Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Egois
Ana kembali ke kamarnya, namun dia tidak berganti pakaian. Dia hanya duduk di tepi ranjang, tangannya terkepal di pangkuan. Seluruh energi yang dia dapatkan dari pekerjaan barunya tadi siang kini menguap, tergantikan oleh rasa dingin yang menusuk. Dia mendengar suara tawa di lantai bawah. Tawa Enzi, dan tawa seorang wanita yang terdengar begitu renyah dan percaya diri.
"Mbak Ana, Tuan dan tamunya sudah di meja makan," suara Bi Darmi terdengar ragu dari balik pintu.
Ana menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Tatapannya kini tajam. Dia bangkit dan berjalan keluar kamar.
Di lantai bawah, pemandangan itu persis seperti yang dia bayangkan. Amel—tinggi, langsing, dengan rambut hitam legam yang kontras dengan kulit porselennya—duduk di meja makannya seolah dia adalah pemilik rumah. Dia mengenakan dress kasual namun mahal yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Enzi duduk di hadapannya, tersenyum—senyum tulus yang sudah lama tidak Ana lihat.
"Ah, Ana. Sini," panggil Enzi, senyumnya sedikit memudar melihat ekspresi istrinya. "Ana, kenalkan, ini Amel. Teman lamaku."
Amel berdiri, mengulurkan tangan langsingnya. "Senang akhirnya bertemu denganmu, Ana. Enzi... dulu sering sekali bercerita tentang banyak hal."
Ana menyambut uluran tangan itu, genggamannya dingin dan singkat. "Selamat datang di rumah kami."
Makan malam berlangsung dalam kebekuan yang menyiksa. Setidaknya bagi Ana. Enzi dan Amel tenggelam dalam nostalgia. Mereka berbicara tentang London, Milan, tentang pemotretan yang gagal, dan pesta-pesta glamor. Ana hanya duduk diam, menjadi penonton di drama masa lalu suaminya.
"Kau ingat saat kita nekat ke Paris hanya dengan sisa uang beasiswa?" Amel tertawa, matanya berbinar menatap Enzi.
"Dan kita akhirnya makan baguette selama tiga hari," timpal Enzi, ikut tertawa.
Ana meletakkan sendok dan garpunya.
Melihat itu, Enzi seolah tersadar. "Oh, Amel. Sudah larut sekali. Kurasa lebih baik kau menginap di sini saja malam ini. Bahaya menyetir sendirian. Lagipula banyak kamar tamu yang kosong," ujar Enzi santai.
Seketika, Ana menegakkan punggungnya. Suasana yang tadi riuh oleh tawa mendadak hening.
"Dia tidak akan menginap di sini," desis Ana. Suaranya pelan, namun tajam seperti pisau.
Enzi menoleh, kaget. "Ana, apa maksudmu? Dia tamuku—"
"Dia tamumu, tapi ini rumahku juga," potong Ana, matanya menatap lurus ke arah Amel. "Aku tidak nyaman ada tamu wanita asing yang tidak aku kenal menginap di rumahku. Kau bisa memesankannya hotel."
Wajah Enzi memerah karena malu dan marah. Ini pertama kalinya Ana membantahnya di depan orang lain. "Ana, jangan kekanakan! Amel temanku!"
Amel, yang sedari tadi hanya mengamati, tiba-tiba tertawa kecil, memecah ketegangan. "Ya ampun, Enzi. Santai saja. Tentu saja aku tidak akan menginap," katanya, sambil meraih tasnya.
"Ana benar, aku ini orang asing baginya. Wajar kalau dia tidak nyaman," lanjut Amel, suaranya terdengar begitu pengertian, seolah dialah korban yang bijaksana. "Aku sudah pesan kamar di hotel, kok. Tadi hanya basa-basimu saja, kan?"
Enzi tampak serba salah. "Bukan, Mel, aku serius. Tapi..."
"Tidak apa-apa," Amel berdiri. "Antar aku ke hotel, ya, Zi? Barang-barangku masih di mobilmu. Kita bisa selesaikan obrolan kita di jalan."
Enzi menatap Ana dengan marah, lalu bangkit. "Tentu. Ayo."
Tanpa sepatah kata pun pada Ana, Enzi mengantar Amel keluar. Ana hanya duduk mematung di meja makan, mendengarkan suara mobil yang menjauh.
Di dalam mobil, Enzi menyetir dalam diam. Rahangnya mengeras.
"Maafkan aku, Mel. Soal sikap istriku," ujar Enzi akhirnya.
Amel tersenyum tipis, tangannya menyentuh lengan Enzi sekilas. "Tidak apa-apa, Zi. Pengantin baru memang begitu. Posesif. Wajar," katanya lembut. "Lagi pula aku hanya beberapa hari di Indonesia. Setelah fashion week selesai, aku kembali ke Milan. Aku hanya ingin memastikan sahabat lamaku ini baik-baik saja."
Kelembutan dan pengertian Amel terasa kontras dengan sikap dingin Ana di rumah. Enzi menghela napas. "Terima kasih pengertiannya."
Enzi mengantar Amel sampai ke lobi hotel mewah. Dia tidak ikut naik. Setelah memastikan Amel check-in dengan aman, dia kembali ke mobil. Dia tidak langsung pulang. Dia butuh udara. Dia menyetir tanpa tujuan selama hampir dua jam, membiarkan kemarahan dan kebingungannya mereda.
Jam menunjukkan pukul 1:30 pagi ketika mobil Enzi akhirnya masuk ke garasi. Rumah sudah gelap total. Dia membuka pintu pelan-pelan. Sunyi. Dia tahu Ana pasti menunggunya di kamar, siap untuk melanjutkan perdebatan.
Tapi Enzi terlalu lelah. Lelah menghadapi Amel, lelah menghadapi Fabian, dan terutama, lelah menghadapi Ana. Dia tidak ingin bertengkar malam ini.
Dia berbelok, tidak menaiki tangga menuju kamar utama. Sebaliknya, dia masuk ke kamar tamu di lantai bawah, menutup pintu pelan, dan menguncinya.
Pagi harinya, Ana terbangun sendirian. Sisi tempat tidur Enzi masih rapi dan dingin, sama seperti pagi sebelumnya. Dia tahu Enzi sudah pulang; dia mendengar suara mobilnya, samar-samar. Dia juga tahu Enzi tidak tidur di kamar mereka.
Dengan hati yang berat, Ana turun untuk sarapan. Dia menemukan Enzi sudah duduk di meja makan, lengkap dengan setelan kerjanya, membaca berita di tabletnya.
Ana duduk di seberangnya. Bi Darmi menyajikan kopi untuk mereka berdua dengan gugup, lalu cepat-cepat menyingkir. Keheningan di antara mereka begitu pekat.
"Kau tidur di kamar tamu," ujar Ana, memulai. Itu bukan pertanyaan.
Enzi tidak mengangkat wajahnya dari tablet. "Aku tidak ingin berdebat tadi malam."
"Tapi kita akan berdebat sekarang," balas Ana. "Untuk apa kau membawanya ke sini, Enzi?"
Enzi akhirnya meletakkan tabletnya dengan kasar. "Dia temanku, Ana! Sudah berapa kali harus kukatakan? Kau benar-benar membuatku malu semalam!"
"Aku membuatmu malu?" Ana tertawa sinis. "Kau yang melarangku bekerja, mengurungku di rumah ini dengan alasan cemburu pada Fabian, tapi kau dengan santainya membawa cinta pertamamu makan malam di meja makanku? Dan bahkan memintanya menginap?"
"Jangan samakan Amel dengan Fabian!" bentak Enzi. "Amel kembali sebagai teman! Dia tidak punya niat buruk! Sedangkan Fabian, dia mendekatimu untuk menghancurkanku!"
"Kau tahu dari mana dia tidak punya niat buruk?" tantang Ana, suaranya mulai bergetar. "Kau tahu dari mana dia 'hanya teman'? Dari cara dia menatapmu? Dari cara kalian bernostalgia seolah aku tidak ada di sana?"
"Cukup, Ana!"
"Belum!" Ana berdiri, tangannya memukul meja. "Kau menuduhku berselingkuh hanya karena aku ingin bekerja. Kau menyalahkan keluargaku atas kematian orang tuamu. Kau mengurungku! Tapi kau sendiri? Kau bebas bertemu masa lalumu kapanpun kau mau? Kau pikir pernikahan ini hanya tentang egomu, Enzi?"
Enzi ikut berdiri, menatap Ana dengan mata menyala. "Kau istriku! Seharusnya kau tahu posisimu! Kau seharusnya mendukungku, bukan malah mempermalukanku di depan temanku!"
"Posisiku?" ulang Ana, suaranya pecah. "Posisiku adalah istrimu! Bukan tahananmu! Kalau kau memang masih mencintainya, kenapa kau menikahiku, Enzi? Kenapa?!"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Enzi terdiam, rahangnya mengeras, tidak bisa—atau tidak mau—menjawabnya.
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau