Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemukan Kamar Baru
Usai mengadakan pertemuan dengan dua kliennya pada pagi hingga tengah hari tadi, Dion yang teringat pada Yenni memutuskan untuk mengunjungi gadis cilik itu. Apalagi ia belum pernah mengunjunginya sejak Maret lalu.
“Yenni, Om Dion pergi dulu, ya, soalnya harus bekerja,” ujar Dion pada Yenni yang digandeng oleh ibunya, Marini.
“Iya Om. Datang lagi ya, ajarin Yenni menggambar lagi!” sahut gadis kecil itu melambaikan tangan pada Dion sore itu.
Yenni yang kini sudah duduk di bangku SD merasa senang dengan kunjungan itu. Apalagi Dion membawakannya tas, boneka, buku mewarnai dan pensil warna.
Siang tadi, Dion tak kuasa menolak ajakan Marini untuk makan bersama. Tapi kembali duduk di meja makan dapur itu membuat Dion teringat masa-masa ia tinggal di rumah itu. Terutama masa-masa pahit dan berat April tahun lalu.
Dion yang pada dasarnya sentimental, coba mengalihkan ingatannya pada hal lain yang lebih menyenangkan, tapi justru membawanya kembali pada saat-saat ia yang bersemangat menerima surat-surat dari Wina. Termasuk saat-saat ia yang harus berupaya keras untuk membalas surat-surat itu.
Setelah makan siang, Dion menyempatkan diri ngobrol dengan Marini dan menanyakan keadaan suaminya, Adian. Dion tak kuasa menolak ajakan Yanni yang ingin bermain bersama. Gadis itu menolak tidur siang dan merengek pada ibunya agar diperbolehkan bermain bersama Dion yang memang jarang mengunjunginya.
Dion yang menyukai gadis kecil yang lucu dan lugu itu, menemaninya bermain dan membantu mewarnai buku yang baru saja diberikan. Gadis itu kian antusias ketika Dion mengajarinya saturasi dan kombinasi warna dasar.
Ketika hari sudah cukup sore, Dion pun berpamitan.
Ia kembali menyusuri jalan yang dulu biasa ia lalui. Melewati Gang Mangga membuat Dion tiba-tiba merasa rindu pada rumah yang pernah ia kontrak bersama si kembar Tian dan Oscar beserta Juli dan suaminya. Dion membelokkan sepeda motornya dan berhenti di depan rumah kecil bercat putih itu.
Dion memandangi teras rumah di mana ia menghabiskan banyak waktu bercengkerama bersama Wina dan si kembar. Tak ingin larut lebih lanjut, Dion mengalihkan pandangannya pada kebun Mangga yang berada di seberang jalan.
Ia kembali terjebak karena kebun itu justru mengingatkannya pada momen dua tahun lalu di mana ia memanjati pohon-pohon untuk memenuhi permintaan Wina memanen mangga.
“Cari siapa, Bang?” tanya seorang ibu yang sudah berada di depan gerbang pintu rumah membuyarkan lamunan Dion.
“Maaf Ibu. Saya dulu yang ngontrak di sini. Kebetulan lewat jadi singgah karena rindu,” sahut Dion.
“Mau masuk dulu?” tanya ibu itu.
“Tidak usah, Ibu. Saya cuma sebentar kok,” ujar Dion lalu pamit meninggalkan Gang Mangga.
Dion sudah hampir mendekati persimpangan jalan utama ketika perhatiannya tertuju pada bangunan megah dengan pamflet bertuliskan informasi penyewaan kamar. Meskipun dulu sering melewatinya, ia tak pernah benar-benar memperhatikan suasana rumah atau gedung berhalaman luas itu.
Dion yang memang berniat pindah dari indekos memutuskan untuk mencari mendapatkan informasi lebih banyak mengenai penyewaan itu.
Beberapa hari lalu ia mendapat teguran dari pemilik indekos terkait keributan yang terjadi ketika kunjungan mendadak dari pamannya Ruben, ayah Yuna dan keempat temannya. Selain itu, ia memang berniat pindah karena ingin mendapatkan privasi yang lebih baik.
Kedatangan Dion disambut oleh sepasang suami istri berusia akhir 50-an, Bapak dan Ibu Hariman. Kedua orang tua itu lalu membawa Dion melihat kamar yang berada di lantai dua paviliun yang terpisah dari rumah utama.
Dion sedikit kaget menyadari paviliun itu lebih besar dari yang terlihat dari jalan. Dion segera menyukai kamar yang ditunjukkan padanya. Bukan saja karena berukuran lebih besar dari kamar hotel, tapi juga tertata baik dengan interior dan perabot modern. Kamar itu lebih mirip kamar suite di hotel berbintang karena juga memiliki dapur kecil.
“Kamar yang disewakan hanya yang di atas sini. Karena lantai bawah digunakan sebagai kantor oleh keponakan kami,” jelas Pak Hariman.
“Wah, kamarnya besar sekali,” Dion tak kuasa untuk tidak memberikan pujian.
“Iya, bila digabung dengan kamar mandi, luasnya 48 meter persegi. Kamar ini tidak hanya cocok untuk satu orang atau pasangan, tapi juga bisa untuk keluarga kecil. Bila ditambah dengan tempat tidur ekstra tidak akan terasa sempit,” jelas Hariman.
“Yang kosong hanya kamar ini saja pak?” tanya Dion.
“Oh tidak. Ketiganya masih kosong. Kami memang tak pernah memiliki penyewa jangka panjang, biasanya hanya bulanan. Mereka umumnya karyawan dari luar pulau yang bertugas sementara di sini,” jawab Ibu Hariman.
“Kalau begitu, saya bisa memilih kamar yang mana saja bukan?” tanya Dion lagi.
“Boleh Nak. Ukuran dan tarifnya juga sama. Nak Dion mau yang mana? Kenapa bukan kamar ini saja, kan lebih dekat tangga?” sahut Hariman.
Kamar yang ditunjukkan pada Dion berada di sebelah kiri tangga, sementara dua kamar lainnya berada di sebelah kanan.
“Boleh lihat yang di ujung sana, Pak?” tanya Dion.
Pasangan suami-istri itu saling berpandangan untuk sesaat, membuat Dion sedikit curiga.
“Oh boleh, Nak,” jawab Pak Hariman lalu melangkah ke arah kamar dimaksud Dion dan membukakan pintu kamar.
“Wah, saya suka yang ini karena punya jendela ke arah depan dan ke arah jalan. Tapi kenapa tidak ada tempat tidurnya, Pak?” tanya Dion.
“Oh, tempat tidurnya akan dipasang. Yang lama kami keluarkan karena ternoda tumpahan minuman oleh penghuni sebelumnya,” jawab pria itu lagi.
Dion semakin menyukai kamar itu ketika mendapati kamar itu memiliki perabot dan interior modern. Terlihat masih baru dan jarang digunakan. Selain itu, kamar itu juga menghadap ke arah barat, membuat matahari terbit di belakangnya.
“Pasti tidak akan terganggu cahaya pagi kalau bekerja pada pagi hari,” pikir Dion.
“Saya kadang bekerja di kamar dengan komputer. Apakah masalah kalau saya membawa meja sendiri?” tanya Dion.
Tidak masalah. Kami bisa keluarkan meja menulisnya kalau Nak Dion menginginkan. Sebenarnya saya yakin space-nya cukup untuk meja tambahan,” jawab Hariman yang adalah seorang pensiunan kantor pemerintah provinsi.
Dion kembali kaget ketika suami istri itu menawarkan harga yang murah untuk kamar itu, hanya sedikit lebih mahal dari indekos yang saat ini dihuni Dion.
“Itu harga kalau langsung menyewa selama setahun, lho. Hitung-hitung promo,” jelas Ibu Hariman.
“Itu sudah termasuk penggantian seprai dan sarung bantal sekali seminggu dan horden sekali sebulan. Kalau mau jasa kebersihan kamar atau penatu, tinggal bicarakan dengan pekerja di sini,” tambah wanita tua itu.
Meskipun sempat curiga dengan sikap suami istri itu ditambah harga yang miring, Dion memutuskan untuk membayar uang muka.
Kamar itu tak hanya menyediakan perabotan sendiri seperti lemari baju, tempat tidur, meja menulis, dapur kecil dengan alat-alat memasak, tapi juga televisi dan pendingin ruangan.
“Saya akan pindah dalam satu minggu. Paling lama dua minggu,” ujar Dion setelah menyerahkan uang pada ibu Hariman.
“Iya nak. Nanti sewa akan dihitung mulai hari pertama kepindahan ke sini,” sahut Bu Hariman bersemangat.