Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Lily tidur bergulingan di kasur. Pikirannya melayang jauh. Terus kepikiran sikap Ines yang sangat berubah drastis kepadanya. Padahal kemarin mereka masih baik-baik saja, tetapi kenapa sekarang Ines bersikap seolah mereka berdua adalah musuh. Mungkinkah Ines marah karena ia meninggalkannya dengan Arvel. Padahal 'kan maksud Lily agar Ines bisa berduaan dengan Arvel. Gebetan gadis itu.
Sudah beberapa pesan dikirim, tetapi tidak ada satu pun balasan. Bahkan, ketika Lily berusaha menelepon, panggilan itu justru ditolak begitu saja.
"Ini anak kenapa, sih? Emang gue punya salah apa sama dia." Lily menggerutu. Ia pun menaruh ponsel karena tidak ingin semakin kesal. Percuma juga. Toh, nanti saat Ines sudah tenang gadis itu pasti akan menceritakan semuanya.
Namun, baru saja benda pipih itu bersentuhan dengan nakas, justru berdering. Dengan antusias Lily mengambil dan berpikir bahwa Ines menghubunginya. Ternyata bukan, panggilan itu dari Brian.
"Hallo, Om. Ada apa?" tanya Lily malas.
"Buka pintunya, aku di depan rumahmu."
Bola mata Lily membulat penuh saat mendengar sahutan dari seberang. Ia pun langsung berdiri dan mengintip dari jendela kamar. Benar saja, Brian sedang berdiri di samping mobilnya. Dengan segera, Lily keluar kamar dan membuka pintu untuk kekasih pura-puranya tersebut.
"Om, ini udah mau malem. Ada apa datang ke sini?" tanya Lily saat baru membuka pintu.
"Apa kamu tidak punya sopan santun. Ada tamu, bukannya menyuruh masuk justru ...."
"Baiklah, silakan masuk, Tuan." Lily berbicara malas sambil mempersilakan Brian untuk masuk dan duduk di sofa. "Ada apa, Om?"
"Apa kamu tidak membuatkan minum untuk tamu kamu ini," kata Brian. Lily mendengkus kasar. Entah mengapa ia merasa kalau Brian sangat menyebalkan.
"Om mau minum apa? Gue cuma punya air putih sama teh doang," kata Lily setengah ketus.
"Terserah kamu saja. Yang penting kamu yang buat," balas Brian datar.
Lily bangkit dan menuju ke dapur. Selang beberapa saat, ia keluar sambil membawa segelas air putih. Brian hanya diam dan menatap Lily yang tidak seceria biasanya.
"Kamu ada masalah?" tanya Brian. Menenggak segelas air putih itu sampai tandas. Lily yang melihatnya pun hanya bisa melongo.
"Elu kehausan, Om?" tanya Lily tanpa menjawab pertanyaan Brian.
"Aku bertanya padamu. Kenapa kamu menjawab pertanyaan dengan sebuah pertanyaan." Brian dengan gemas menyentil kening Lily. Membuat gadis itu mengaduh.
"Enggak papa. Gue cuman lagi capek aja. Sepertinya gue butuh hiburan."
"Ya sudah, di mana ayah?" tanya Brian. Mengamati ke dalam rumah karena suasana begitu sepi.
"Kenapa? Ayah di kamar."
"Nak Brian," panggil Pak Faiz. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba. Brian bangkit dan menyalami pria paruh baya itu. Tak lupa juga Bibi Imah yang berdiri di belakang Pak Faiz. "Tumben malam-malam ke sini, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Om. Saya hanya ingin mengajak kalian makan malam."
"Makan malam?" tanya Lily menyela. Keningnya terlihat mengerut dalam.
"Iya. Aku sengaja tidak mengatakan padamu lebih dulu. Daripada kemalaman, kita berangkat sekarang saja."
"Sama Ayah dan Bibi Imah?" tanya Lily lagi. Masih belum percaya.
"Kenapa kamu sangat cerewet. Tentu saja iya, aku tidak mau makan malam hanya denganmu. Pasti akan sangat menyebalkan," ujar Brian.
Lily mendengkus kasar, tetapi ia tetap bangkit dan berganti mendorong kursi roda sang ayah. Walaupun nampak cuek, tetapi dalam hati Lily merasa sangat bahagia dengan ajakan itu. Ia sungguh tidak menyangka kalau Brian akan mengajaknya makan malam bersama. Yang lebih membuat bahagia adalah Brian tanpa malu mengajak ayahnya Lily dan Bibi Imah untuk ikut serta.
***
Suasana restoran itu nampak sepi. Bahkan, tidak terlihat satu pun pengunjung di sana. Padahal restoran itu terbilang mewah.
"Ini restoran lebih sepi dari kuburan, Om." Lily duduk di samping Brian.
Ia tertegun melihat meja itu telah dihias sedemikian rupa. Terlihat begitu romantis. Seandainya ia dan Brian adalah kekasih sungguh-sungguh, sudah pasti Lily akan merasa sangat bahagia dengan semua ini. Ia belum pernah menjalin hubungan, dan di balik sikap Brian yang menyebalkan, lelaki itu begitu romantis.
Ah, Lily harus menahan diri. Jangan sampai ia jatuh cinta dengan sikap Brian ini. Bukankah lambat laun hubungan mereka akan berakhir juga. Bahkan, Lily sudah tanda tangan hitam di atas putih bahwa hubungan mereka hanya akan berjalan selama satu tahun.
"Apa kamu suka?" tanya Brian. Menatap Lily sangat lekat. Membuat gadis itu salah tingkah.
"Om, gue suka banget. Ternyata elu romantis juga." Lily tersenyum simpul. Jantung Brian berdebar kencang ketika melihat senyuman itu. Ia tergoda.
"Syukurlah kalau kamu suka."
Ada dua orang pelayan datang sambil membawa beberapa hidangan. Mereka pun menaruh di meja. Lalu membuka satu persatu makanan itu. Tepat ketika tutup makanan di depan Lily dibuka, gadis itu lagi-lagi dibuat tertegun.
Happy birthday Lily.
Sungguh, Lily tidak tahu harus berkata apa. Ia diam dan menatap semua itu dalam waktu yang lama. Sementara Pak Faiz dan Bibi Imah tersenyum bahagia. Lily bahkan melupakan hal penting dalam hidupnya. Ia lupa bahwa hari ini tepat usianya bertambah.
"Selamat ulang tahun." Brian lagi-lagi memberi kejutan dengan menyodorkan sebuah kotak bludru berwarna merah. "Ini kado untukmu."
Lily menerima kotak itu dengan ragu. Saat membukanya, ada sebuah cincin berlian yang nampak berkilau. Simpel dan elegan.
"Om-om ...." Lily tak mampu berkata-kata.
"Maaf, itu hanya hadiah kecil. Semoga kamu suka," kata Brian gugup. Belum pernah ia melakukan hal seperti ini kepada seorang wanita.
"Ini bukan hanya hadiah kecil, Om. Ini luar biasa."
Belum juga selesai, tiba-tiba terdengar musik keras. Lagu selamat ulang tahun. Beberapa orang datang membawa kue, bunga dan bungkusan.
Sungguh, Lily dibuat speechless!
Lily mengamati mereka satu persatu. Tidak ada yang dikenal selain Yosep dan ....
"Ines!"
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦