Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Para Pemburu Roh
Malam turun perlahan di atas pegunungan, menyelimuti gubuk kayu tua milik Nenek Li dalam keheningan yang damai. Hanya suara serangga malam dan desir angin pegunungan yang menemani Liang Feng saat ia membantu menata ramuan-ramuan obat di rak bambu. Di pangkuannya, Bai Xue, rubah berekor perak, berbaring tenang, matanya setengah terpejam.
Namun ketenangan itu terbelah oleh suara dentuman keras, pintu gubuk dihantam dengan kekuatan yang cukup besar hingga berderak. Liang Feng tersentak, nyaris menjatuhkan botol ramuan di tangannya. Bai Xue langsung mengangkat kepala dan menggeram pelan, bulu-bulunya menegang, menandakan adanya bahaya yang mendekat.
“Siapa di luar sana?” seru Nenek Li, suaranya datar dan tegas. Meski tubuhnya sudah renta, tak ada sedikit pun getaran ketakutan dalam suaranya.
Pintu terbuka dengan paksa, dan dari balik kegelapan malam, muncul bayangan hitam yang menyeramkan. Mata merah menyala menatap dari balik jubah bayangan, diikuti barisan makhluk tinggi berwujud asap kelabu, masing-masing membawa tombak kristal ungu.
Para Pemburu Roh telah tiba.
Liang Feng berdiri dan melangkah maju, berdiri di depan Nenek Li dengan tubuhnya sebagai perisai. Tangan kanannya mencengkeram pedang bermotif naga putih, sementara tangan kirinya menggenggam tongkat kayu putih, alat penyalur kekuatan Tianlong Mark yang diwarisi sejak lahir.
“Pergi dari sini!” teriaknya. “Tempat ini bukan untuk kalian!”
Salah satu Pemburu melangkah maju. Suaranya seperti gesekan logam kasar. “Serahkan roh rubah itu. Jika tidak, kau dan wanita tua itu akan merasakan penderitaan yang tak berakhir.”
Nenek Li tetap berdiri tenang. Ia menjulurkan tangan, jari keriputnya menyentuh nampan perak yang berisi cawan-cawan kecil berisi cairan biru kehijauan. “Ramuan ini bukan untukmu. Ini penjaga keseimbangan antara roh dan manusia. Pergilah.”
Salah satu Pemburu mengayunkan tombaknya. Energi hitam meledak dari ujungnya, menghantam dinding gubuk dan mengguncangkan seluruh bangunan. Liang Feng segera membentuk simbol naga di udara dengan pedangnya. Cahaya hijau bercampur perak memancar membentuk perisai melengkung di depannya.
“Tianlong Mark!” serunya. Suaranya bergema seperti raungan naga kuno.
Energi hitam itu terpental, pecah menjadi serpihan bayangan yang menghilang di udara. Para Pemburu mundur satu langkah. Mereka tidak menyangka bahwa seorang manusia biasa bisa memantulkan serangan roh mereka.
Dari sisi gubuk, Bai Xue bangkit dan berdiri. Bulu ekornya yang perak berpendar lembut. Meski masih lemah, ia mengambil posisi bertahan, seolah ingin membalas kebaikan Liang Feng yang telah menyelamatkannya.
Seorang Pemburu berbisik pada rekannya. “Dia menggunakan kekuatan pelindung kuno... Kita butuh Sutra Pembelenggu Arwah.”
Namun sebelum mantra itu bisa dibacakan, Liang Feng menyerang lebih dahulu. Ia menanamkan pedang ke tanah, memejamkan mata, dan memusatkan seluruh kekuatan Tianlong Mark ke dalam tulang punggungnya. Sisik halus muncul di lengannya, auranya menyala hijau-perak, berkilauan dalam kegelapan.
Suara gemuruh terdengar pelan, merambat dari tanah dan membuat pohon-pohon di sekitar berderit. Liang Feng membuka mata dan melompat ke depan, mengayunkan pedang. Gelombang energi berbentuk naga menerjang ke arah para Pemburu.
Sutra Pembelenggu Arwah yang baru saja disentuhkan ke lantai langsung hancur terbelah. Para Pemburu terseret ke belakang, beberapa terjatuh dan mengerang kesakitan.
Nenek Li tak tinggal diam. Ia mengambil ramuan kedua dan menggambar lingkaran mantra di udara dengan jari telunjuknya. Cahaya biru berbentuk kelopak sakura mengelilingi gubuk, menciptakan dinding pertahanan dari serangan energi jahat.
Bai Xue memejamkan mata, menghimpun sisa kekuatannya. Dengan sekali kibasan ekornya, ia memancarkan energi kesucian yang menyembuhkan luka-luka roh dan menenangkan atmosfer sekitarnya. Meskipun tubuhnya lemah, ia tidak menyerah.
Tiba-tiba, salah satu Pemburu yang tersudut berteriak, “Formasi Bayangan!” Dalam hitungan detik, sembilan bayangan lain muncul dari balik pepohonan, mengepung gubuk dari tiga sisi.
Liang Feng menoleh ke arah Nenek Li. Ia tahu, mereka tak bisa bertahan lama di tempat ini.
“Bai Xue!” panggilnya. “Bawa kami ke ruang bawah tanah! Ramuan suci harus dilindungi!”
Bai Xue mengangguk dan melesat ke sudut ruangan. Dengan cakarnya, ia menyentuh lantai kayu, membuka celah rahasia yang mengarah ke tangga batu.
Liang Feng menyarungkan pedang dan mengambil tongkat kayu putihnya. “Nenek, ayo! Aku akan menahan mereka!”
Nenek Li mengangguk, mengambil nampan perak berisi ramuan, dan turun lebih dulu bersama Bai Xue. Liang Feng menyusul setelah memastikan pintu rahasia tertutup kembali.
Di atas, para Pemburu menghantam pintu gubuk dengan kekuatan penuh. Kabut ungu mulai merembes masuk melalui celah kayu, membawa hawa dingin dan aura kematian. Lilin satu per satu padam, dan api di tungku hampir mati. Suasana berubah kelam, seperti berada di ambang dunia roh dan dunia manusia.
Di bawah tanah, Liang Feng dan Nenek Li mencapai ruang rahasia. Dinding-dinding batu dihiasi rak kayu penuh botol ramuan. Di tengahnya, terdapat meja batu memancarkan cahaya biru lembut.
“Cepat, campurkan bunga aren, air embun purnama, dan darah roh rubah,” kata Nenek Li sambil membuka tutup botol. Suaranya tegas meski terburu-buru.
Liang Feng mengambil bunga aren beraroma manis, menuangkan air embun purnama dari botol kristal, dan meneteskan setetes darah putih dari ampul yang disimpan dengan hati-hati. Ia mengaduk campuran itu dengan tongkat kayu putih. Cairan itu memendar, berubah warna menjadi biru keperakan yang indah dan kuat.
“Sekarang,” ujar Nenek Li. “Ucapkan mantra pelindung tertua: ‘Naga Jingga, perisai jiwa, kunci cahaya dalam kegelapan!’”
Liang Feng menarik napas dalam-dalam dan melafalkan mantra dengan penuh keyakinan. Kilatan cahaya keluar dari mangkuk ramuan, membentuk kubah pelindung yang melingkupi seluruh lorong bawah tanah. Suara retakan batu terdengar di atas, namun cahaya itu menahan segalanya.
Di atas, para Pemburu mulai kebingungan. Energi yang tadinya meluap kini terhenti. Kabut ungu mulai surut, dan bara api di tungku menyala kembali dengan cahaya keemasan. Lilin-lilin pun menyala, menerangi ruangan yang hampir hancur.
Dan lalu... semuanya hening.
Tak ada lagi suara langkah kaki. Tak ada teriakan. Gubuk hanya bergetar sekali, lalu berhenti. Kabut malam menghilang, menyisakan keheningan yang mencekam dan magis.
Di bawah, Liang Feng menjatuhkan dirinya ke lantai batu, napasnya terengah. Nenek Li menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik, Feng. Tianlong Mark dan ramuan suci ini kini akan menjaga gubuk ini.”
Di atas, Bai Xue kembali memancarkan cahaya peraknya. Retakan-retakan di kayu mulai tertutup, gubuk perlahan memperbaiki dirinya dengan sihir pelindung yang ditanam oleh Nenek Li bertahun-tahun lalu.
Liang Feng menatap ke arah tangga batu. “Ini baru awal,” bisiknya. “Para Pemburu Roh belum menyerah. Aku harus lebih kuat, demi Nenek Li, demi Bai Xue, dan demi keseimbangan dunia ini.”
Dan di luar sana, dalam gelapnya hutan, sepasang mata merah kembali memantau dari kejauhan. Tekad mereka belum padam. Perburuan baru saja dimulai.