Lin Feng, "Tuan Muda Teoris" dari Klan Lin, adalah bahan tertawaan di Akademi Awan Hijau. Dia jenius strategi, tapi bakat bela dirinya nol besar.
Segalanya berubah drastis saat arwah kakek-kakek telanjang mesum merasuki mata kirinya, memberinya kekuatan cheat [Mata Penjiplak] yang bisa meniru dan menyempurnakan jurus apa pun seketika.
Berbekal otak licik, mata copy-paste super, dan panduan kakek mesum di kepalanya, Lin Feng kini siap mengacak-acak dunia Jianghu. Ini adalah kisah di mana dia mempermalukan para jenius, men- trol/ musuh-musuhnya, dan mengejar tujuan utamanya membangun harem terbesar dalam sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ex, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 mata penjiplak aktif
Lin Feng berdiri.
Satu-satunya suara di lapangan adalah tawa. Tawa yang menusuk, tawa yang meremehkan, tawa yang mengejek.
Wajahnya yang tampan masih tersenyum. Senyum yang begitu menawan, begitu santai, seolah-olah yang baru saja jatuh mencium tanah itu bukan dirinya.
Dia menepuk-nepuk jubah sutra putihnya dengan gerakan anggun yang dibuat-buat.
"Aduh," katanya dengan suara pelan, tapi cukup untuk didengar orang-orang di dekatnya. "Debu sialan. Ini jubah edisi terbatas dari Paviliun Sutra Gila, harganya dua ribu tael perak. Mencucinya itu merepotkan."
Itu.
Bukan rasa malunya yang dia khawatirkan, tapi jubah mahalnya.
Sikapnya yang kelewat santai itu justru membuat beberapa murid laki-laki semakin geram, sementara para murid perempuan...
"Ya Dewa, Tuan Muda Lin Feng sangat elegan bahkan saat dia jatuh..."
"Dia lebih khawatir pada jubahnya daripada harga dirinya! Itu... itu keren sekali!"
Zhang Yao berhenti tertawa. Dia mendecih. "Hmph! Sampah yang hanya peduli penampilan."
Instruktur Wang memijat pelipisnya. Dia sudah menyerah. "LIN FENG! KELUAR DARI LAPANGAN! KELUAR DARI PANDANGANKU! KAU BAU SEPERTI KEGAGALAN!"
Lin Feng membungkuk hormat. Sebuah bungkukan sempurna yang biasa dilakukan para pangeran.
"Tentu, Instruktur. Terima kasih atas bimbingannya yang... mencerahkan," katanya, masih dengan senyum itu. "Latihan fisik ini benar-benar membuatku berkeringat."
Dia berbohong, tentu saja. Dia tidak berkeringat sedikit pun. Dia hanya kotor.
Dia berjalan meninggalkan lapangan. Santai.
Punggungnya tegak. Langkahnya ringan. Seolah-olah dia sedang berjalan di tamannya sendiri, bukan sedang melakukan "Walk of Shame" setelah dipermalukan habis-habisan.
"Lihat itu... dia bahkan tidak malu sama sekali."
"Urat malunya pasti sudah putus."
"Dia itu... benar-benar Tuan Muda Teoris. Mulut besar, otak jenius, tapi tubuhnya ampas."
"Sayang sekali wajah setampan itu..."
Lin Feng mendengar semua bisikan itu. Senyum di wajahnya tidak luntur, tapi di dalam, amarahnya membara.
"Tertawa," batinnya, matanya menyipit sepersekian detik. "Tertawalah, kalian sekumpulan anjing kampung. Nikmati selagi bisa."
"Zhang Yao... bajingan itu. Dia tertawa paling keras. Akan kuingat itu. Akan kuingat tawa kalian semua."
Dia kembali ke asramanya. Sebuah paviliun pribadi mewah yang terpisah dari murid biasa... satu-satunya keistimewaan yang bisa dibeli oleh uang Klan Lin di akademi ini.
BRAK!
Dia membanting pintu. Senyumnya langsung lenyap.
"SIALAN! SIALAN! SIALAAAAAN!"
Dia meninju meja kayu solid di kamarnya.
KRAK!
Mejanya baik-baik saja.
"AUW!" Lin Feng menjerit sambil memegangi tangannya. "Sial! Sakit! Tanganku! Aarggh! Bahkan meja pun mengejekku!"
Dia ambruk di kursi, memandangi tangannya yang memerah.
"Aku muak. Aku muak jadi bahan tertawaan."
"Aku muak jadi 'Vas Bunga'."
"Aku punya otak untuk merencanakan penggulingan dinasti, tapi aku tidak bisa melakukan satu 'Langkah Awan Mengalir' sialan?!"
"Aku butuh kekuatan. Aku tidak peduli... aku butuh sesuatu. Apapun itu."
Dia merenung dalam amarahnya hingga malam tiba.
Malam itu, bulan bersinar terang. Tapi hati Lin Feng gelap. Dia tidak bisa tidur. Ejekan Zhang Yao, tawa para murid, tatapan kasihan Xiao Ning'er... semua itu terngiang-ngiang.
"Ugh, kamar ini pengap," gumamnya. "Aku butuh udara segar. Aku perlu menjauh dari tempat terkutuk ini."
Lin Feng menyambar jubah luarnya dan menyelinap keluar dari asramanya.
Dia tidak pergi ke kota untuk mabuk—dia sedang tidak ingin bertemu orang. Dia berjalan ke arah sebaliknya. Ke atas.
Menuju puncak gunung di atas Akademi Awan Hijau.
Tempat itu dikenal sebagai Puncak Awan Runtuh. Tempat yang sepi, terjal, dan katanya... sedikit angker.
"Sempurna," batinnya sambil mendaki. "Setidaknya kalau aku bertemu hantu, aku bisa mencoba berteori dengannya sampai dia mati bosan."
Pendakian ke Puncak Awan Runtuh adalah neraka bagi fisik Lin Feng.
"Hah... hah... hah..."
Napasnya terengah-engah. Jubah sutranya yang mahal kini menempel di punggungnya karena keringat—akhirnya dia berkeringat juga.
"Sialan... bahkan... mendaki bukit saja... rasanya mau mati," batinnya sambil bersandar di sebatang pohon pinus. "Tubuh ini benar-benar tidak ada gunanya."
Setelah istirahat sejenak, dia akhirnya tiba di puncak.
Angin malam berdesir kencang, menerbangkan rambutnya yang sedikit acak-acakan—yang entah bagaimana malah membuatnya terlihat semakin tampan dan badass, seperti pahlawan yang sedang merenung.
"Hmph. Pemandangan yang lumayan," gumamnya, menatap hamparan bintang dan lampu-lampu akademi di bawah.
Dia berdiri di tepi tebing.
"Oke, udara segar sudah dapat," pikirnya. "Sekarang apa? Pulang? Tidur? Atau... melompat saja?"
Dia melirik ke bawah. Jurang yang gelap dan dalam.
"Ck. Tidak," decaknya. "Melompat itu cara mati yang jelek. Nanti tubuhku hancur tidak berbentuk. Klan Lin membesarkanku untuk setidaknya mati dengan cara yang elegan dan tetap tampan."
Dia baru saja akan berbalik badan untuk kembali ke asramanya yang nyaman, ketika...
BLAARR!
Sebuah cahaya yang lebih terang dari matahari meledak di langit, tepat di atasnya.
"Apa-apaan—"
Cahaya itu melesat turun seperti bintang jatuh yang salah alamat, dan menghantam hutan lebat di area yang lebih rendah dari puncak, tak jauh dari tempatnya berdiri.
DUUAAAARR!
Tanah bergetar hebat.
"Dewa Langit!" seru Lin Feng, nyaris terlempar dari tebing. "Apa itu?! Meteor?! Harta karun surgawi?! Atau jangan-jangan Instruktur Wang yang sembelitnya akhirnya meledak?!"
Otak jeniusnya berteriak: 'BAHAYA! PERGI DARI SINI, BODOH!'
Tapi hatinya yang frustrasi berteriak: 'MASA BODOH! PALING BURUK AKU MATI. SETIDAKNYA ITU LEBIH BAIK DARIPADA DIPERMALUKAN ZHANG YAO LAGI BESOK!'
Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Persetan."
Lin Feng mulai menuruni lereng dengan cara yang sangat tidak elegan, berpegangan pada akar dan batu, menuju kawah berasap tempat cahaya itu mendarat.
Dia tiba di sebuah cekungan kecil. Pohon-pohon di sekitarnya hangus. Di tengah kawah...
"Mataku..."
Lin Feng membeku.
Di tengah kawah, berdiri sesosok pria.
Seorang kakek-kakek.
Seorang kakek-kakek... telanjang bulat.
Sosok itu tampak agak transparan, seperti arwah. Tapi dia jelas-jelas telanjang. Satu-satunya hal yang menyelamatkan mata Lin Feng dari trauma permanen adalah seberkas cahaya ilahi yang dengan sangat sopan menyensor area selangkangan si kakek.
'Belalai'-nya, atau apalah itu, bersinar lebih terang dari obor.
"..."
Lin Feng tidak bisa berkata-kata.
"Oke... jadi hantu itu nyata," batinnya, otaknya mencoba memproses. "Dan hantu zaman sekarang... tidak punya sopan santun? PAKAI BAJU, KAKEK!"
Si kakek arwah itu perlahan membuka matanya. Matanya terlihat kuno, bijak, dan... sedikit mesum.
"Hooo... seorang bocah," suara si kakek menggema. "Di tengah malam. Di puncak terpencil ini. Kau tersesat?"
Si kakek memandang Lin Feng dari atas ke bawah.
"Atau... kau hanya sange?"
Lin Feng nyaris tersedak ludahnya sendiri. "A-APA?! SANGE?! KAU YANG TELANJANG, KAKEK GILA!"
"Hahahaha!" Si kakek tertawa terbahak-bahak. "Kakek suka bocah yang bermulut besar! Tenang, Nak. Aku tidak punya banyak waktu. Aku ini arwah, entitas kuno, bla bla bla... intinya, aku mau pensiun."
"Pensiun?"
"Ya! Dan aku butuh penerus." Si kakek menatapnya tajam. "Aku sudah mengamatimu. Kau itu 'Vas Bunga Porselen Termahal', kan?"
Lin Feng tersentak. "Kau... tahu julukan itu?"
"Tentu saja!" bentak si kakek. "Aku melihat penderitaanmu! Kau muak, kan? Kau ingin kekuatan, kan? Kau ingin menghajar si 'Zhang Yao' yang sok itu, kan? Kau ingin meniduri si 'Xiao Ning'er' yang dadanya tersembunyi itu, kan?!"
"HEI!" Lin Feng refleks berteriak. "Jaga bicaramu soal Ning'er! ...Tapi ya, soal Zhang Yao, kau 100% benar."
"Hmph! Kakek punya tawaran untukmu." Si kakek merentangkan tangannya. "Aku akan memberimu kekuatan sejati. Kekuatan terhebat di dunia ini. Kekuatan untuk... MENJIPLAK!"
Lin Feng mengerutkan kening. "Menjiplak? Maksudmu... seperti di ujian teori?"
"LEBIH BAIK, BODOH!" raung si kakek. "Kau lihat jurus musuhmu, ZAP! matamu langsung menganalisis konsep dasarnya! Kau langsung bisa menirunya! Dan dengan otak encermu itu... kau bisa MENGEMBANGKANNYA! Mengevolusikannya! Mengubah 'Jurus Tangan Pembelah Batu' yang payah itu jadi 'Jurus Tangan Peremas Gunung Sambil Merayu Gadis'!"
Otak jenius Lin Feng berputar cepat.
"Kelemahan: Kakek ini jelas gila, mesum, dan seorang eksibisionis. Risiko: 99% ini jebakan atau aku sedang halusinasi. Keuntungan: 1% kesempatan aku bisa berhenti jadi sampah..."
"Hmm... persetan," batinnya.
"Ini... ini terlalu..." Lin Feng mencoba mengulur waktu. "Aku perlu berpikir..."
"AARGH! BOCAH ZAMAN SEKARANG TERLALU BANYAK MIKIR!" Si kakek terlihat kesal. "KAU BINGUNG, KAN?! KAKEK ANGGAP KEBINGUNGANMU ITU SEBAGAI 'IYA'!"
"Tunggu! Maksudku bukan begitu..."
SWOOOSSHH!
Si kakek telanjang itu tiba-tiba berubah menjadi seberkas cahaya... sensornya dan semuanya... dan melesat lurus ke arah wajah Lin Feng.
"JANGAN KE WAJAH!" jerit Lin Feng panik. "TIDAK! SETIDAKNYA JANGAN KENA MATA KIRIKU! ITU SISI TERBAIKKU UNTUK FOTO..."
Terlambat.
Cahaya itu menghantam dan merangsek masuk lurus ke mata kirinya.
"AAAAAAAAARRRGGGHHHHHHH!!!"
Lin Feng jatuh berlutut, mencengkeram wajahnya.
Sakit.
Panas.
Seolah-olah matanya sedang disetrika dari dalam.
"PANAS! PANAS! SIALAN! KAKEK TELANJANG SIALAN! MATAKU! KENAPA HARUS MATA?! KENAPA BUKAN... KAKI ATAU SESUATU YANG TIDAK TERLALU KELIHATAN?!"
Rasa sakit yang luar biasa itu berlangsung tepat sepuluh detik. Lalu, lenyap begitu saja.
Hening.
Lin Feng terengah-engah di tanah. Perlahan, dia bangkit. Mata kirinya terasa... aneh. Hangat.
Dia berlari tertatih-tatih ke genangan air sisa hujan semalam. Dia berlutut dan menatap pantulannya.
Wajahnya masih setampan dewa. Mata kanannya normal.
Tapi mata kirinya...
Di dalam bola mata hitamnya, kini berputar sebuah pola emas yang rumit. Pola itu terlihat kuno, agung, dan... jujur saja, sedikit norak.
"..."
Lin Feng terdiam.
"Oke. Jadi... aku baru saja kerasukan arwah kakek-kakek telanjang."
"Dan dia sekarang bersarang... di mata kiriku."
Hening.
Tiba-tiba, sebuah suara bergema di dalam kepalanya.
"Hooo! Kamar yang nyaman! Agak sempit, tapi pemandangannya bagus dari sini! Hei, Nak, bisa kedip sedikit lebih lambat? Kakek mau lihat pemandangan 'gadis' lebih jelas besok."
Lin Feng membenamkan wajahnya ke kedua telapak tangannya.
"Hidupku... baru saja berakhir."
"Berakhir? BODOH! Ini baru saja DIMULAI! HAHAHAHA!"
tapi overall, ini cukup bagus👍
untuk kalimat 'haaaah' ini seperti menghela napas kan? harusnya Hoamm, mungkin?🤭
maaf kak sok tau, tapi aku lebih nyaman begitu🙏