Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25 Penghinaan Terselubung Wu Chengfeng: Tekanan Sebelum Negosiasi
Mu Xie tengah menyandarkan sikunya di meja sambil memainkan gelas arak di tangannya. Tatapan mereka berdua bertemu sebelum Mu Xie menyeringai sinis seperti sedang menikmati pertunjukan kecil.
Wajahnya nyaris tak berubah sedikitpun dari ingatan Wu Shen yang asli, kecuali sorot matanya yang kini semakin congkak.
Wu Shen mengepalkan tangannya di bawah meja. Urat-urat halus di pergelangan tangannya muncul, menegang. Tapi wajahnya tetap dingin. Terlalu tenang… dan justru itulah yang membuat beberapa orang merinding.
Beberapa bisik-bisik mulai terdengar di antara keluarga besar sekte.
“Itu... Wu Shen, kan?”
“Yang dianggap sampah karena bakat beladirinya yang buruk?”
“Tapi tatapannya... seperti bukan orang yang sama.”
Wu Guan melirik anaknya sejenak, lalu kembali fokus ke meja di hadapannya. Wu Ruoxi tak berkata apa pun, tapi matanya tak pernah lepas dari tangan Wu Shen yang masih mengepal.
“Tenang,” bisiknya lembut, hampir seperti gumaman angin. “Ingat jika kau sudah berjanji.”
Wu Shen menghela nafas pelan lalu mengangguk kecil, berusaha menenangkan keinginannya untuk berlari dan segera menendang wajah menjengkelkan Mu Xie.
Sementara itu, Jing Hun memperhatikan dari seberang meja. Ia tak bicara, tapi jelas ia membaca situasi. Tatapan Wu Shen membuatnya sedikit menyipitkan mata.
'Orang dengan bakat yang buruk?' pikir Jing Hun, mengingat kembali tangannya yang hampir diremukan oleh Wu Shen. 'Jika dia adalah sampah, maka semua orang yang ada disini adalah kotoran anjing.'
Tak lama kemudian, pintu besar aula terbuka sekali lagi diiringi suara si penjaga pintu: "PATRIAK SEKTE TELAH TIBA!"
Langkah berat dan teratur menggema di lantai kayu, membuat semua obrolan sontak terhenti. Para murid, tetua, hingga tamu-tamu dari berbagai keluarga menoleh serempak.
Suasana yang semula hangat mendadak membeku.
Sosok tinggi menjulang melangkah masuk, mengenakan jubah merah tua dengan bordiran bulu api mengelilingi seluruh tubuhnya. Setiap sulaman tampak hidup, berkilauan di bawah cahaya lentera, seolah bernapas bersama si pemakainya.
Di bahunya tergantung mantel bulu feniks berwarna hitam-keemasan yang menjuntai sampai ke lantai.
Wajahnya keras, dengan sorot mata setajam tombak. Alis tebalnya melengkung tajam, dan janggutnya yang terawat rapi menambah kesan agung namun menakutkan.
Di dahinya terpatri simbol Sekte Phoenix: lingkaran api dengan tiga cabang menyala—lambang mutlak otoritas dan kekuatan.
Wu Chengfeng, sang Patriak Sekte Phoenix.
“Salam untuk para tamu terhormat dari Sekte Mawar Putih,” ucapnya dengan suara lantang yang menggema ke seluruh aula, setiap kata seakan membawa beban puluhan tahun kekuasaan. “Kehadiran kalian adalah suatu kehormatan besar bagi kami.”
Beberapa tetua langsung menunduk, sementara tamu-tamu dari keluarga kecil hanya menatap penuh kagum dan takut.
Namun, Jing Hun hanya memperhatikan dengan dingin, tidak terkesan sedikit pun.
Ia tahu... Jika itu hanyalah sekedar formalitas.
Wu Chengfeng berjalan perlahan menuju tempatnya yang berada di ujung tengah ruangan. Ia bersila dengan tenang, lalu menatap seluruh ruangan dengan mata penuh wibawa.
Setelah diam sejenak, ia mengangkat cangkir araknya tinggi-tinggi.
“Sekarang… mari kita rayakan pertemuan ini. Silakan nikmati hidangan yang telah kami siapkan untuk kalian.”
Tepuk tangan dan musik kembali pecah, seolah suasana kembali menghangat. Pelayan-pelayan wanita cantik membukakan penutup makanan satu per satu di sepanjang meja.
Namun saat penutup makanan di depan Lin Shuelan dan pengawalnya dibuka, mata mereka semua langsung membelalak melihat apa yang dihidangkan.
Lin Shuelan menahan nafasnya. Jing Hun mengernyit tajam. Bahkan salah satu pengawal terbatuk kecil karena terkejut.
Di depan mereka, semangkuk sup berwarna oranye kemerahan mengepul pelan. Di dalamnya, jelas terlihat helai-helai Rumput Api, bahan spiritual langka yang seharusnya tidak mungkin disajikan sembarangan—apalagi dihidangkan sebagai makanan.
Lin Shuelan tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ini...”
Jing Hun mengepalkan rahangnya. Rahang bawahnya menegang saat matanya menyipit ke arah Wu Chengfeng yang kini menatap mereka dari kejauhan. Di wajah sang Patriak, tersungging senyum tipis penuh makna.
'Provokasi tersembunyi,' pikir Jing Hun. 'Dia tahu alasan kenapa kami datang. Dan dia sengaja meludahi niat kami tepat di atas meja negosiasi.'
Salah satu pengawal wanita berbisik pelan di dekat Shuelan, “Apa kita harus pergi, Nona?”
Shuelan menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Tapi dia menoleh ke Jing Hun, menunggu tanggapan.
Namun pria itu tetap diam, hanya berkata pelan, “Jangan bergerak. Jangan tunjukkan kemarahan.”
Lalu, dengan ekspresi datar, Jing Hun mengangkat sumpitnya… dan mengaduk sup tersebut sekali. Uap panas naik ke udara, membawa aroma pedas dan aroma khas Rumput Api yang membuat banyak alkemis iri hanya karena bisa menciumnya.
Wu Shen yang duduk tak jauh dari meja mereka ikut melihat itu. Tatapannya bertemu sebentar dengan Shuelan, yang kini menunduk dan menyembunyikan kegelisahannya.
Wu Ruoxi bergumam pelan ke suaminya, “Kau lihat? Orang tua sialan itu tidak main-main. Dia sedang mengukir pesan di depan Sekte Mawar Putih.”
Wu Guan mengangguk pelan. "Dengan menyajikan rumput api sebagai hidangan utama, Patriak mempertegas jika dia memiliki pasokan rumput api yang tak terbatas. Benda langka yang sangat diinginkan oleh lawan negosiasinya."
Wu Guan, sebagai mantan pebisnis dan pedagang tentu saja mengerti dengan sikap yang dilakukan oleh Wu Chengfeng. Ia menoleh sekali lagi kearah kelompok Sekte Mawar Putih. 'Lin Shuelan... Bagaimana caramu mengatasi lawan merepotkan seperti ini?'
Wu Chengfeng lalu berdiri sekali lagi, mengangkat cangkirnya dan berbicara dengan nada santai, tapi tajam.
“Sekte Phoenix kami punya banyak hasil alam yang melimpah. Rumput Api adalah salah satu bahan yang sering kami konsumsi untuk menjaga vitalitas para murid. Kuharap para tamu kami bisa merasakannya juga.”
Tatapan-tatap mata mulai bergeser. Para penatua dan murid elit yang cukup pintar tampak gelisah. Mereka tahu jika ini bukan sekadar pesta.
Ini adalah perang harga diri, dan Sekte Mawar Putih sedang dipaksa untuk tunduk bahkan sebelum negosiasi dimulai.