan luka itu, gadis itu meringis pelan, tapi tak mengeluh.
“Siapa yang melakukannya?” tanya Galuh pelan, mencoba tetap netral.
Saras terdiam cukup lama sebelum menjawab, “Rangga.”
Galuh menghentikan gerakannya sesaat. Nama itu bukan pertama kali dia dengar. Rangga, cowok yang katanya mantan pacar Saras, juga disebut-sebut sebagai sosok yang berpengaruh dalam masa lalunya. Tapi Galuh tak menyangka kalau sampai ada kekerasan fisik yang terlibat.
“Dia datang ke kampus?” tanya Galuh, nadanya mulai keras.
Saras menggeleng. “Dia tidak sebodoh itu. Tapi dia tahu aku di sini. Dan dia... dia ingin aku kembali. Bukan karena cinta, tapi karena ego. Aku dulu pergi dari hidupnya, dan dia tidak suka itu.”
Galuh mengepalkan tangannya. “Kau tidak sendiri, Saras. Kali ini, kau nggak harus menghadapinya sendirian.”
Saras tersenyum pahit. “Aku sudah lama hidup dalam ketakutan, Galuh. Selama ini aku pikir aku kuat. Tapi sekarang... aku hanya ingin bebas. Aku ingin hidupku kembali.”
Galuh menyelesaikan perbannya lalu duduk di sebelah Saras. Ia menatap mata gadis itu lekat-lekat, “Kita akan cari jalan keluar. Aku akan jaga kamu, apapun yang terjadi.”
Untuk pertama kalinya, Saras bersandar di bahu Galuh. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, tapi pelukan diam itu cukup untuk menyampaikan ribuan kalimat yang tak sempat terucap. Malam itu menjadi saksi kedekatan mereka yang bertumbuh bukan dari rasa suka biasa, tapi dari rasa percaya yang mulai dibangun dari dasar luka.
---
Keesokan harinya, Galuh tidak bisa berkonsentrasi penuh di kelas. Ia terus memikirkan langkah apa yang harus dilakukan untuk melindungi Saras. Ia tahu Rangga bukan orang sembarangan. Lelaki itu punya koneksi, bahkan dikabarkan dekat dengan beberapa orang berpengaruh di luar kampus.
Setelah kelas usai, Galuh menemui teman lamanya, Tito, yang kini bekerja sebagai jurnalis kampus dan punya banyak koneksi di luar.
“Lu pernah dengar soal Rangga?” tanya Galuh tanpa basa-basi.
Tito mengernyit. “Rangga? Rangga yang pernah kuliah di Fakultas Hukum itu?”
Galuh mengangguk.
“Dia tuh orang gila, Gal. Banyak kasus yang nyangkut tapi nggak pernah kena karena dia punya orang dalam. Pernah hampir masuk berita karena nganiaya cewek, tapi ceweknya malah ‘dihilangkan’. Gue curiga banyak orang takut buka suara.”
Galuh mengepalkan tangannya. “Dia ngancam temen gue.”
Tito menatap serius. “Lu hati-hati, Gal. Jangan gegabah. Tapi kalau lu ada bukti, rekam suara, simpan chat, apapun, gue bisa bantu sebarin. Kita bisa bikin dia disorot publik.”
Galuh mengangguk. Ada harapan kecil yang mulai tumbuh di hatinya. Dia tak bisa melawan Rangga secara langsung, tapi jika dia bisa mengumpulkan bukti, dia bisa melawan dari jalur yang benar.
---
Di malam harinya, Galuh membagikan rencananya pada Saras. Awalnya, Saras tampak ragu, namun ketika Galuh meyakinkannya bahwa dia tidak sendiri, gadis itu akhirnya menyerahkan beberapa screenshot percakapan dan juga voice note yang sempat dia simpan diam-diam dari Rangga.
“Kalau ini bocor ke luar, aku bisa dalam bahaya,” ucap Saras dengan suara gemetar.
“Kau akan tetap aman. Kita akan buat ini terencana dan rapi. Aku janji,” ucap Galuh meyakinkan.
Dua dunia mulai bertumbukan masa lalu Saras yang kelam dan masa kini yang mulai memberinya cahaya. Tapi mereka tahu ini baru permulaan. Jalan di depan akan penuh risiko, tapi selama mereka saling percaya, mereka yakin bisa melewatinya.
Galuh dan Saras berdiri di jendela kos malam itu, menatap hujan yang belum juga reda. Tapi kali ini, di balik hujan yang dingin, ada kehangatan baru yang tumbuh di antara mereka sebuah harapan bahwa luka bisa sembuh, dan masa lalu bisa ditaklukkan.