Apa jadinya jika seorang gadis remaja berusia 16 tahun, dikenal sebagai anak yang bar-bar dan pemberontak terpaksa di kirim ke pesantren oleh orang tuanya?
Perjalanan gadis itu bukanlah proses yang mudah, tapi apakah pesantren akan mengubahnya selamanya?
Atau, akankah ada banyak hal lain yang ikut mengubahnya? Atau ia tetap memilih kembali ke kehidupan lamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34 - Tawanan Pesantren
~💠💠💠~
Beberapa minggu setelah kunjungan Umi dan Abi.
Kini, tokoh utama dalam cerita ini sedang duduk di salah satu sudut perpustakaan, dikelilingi beberapa santriwati yang sedang mencatat dengan serius. Ia tengah menjelaskan materi tafsir yang sulit dengan bahasa yang mudah dimengerti.
“Hebat ya Miska sekarang… dulu dia yang paling banyak protes, sekarang paling rajin ngajarin kita," bisik Hana, teman sekamarnya.
“Bahkan ustadzah Laila bilang, Miska nilainya tertinggi di ujian tafsir minggu lalu," tambah Fatin yang juga teman sekamarnya.
Miska pun tersenyum kecil pada mereka sambil menyodorkan buku. “Kalau kalian paham ayat ini, kalian akan lebih mudah pahami ayat berikutnya. Jangan terburu-buru, ya," pesan Miska.
Beberapa saat kemudian, saat setelah Bell berbunyi, Ustadzah Laila masuk ke kelas dan mengumumkan hal penting.
“Alhamdulillah, pesantren kita baru saja mengirimkan delegasi untuk lomba ceramah antar pesantren tingkat provinsi. Dan... selamat untuk Miska yang terpilih menjadi wakil kita!," seru ustadzah Laila.
Prok Prok Prok Prok!!!
Kelas pun mendadak riuh dengan tepuk tangan dan sorakan.
“Miska? Wah, keren banget!."
“Aduh, pasti suaranya bikin merinding tuh.”
Sementara, Miska hanya menunduk seraya tersenyum malu, namun matanya nampak berbinar.
"Semangat ya Miska...!!."
**
Malam itu, pesantren mengadakan pengajian bulanan terbuka. Di antara para tamu dan santri, Miska naik ke panggung kecil, dengan mengenakan jubah putih dan kerudung biru tua.
Suara Miska terdengar lembut namun tegas saat menyampaikan ceramah yang berjudul: "Hijrah Batin, Hijrah Sikap.”
~ “Bismillahirrohmaanirrohiim... Hijrah bukan soal pindah tempat. Tapi tentang bagaimana kita berubah dari dalam. Dulu saya salah. Tapi Allah beri saya kesempatan kedua... dan saya tidak ingin menyia-nyiakannya," ceramah Miska.
Wajah-wajah di antara jamaah mulai haru. Beberapa santriwati yang dulu mencibir kini tampak meneteskan air mata. Bahkan ustadzah Laila dan ustadz Ridwan pun terlihat berkaca-kaca.
Sementara itu, Rehan yang menyaksikan dari belakang berkata dalam hati, “Dia bukan lagi gadis yang datang dengan kemarahan. Tapi gadis yang membawa cahaya.”
**
Dua minggu kemudian, pengumuman hasil lomba disampaikan di lapangan utama.
“Dengan bangga kami umumkan… pemenang lomba ceramah antar pesantren tingkat provinsi jatuh kepada… Miska Al-Rasyid!,” seru ustadz Ridwan.
"Alhamdulillah...."
Seluruh santri pun bersorak. Lalu, Miska maju perlahan untuk mengambil piala dan piagam. Kemudian, matanya mencari satu sosok, yaitu Ustadzah Laila yang menatapnya dengan bangga. “Teruslah bersinar, Nak. Allah selalu punya cara untuk membalikkan cerita.”
"Alhamdulillah... Aku benar-benar tidak menyangka, seorang Miska??," batin Miska seraya tersenyum kecil.
**
Beberapa hari setelah pengumuman kemenangan lomba ceramah.
Di pagi yang cerah, Miska baru saja selesai menata buku-buku hasil belajarnya semalam.
Saat ia membuka laci kecil di mejanya, matanya terhenti pada sebuah amplop putih yang sebelumnya tidak ada. Tidak ada nama, tidak ada tanda pengirim, dan hanya ada tulisan tangan halus,
“Untukmu yang bersinar dalam diam.”
Saat membaca tulisan luar surat tersebut, Miska mengerutkan dahinya karena penasaran. Ia pun membuka surat itu dengan perlahan, surat yang ditulis rapi dengan tinta hitam yang elegan.
\=\=\=\=\=
"Assalamu’alaikum…
Aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan ini dengan wajar. Tapi tahukah kamu? Saat semua orang menertawakanmu, aku diam-diam mengagumi caramu berdiri. Saat kau bangkit, aku tahu... Allah sedang menunjukkan cahaya-Nya lewatmu.
Teruslah melangkah. Aku hanya pengagum dalam diam. Tidak perlu tau siapa aku. Cukup tau bahwa ada seseorang yang selalu mendoakanmu dalam tiap sujudnya.”
– Hamba Allah."
\=\=\=\=\=\=
Miska membaca ulang dengan perlahan hingga membuat dadanya berdebar aneh. Bibirnya mengerucut bingung, lalu tersenyum kecil. "Apa ini... candaan dari santri putri lain?,” bisiknya.
Tapi entah mengapa, hatinya tidak percaya jika itu hanya candaan dari salah satu santriwati.
"Ah! Gak usah di pikirin!."
**
Tiga hari kemudian...
Miska sedang duduk sendirian sambil mengulang hafalan. Di antara lembaran bukunya, tiba-tiba ada secarik kertas yang jatuh. Ia lalu membukanya dengan penuh rasa ingin tahu semenjak surat pertama yang ia terima.
\=\=\=\=\=
"Aku melihatmu pagi tadi di taman, mengajari adik-adik membaca Qur’an. Kau tersenyum, dan aku merasa... aku menyaksikan cahaya di antara pohon rindang itu.
Terkadang aku ingin berbicara. Tapi tidak ada ruang untuk itu di tempat kita ini. Maka biarlah surat ini menjadi caraku mengenalmu, walau dari jauh.
Jangan cari siapa aku. Karena aku pun tidak ingin mengganggumu.
Hanya ingin mengatakan... Allah pasti mencintai orang yang bersabar sepertimu.”
\=\=\=\=\=
“Siapa sih sebenarnya orang ini?,” gumam Miska seraya tersenyum samar.
Saat ini, hati Miska menghangat. Ada sesuatu yang baru tumbuh dalam hatinya, bukan cinta, tapi rasa ingin tahu yang besar.
Sementara Miska sedang dalam tanda tanya besar, Rehan sedang berjalan perlahan di sisi lapangan kecil belakang mushola. Ia menunduk lalu menyelipkan secarik surat ke celah jendela yang biasa Miska buka saat senja.
“Kamu gila ya, Han? Kalau ketahuan bisa kena skors," ujar dua temannya yang mengawasi dari jauh.
“Biar saja. Aku tidak melakukan hal yang buruk. Aku cuma... mau jadi bagian dari semangatnya, walau dia tidak tahu jika itu aku," jawab Rehan, pelan.
Akhirnya, surat ketiga pun ditemukan di sela Al-Qur’an milik Miska, yang entah siapa yang menyelipkannya di rak mushola, pikirnya.
\=\=\=\=\=
“Jika satu hari nanti dunia mengguncangmu lagi, ingatlah bahwa kamu pernah berdiri sendiri di tengah badai, dan tetap kuat.
Aku melihatmu tak hanya dengan mata, tapi lewat doaku. Karena jika mengagumi dalam diam itu ibadah, maka aku ingin ibadah ini Allah saksikan.
Semoga kamu tetap bersinar, meski aku hanya bayangan yang melihat dari balik tembok diam.”
– Hamba Allah.”
\=\=\=\=\=
Miska memeluk surat itu tanpa sadar, lalu menghela napas dengan panjang. “Siapa kamu…?” bisiknya.
Tapi dalam doanya malam itu, Miska menyelipkan satu harapan, “Ya Allah, jika dia tulus... bimbing kami agar tetap dalam penjagaan-Mu.”
BERSAMBUNG...