"Bagaimana rasanya... hidup tanpa g4irah, Bu Maya?"
Pertanyaan itu melayang di udara, menusuk relung hati Maya yang sudah lama hampa. Lima tahun pernikahannya dengan Tama, seorang pemilik bengkel yang baik namun kaku di ranjang, menyisakan kekosongan yang tak terisi. Maya, dengan lekuk tubuh sempurna yang tak pernah dihargai suaminya, merindukan sentuhan yang lebih dalam dari sekadar rutinitas.
Kemudian, Arya hadir. Duda tampan dan kaya raya itu pindah tepat di sebelah rumah Maya. Saat kebutuhan finansial mendorong Maya bekerja sebagai pembantu di kediaman Arya yang megah, godaan pun dimulai. Tatapan tajam, sentuhan tak sengaja, dan bisikan-bisikan yang memprovokasi h4srat terlarang. Arya melihatnya, menghargainya, dengan cara yang tak pernah Tama lakukan.
Di tengah kilau kemewahan dan aroma melati yang memabukkan, Maya harus bergulat dengan janji kesetiaan dan gejolak g4irah yang membara. Akankah ia menyerah pada Godaan Sang Tetangga yang berbaha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Maya memejamkan mata, merasakan napas hangat Arya menerpa bibirnya. Jantungnya bergemuruh di dada, memukul-mukul rusuknya. Udara di ruangan setrika yang sempit itu terasa tebal, dipenuhi ketegangan yang memabukkan. Ia tahu apa yang akan terjadi. Dan entah kenapa, ia tidak bisa menolaknya. Sebuah perasaan campur aduk antara ketakutan dan keinginan yang membara.
Bib!r Arya meny3ntuh bib!rnya. Sebuah ciuman lembut, perlahan, seolah mencicipi. Maya merasakan seluruh tubuhnya meremang. Ia tidak membalas, tapi juga tidak menolak. Matanya masih terpejam erat, menikmati sensasi yang ia tahu terlarang ini. Aroma parfum Arya, rasa bib!rnya yang hangat. Semua terasa begitu nyata, begitu menggoda.
C!uman itu semakin dalam, semakin menuntut. Arya memegang tangannya lebih erat, menariknya mendekat. Maya merasakan tubuhnya menempel pada Arya. Kemeja rapi Arya bergesekan dengan dasternya. Seluruh tubuh Maya diliputi panas. Otaknya memerintahkan untuk berhenti, untuk mendorong Arya menjauh, tapi tubuhnya justru merespons dengan cara yang berbeda. Sebuah des4han kecil lolos dari b!birnya.
Tiba-tiba, suara klakson mobil dari luar terdengar
nyaring.
Tin! Tin!
Maya tersentak, matanya langsung terbuka. Arya juga ikut terkesiap, menarik diri. Wajahnya terlihat sedikit terkejut, namun ada kilatan gair4h yang masih terpancar dari matanya.
"Maaf," bisik Arya, suaranya serak. Ia melepaskan genggaman tangannya dari Maya, memberi jarak di antara mereka.
Maya masih terengah-engah, merasakan pipinya memerah padam. Ia menunduk, tidak berani menatap mata Arya. Sebuah rasa malu dan bersalah yang amat sangat menghantamnya. Ia baru saja dic!um. Oleh majikannya. Dan ia tidak menolak.
"Saya... saya harus pergi," kata Arya, suaranya kembali normal, namun masih ada nada terengah-engah yang samar. Ia membenarkan jasnya yang sedikit kusut. "Ada rapat mendadak."
Maya hanya mengangguk, tanpa mengangkat kepala.
Arya melangkah cepat keluar dari ruang setrika. Maya mendengar langkah kakinya menjauh, lalu suara pintu utama tertutup. Kemudian, suara mobilnya melaju pergi.
Maya meny3ntuh bib!rnya. Sensasi cluman Arya masih terasa jelas. Sebuah cluman yang memicu badai emosi di dalam dirinya. Rasa bersalah yang menusuk, tetapi di baliknya, ada sebuah gair4h terlarang yang
membara. Ia tahu ia sudah melewati batas. Batas kesetiaan pada pernikahannya. Batas profesionalisme. Dan ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi ini.
***
Sepanjang perjalanan pulang, Maya merasa hancur. Ia berjalan seperti tanpa tujuan, otaknya kosong. Di rumah, ia mencoba bersikap biasa saja di depan Tama. Ia memasak, membersihkan rumah, bahkan mencoba memulai obrolan ringan. Tapi Tama terlalu sibuk dengan ponselnya, sesekali membalas seadanya.
"Mas, bagaimana bengkel hari ini?" tanya Maya, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Lumayan. Ada beberapa motor yang harus di servis," jawab Tama, matanya masih menatap layar ponselnya.
Maya menghela napas dalam hati. Inilah jurang yang ia rasakan dalam pernikahannya. Ketidakpedulian yang perlahan menggerogoti. Dan mungkin, inilah yang membuatnya jatuh dalam godaan Arya.
Malam itu, Maya tidur dengan perasaan campur aduk.
Rasa bersalah itu begitu kuat, membuatnya ingin menangis. Tapi bayangan Arya, sentuhannya, dan c! umannya, terus-menerus muncul di benaknya. Ia merasa seperti seorang pengkhianat. Namun, ada juga rasa penasaran yang tak terbendung. Apa yang akan terjadi besok? Apakah Arya akan mengungkitnya? Atau berpura-pura tidak terjadi apa-apa?
Keesokan paginya, Maya tiba di rumah Arya dengan jantung berdebar kencang. Ia mencoba bersikap biasa saja, fokus pada pekerjaannya. Bi Sumi menyambutnya seperti biasa, dengan senyum ramah.
"Pagi, Mbak Maya! Hari ini kita beres-beres lantai atas ya," kata Bi Sumi.
"Pagi, Bi. Baik," jawab Maya, berusaha menenangkan diri. Ia tidak melihat Arya. Ia berharap Arya tidak ada di rumah.
Tapi harapannya pupus. Saat Maya sedang membersihkan kamar tamu di lantai dua, ia mendengar suara langkah kaki dari koridor. Jantungnya langsung mencelos. Arya.
Pria itu muncul di ambang pintu kamar. Ia mengenakan kaus polos berwarna gelap dan celana pendek. Rambutnya masih sedikit basah, sepertinya baru selesai mandi. Aroma khasnya memenuhi ruangan.
"Pagi, Mbak Maya," sapanya, suaranya tenang, seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka kemarin.
"Pagi, Tuan," jawab Maya, berusaha agar suaranya tidak bergetar. Ia menunduk, berpura-pura sibuk mengelap meja.
Arya melangkah masuk, menyandarkan tubuhnya pada kusen pintu. Matanya menatap Maya. Maya bisa merasakan tatapan itu. Sebuah tatapan yang penuh arti, namun juga sedikit menguji.
"Sudah membersihkan kamar tamu?" tanyanya.
"Sudah, Tuan," jawab Maya.
"Bagus," Arya mengangguk. Ia tidak segera pergi. Ia hanya berdiri di sana, mengamati Maya. Keheningan yang canggung menyelimuti mereka.
Maya merasa tidak nyaman. Ia ingin sekali bertanya tentang kemarin. Tentang ciuman itu. Tapi ia tidak berani. Bagaimana jika Arya marah? Bagaimana jika ia salah mengartikan?
"Mbak Maya," Arya tiba-tiba memanggil.
Maya menoleh, jantungnya berdegup kencang.
"Saya ingin Anda membersihkan lemari buku di ruang kerja saya hari ini," kata Arya. "Bagian bawahnya agak berdebu. Perlu dibersihkan dengan teliti."
"Baik, Tuan," jawab Maya.
"Saya akan ada di ruang kerja. Jadi, kalau Anda butuh bantuan, atau ada yang perlu ditanyakan, jangan sungkan," kata Arya, senyum tipis terukir di bibirnya. Ada sebuah kilatan di matanya yang membuat Maya merasa berdebar. Seolah ia tahu, pekerjaan itu akan menciptakan kesempatan.
"Baik, Tuan," kata Maya, menelan ludah. Ia tahu Arya sengaja. Ia ingin Maya berada di ruang kerjanya, dekat dengannya.
Arya mengangguk, lalu berbalik dan melangkah
pergi. Maya menghela napas panjang. Ia harus menghadapi ini. Ia harus bersikap profesional. Tapi ia tahu, di dalam hatinya, ia juga merasakan sebuah ketegangan yang memikat.
Siang itu, setelah Bi Sumi pulang, Maya memberanikan diri masuk ke ruang kerja Arya. Pria itu sudah duduk di mejanya, sibuk dengan laptopnya. Suara ketikan keyboard memenuhi ruangan.
"Tuan, saya akan mulai membersihkan lemari buku," kata Maya, berdiri di ambang pintu.
Arya mendongak. Matanya menatap Maya, senyum tipis terukir di bibirnya. "Silakan, Mbak Maya. Jangan sungkan."
Maya mengangguk, lalu melangkah masuk. Ia mengambil lap bersih dan ember berisi air. Ia mulai membersihkan rak buku paling bawah, persis seperti yang Arya minta. Untuk melakukan itu, ia harus berlutut dan sedikit menunduk. Posisi yang cukup rentan.
Ia bisa merasakan tatapan Arya padanya. Sebuah tatapan yang membakar. Ia mencoba mengabaikannya, fokus pada setiap buku yang ia keluarkan dan bersihkan. Debu-debunya lumayan tebal.
"Hati-hati dengan buku-buku itu, Mbak Maya.
Beberapa di antaranya sangat langka," kata Arya, suaranya terdengar dari belakangnya.
"Iya, Tuan," jawab Maya, tanpa menoleh.
"Saya bisa bantu mengangkat beberapa buku berat," kata Arya.
"Tidak usah, Tuan. Saya bisa sendiri," tolak Maya. Ia tidak ingin Arya terlalu dekat dengannya dalam posisi ini.
Arya terkekeh pelan. "Anda selalu menolak bantuan saya, ya?"
Maya tidak menjawab. Ia terus membersihkan, berharap Arya akan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, ia bisa merasakan Arya beranjak dari kursinya.
Langkah kakinya mendekat.
"Ini ada debu yang tertinggal di sini," kata Arya, suaranya sangat dekat di belakangnya. "Biarkan saya bersihkan."
Maya merasakan Arya membungkuk di belakangnya. Jarak mereka begitu tipis. Tangan Arya terulur, mengambil lap dari tangan Maya. Jemarinya menyentuh jemari Maya. Sentuhan itu disengaja, sebuah usapan lembut yang membuat Maya menahan napas.
Arya mengusap sedikit debu di rak, lalu meletakkan lapnya di samping Maya. Ia tidak segera menegakkan tubuh. Ia tetap membungkuk, sangat dekat dengan Maya. Maya bisa merasakan napas hangat Arya menerpa lehernya. Aroma maskulinnya memenuhi paru-parunya.
"Sudah bersih," bisik Arya, suaranya serak. Jarak bibirnya begitu dekat dengan telinga Maya.
Maya merasakan merinding di sekujur tubuhnya. Ia
tahu Arya sengaja. Ia tahu pria ini sedang menggodanya. Dan rasa tidak nyaman bercampur penasaran itu semakin kuat. Ia seperti terperangkap. Sebuah permainan berbahaya yang terus berlanjut.
gak bakal bisa udahan Maya..
kamu yg mengkhianati Tama...
walaupun kamu berhak bahagia...
lanjut Thor ceritanya