Akademi Valdris. Medan perang bagi calon jenderal, penasihat, dan penguasa.
Selene d’Aragon melangkah santai ke gerbang, hingga sekelompok murid menghadangnya.
"Kau pikir tempat ini untuk orang sepertimu?"
Selene tersenyum. Manis. Lalu tinjunya melayang. Satu tumbang, dua jatuh, jeritan kesakitan menggema.
Ia menepis debu, menatap gerbang Valdris dengan mata berkilat.
"Sudah lama... tempat ini belum berubah."
Lalu ia melangkah masuk. Jika Valdris masih sama, maka sekali lagi, ia akan menaklukkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#34 : Darah dan Nama
Di lantai atas aula yang temaram, jauh dari riuh rendah para bangsawan yang sibuk berbasa-basi, Kaisar Magnus berdiri dengan lengan terlipat, matanya memperhatikan keramaian tanpa benar-benar melihatnya. Di sisinya, Regis berdiri diam, sorot matanya tajam, penuh dengan sesuatu yang tak terbaca—dendam lama, tekad, atau mungkin kelelahan yang tak pernah diungkapkan.
"Kau harus melepaskannya, Regis," ujar Magnus akhirnya, suaranya datar namun penuh makna. "Sudah lima belas tahun. Hidup harus berjalan."
Regis tersenyum kecil, tetapi ada sesuatu yang gelap dalam lengkungan bibirnya, sesuatu yang dingin, berbeda dari pria yang dulu dikenalnya. Dahulu, Regis adalah matahari di antara mereka—cahayanya lembut, kehangatannya terasa. Kini, dia lebih mirip bayangan yang menelusup di sela-sela cahaya, membawa serta kesunyian yang mengancam.
"Aku sudah menemukannya, Magnus," jawab Regis dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan.
Magnus menatapnya tajam, mencoba memahami maksud di balik kata-kata itu. Namun sebelum dia sempat bertanya, Regis sudah berbalik, seolah pembicaraan mereka sudah berakhir.
"Kau mau ke mana?" Magnus menyipitkan mata, curiga.
"Kembali," jawab Regis singkat.
Magnus menyeringai, nada suaranya berubah menjadi setengah menggoda, setengah serius. "Regis, Selene masih anak-anak. Tidak peduli seberapa normal pernikahan beda usia di kalangan kita, kau tetap harus menunggu dia cukup dewasa. Dan jangan lupa, dia putri Gideon. Apa kau benar-benar ingin menghadapi amarahnya jika dia tahu kau mengincar putrinya?"
Regis tidak menjawab. Tapi Magnus melihatnya berhenti sejenak sebelum melangkah pergi. Entah karena kata-katanya, atau karena sesuatu yang lain.
***
Sementara itu...
Di dalam aula yang dipenuhi cahaya lilin keemasan, Emilia duduk di antara lingkaran gadis-gadis bangsawan muda yang sibuk berbincang dengan suara berbisik. Wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu, seolah menunggu sesuatu yang mengguncang perjamuan malam itu.
Emilia, dengan senyum samar, menyesap anggurnya sebelum berbicara. “Aku mendengar desas-desus yang cukup menarik. Sesuatu tentang bagaimana Tuan dan Nyonya d’Aragon dulu… kehilangan seorang anak.”
Beberapa gadis tersentak, melirik satu sama lain.
“Dan bukankah itu aneh,” lanjutnya, nada suaranya ringan, seolah ia hanya sekadar mengamati, “Bahwa setelah menghilang selama bertahun-tahun, mereka kembali dengan seorang putri yang tidak pernah didengar siapa pun sebelumnya?”
Seorang gadis dengan rambut pirang berbisik, “Maksudmu… Selene?”
Emilia mengangkat bahu dengan ekspresi ambigu. “Aku hanya mengatakan bahwa mereka kehilangan bayi mereka, dan jika kejadian itu terjadi lima belas tahun yang lalu, maka usia Selene seharusnya… empat belas tahun, paling banyak. Tapi dia tampak lebih tua dari itu, bukan?”
Gadis-gadis lain mulai bergumam, beberapa menatap Selene yang duduk di meja samping, tampak tidak tertarik pada perbincangan mereka. Namun ketika salah seorang dari mereka—gadis yang dikenal sebagai putri dari Viscount de Lorrain—tertawa pelan dan berkata dengan nada mengejek, “Mungkin ibunya memiliki… pria lain,” Selene mengangkat kepalanya.
Sejenak, aula terasa sunyi.
Lalu Selene meletakkan gelas anggurnya dengan tenang. “Apa yang kau katakan barusan?” suaranya terdengar lembut, tetapi ada bahaya mengintai di baliknya.
Gadis itu menyeringai, tidak sadar dirinya sedang bermain api. “Oh, hanya berandai-andai. Jika bukan karena pria lain, bagaimana mungkin nyonya d’Aragon tiba-tiba memiliki anak setelah kehilangan bayinya?”
Suara tawa kecil terdengar di antara gadis-gadis itu, hingga tiba-tiba—
Plak!
Tamparan Selene menghantam wajah gadis itu dengan keras hingga ia terhuyung jatuh ke lantai, menciptakan keheningan total di aula. Gadis itu menjerit marah, tangannya memegang pipinya yang kini memerah. “Beraninya kau—! Aku adalah putri Viscount de Lorrain! Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi!”
Selene menatapnya dengan ekspresi dingin. “Apa peduliku?” ujarnya, sebelum menjambak rambut gadis itu dan menyeretnya ke tengah aula.
Teriakan menggema, beberapa bangsawan wanita menjerit kaget, sementara yang lain hanya menyaksikan dengan tatapan penuh gairah atas drama yang terjadi. Beberapa mencoba menghentikan Selene, tetapi tak ada yang cukup berani untuk benar-benar mendekat.
Saat itu, suara berat seorang pria memenuhi ruangan. “Jalang sialan! Beraninya kau menyentuh putriku?!”
Viscount de Lorrain maju dengan kemarahan meledak di wajahnya. “Dia adalah gadis yang telah aku besarkan untuk menjadi istri bangsawan terhormat! Kau pikir kau siapa?!”
Selene tertawa—suara yang tajam dan tanpa belas kasihan. “Berdasarkan kelakuannya, aku bisa menebak seperti apa caramu mendidiknya.”
Saat itu, Emilia melangkah maju, ekspresi simpatik terukir di wajahnya, seolah ingin menjadi suara nalar dalam kekacauan ini. “Selene,” katanya dengan lembut tetapi cukup lantang untuk didengar semua orang. “Meskipun kau putri Tuan Gideon d’Aragon, kau tetap bukan putri kandung. Kau tidak bisa bertindak seolah kau lebih tinggi dari kami.” Senyumannya semakin melebar. “Bahkan Kaisar Magnus belum tentu bisa menyelamatkanmu.”
Selene berhenti, lalu matanya menyipit dengan kilatan berbahaya. Dia berbalik, menatap Emilia dengan senyum miring yang tidak menyenangkan. “Benarkah begitu?” ujarnya dengan nada hampir geli. “Bahkan Kaisar tidak bisa menyelamatkanku? Aku tidak menyangka orang-orang ini begitu berkuasa, hingga bisa menekan Kaisar.”
Tatapannya beralih ke sosok yang berdiri di atas tangga aula, baru saja selesai berbicara dengan salah satu penasihatnya.
“Kaisar…” panggil Selene, suaranya halus tetapi penuh tantangan. “Apakah kau mendengar apa yang dikatakan gadis ini? Apakah benar kau tidak bisa menyelamatkanku? Apakah kekuasaanmu berada di bawah kaki orang-orang ini?”
Ruangan menjadi begitu sunyi hingga suara napas terdengar jelas. Magnus memandangnya, lalu perlahan, matanya beralih ke Emilia. Seorang perwira tinggi mendekatinya dan membisikkan sesuatu di telinganya—sesuatu yang membuat ekspresi Kaisar berubah menjadi kemarahan yang mengerikan.
“Berani sekali…” gumamnya, nyaris seperti desisan.
Semua mata kini tertuju pada Magnus, menunggu keputusannya.
Tatapannya menyapu ruangan, penuh ketegasan. “Bahkan jika Selene bukan putri kandung Gideon d’Aragon, lalu mengapa? Apakah hubungan keluarga hanya sebatas darah?” suaranya menggema di aula yang sunyi. “Sering kali, hubungan yang tidak terikat darah jauh lebih erat.”
Dia menatap tajam ke arah bangsawan yang masih berani menantangnya. “Siapa yang berani menghina putri Gideon? Siapa yang berani mencemarkan nama istrinya?” Suaranya naik, penuh murka. “Gideon d’Aragon adalah pilar kekaisaran! Salah satu yang terkuat setelah Selene Everhart! Kalian bahkan berani menghina istrinya dan memberi masalah pada putrinya? Dasar tidak tahu malu!”
Lalu, dengan suara penuh otoritas, Magnus menjatuhkan hukumannya. Gelar Viscount de Lorrain dicabut, keluarganya diturunkan dari bangsawan ke posisi paling rendah di istana, hanya satu tingkat di atas rakyat jelata. Dan putrinya, akan dikirim ke istana dingin sebagai pelayan.
Lorrain, yang masih terisak, berlutut di lantai, memohon ampunan. “Kaisar… aku mohon… jangan kirim aku ke istana dingin…”
Namun sebelum Magnus bisa menjawab, Selene sudah mendekat dengan senyum berbahaya. “Jadi kau tidak ingin jadi pelayan?” katanya lembut. “Hmmm… bagaimana jika aku mengirimmu ke perbatasan timur?”
Gadis itu terdiam, ketakutan terpancar di matanya. Semua orang yang tahu arti perbatasan timur.
Selene menatapnya dengan dingin. “Di sana, pasukan kami tidak kekurangan apa pun… kecuali pelacur.”
Ruangan kembali terdiam.
Magnus memandang Selene dengan ekspresi sulit ditebak, sementara Cassian, ayah Emilia, menatap putrinya, menyadari sesuatu yang baru baginya—sesuatu yang mungkin telah lama diabaikannya.
Dan ketika mata Magnus akhirnya kembali menatap Emilia, ekspresinya bukan hanya murka.
Melainkan keputusan yang tak bisa dihindari.