Menjadi kuat demi bisa membalaskan dendam atas sebuah pengkhianatan tentu menjadi hal yang lumrah diupayakan semua orang.
Tetapi akan lain ceritanya kalau pembalasan itu dipenuhi dengan intrik cinta yang mematikan seperti yang dilakukan seorang Cassanova sekelas Thomas Harrison. Kepiawaiannya mempermainkan hati orang lain membuat Tom berhasil membalaskan satu persatu dendamnya, kepada ayah yang mencampakkannya, juga kepada kakak dan kekasih yang mengkhianatinya.
** Hai.. hai.. hai.. readers kesayangan! Para penggemar cinta ugal-ugalan wajib banget ngikutin novel yang satu ini.
Jangan lupa tinggalin cinta, komen manis & vote kalian yak! Pantengin terus kisahnya karena dukungan kalian adalah bahan bakar spiritual terbaik utk author 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jovinka_ceva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Butuh Keberanian
Taksi yang ditumpangi Ailen akhirnya berhenti di sebuah rumah sederhana yang cukup terpencil karena jauh dari kepadatan pemukiman.
“Kak, ini rumah Kak Mona?” tanya Ailen setelah mereka turun dari taksi.
Mona hanya mengangguk sambil melangkahkan kaki membimbing Ailen melewati halaman depan tak berpagar lalu masuk ke dalam rumah.
Setelah masuk, Ailen dibuat semakin heran karena rumah itu jauh dari kata layak. Selain ukurannya yang kecil dan sesak, rumah itu bahkan tidak memiliki sofa ruang tamu dan meja makan. Hanya ada karpet usang yang terpapar di atas lantai dan sebuah meja kecil berkaki pendek yang dipenuhi mangkok sisa mi instan dan bungkus kopi sachet.
Mona buru-buru merapikan meja itu setelah lebih dulu memeriksa keadaan putri tunggalnya di dalam kamar. “Maaf, rumahnya berantakan.”
Ailen terduduk di atas karpet. “Kak, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kak Mona bisa tinggal di sini?”
Mona hanya tersenyum tipis, lalu pergi untuk membuang sampah yang ada di atas meja lalu mencuci mangkok dan gelas yang berserakan.
Ailen semakin penasaran dengan apa yang terjadi. Pasalnya, Mona yang dikenalnya dulu adalah seorang pengusaha wanita yang cukup sukses dan mapan. Suami Mona yang juga merupakan salah satu karyawan di perusahaan ayah Ailen, juga memiliki posisi yang bagus dengan penghasilan yang cukup besar. Dulu mereka juga tinggal di salah satu perumahan elit di ibu kota dan Keysa sering mengajaknya bermain ke sana setiap kali ada kesempatan.
Demi memenuhi rasa ingin tahunya, Ailen menghampiri Mona yang rupanya sedang diam-diam menangis sambil mencuci mangkok. Ailen meraih pundak Mona lalu menatapnya lekat. “Kak, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini?”
Tangis Mona kian menjadi. Air matanya kian deras, hingga tubuhnya terguncang hebat karena ia berusaha keras menahan suara tangisnya agar tidak terdengar oleh anaknya yang sedang sakit di dalam kamar.
Alih-alih mendesak Mona bercerita, Ailen membawa tubuh ringkih Mona ke dalam pelukannya. Wanita yang dulu bertubuh subur itu sekarang sudah berubah menjadi layaknya tulang berselaput kulit. Ailen mengeratkan pelukannya sambil mengelus-elus punggung Mona sampai wanita itu merasa lebih baik dan tenang.
“Ma.......” suara Nana terdengar lirih dari dalam kamar.
“Iya sayang..” Mona buru-buru mengelap air matanya lalu mengambil segelas air untuk Nana.
Seolah sangat memahami situasinya, Ailen mengambil alih gelas di tangan Mona. “Biar aku yang ngasih ini ke Nana. Kak Mona tenangin diri dulu di sini.”
Mona mengangguk dan Ailen pun masuk ke dalam kamar Nana. Di sana ia melihat seorang gadis remaja yang tengah terbaring lemah di tempat tidur yang tergeletak di lantai tanpa ranjang. Kamar sempit itu hanya memiliki satu meja kecil dan sebuah kipas angin kecil yang terletak di atasnya.
“Tante Ailen?”
“Hai, Nana! Apa kabar?” tanya Ailen sambil menyodorkan minuman kepada Nana.
Gadis belia itu berusaha bangun lalu bersandar di tembok agar bisa meminum air putih yang Ailen berikan kepadanya. “Baik Tan, makasih.”
Nana minum beberapa teguk, lalu meletakkan gelasnya di lantai. Ailen segera memindahkannya ke atas meja di samping kipas angin yang tidak mengeluarkan banyak angin meskipun berputar dan bersuara kencang.
“Kok Tante bisa ada di sini?”
“Eh, tadi kebetulan ketemu sama mama di jalan.” Ailen mengarang alasan karena tidak enak mengatakan bahwa ia bertemu Mona di kantor polisi. “Gimana keadaan kamu sekarang? Apa masih sakit? Mau tante antar ke rumah sakit?”
Nana menyungging sebuah senyum kecil dengan bibir pucatnya. “Mama ngga akan ijinin.”
“Hah? Kenapa?”
“Nana ngga tahu, Tan. Mama bilang, rumah ini adalah tempat yang paling aman.”
“Ya sudah. Nana istirahat lagi aja yah?” ujar Ailen sambil membantu Nana kembali berbaring di kasurnya yang jauh dari kata empuk.
Saat keluar dari kamar Nana, Ailen mendapati Mona sudah duduk di karpet ruang tamu dengan dua gelas kopi tersaji hangat di atas meja. Ailen duduk di depan Mona, lalu menyeruput kopinya penuh kenikmatan. Tentu saja itu membuat Mona tergelitik untuk tertawa melihat ke-lebay-an Ailen itu. ia tahu persis bahwa Ailen adalah nona muda yang sudah mencoba segala merk kopi mahal di luar sana. tapi ia sedang berusaha menghiburnya seolah kopi sachet buatannya senikmat kopi-kopi mahal itu.
Dan Ailen merasa sangat senang melihat senyum Mona kembali mengembang.
“Kamu ngga seharusnya datang ke sini.” Ucap Mona tiba-tiba.
Tentu saja Ailen merasa perkataan itu sedikit aneh. Tapi ia memutuskan untuk tidak mendesak Mona menceritakan hal yang ia tidak ingin seorangpun tahu.
“Bagaimana keadaanmu tiga tahun ini, Len?”
“Seperti yang Kak Mona lihat. Tidak ada yang istimewa.” Sahut Ailen sambil kembali meneguk kopinya
“Bagaimana dengan Dave? Apa pernikahan kalian baik-baik saja?”
Ailen meletakkan cangkir kopinya di atas meja sambil terus menatapinya seolah itu adalah pemandangan yang sangat enak dilihat. “Kak Mona pasti tahu kalau pernikahan ini seperti neraka bagiku. Aku tidak tahu kenapa Kak Keysa tega melakukan ini kepadaku padahal ia tahu bahwa aku sangat mencintai Tom.”
“Keysa tidak bersalah.” Sela Mona tegas. “Dia adalah orang yang paling ingin melihatmu bahagia bersama Tom. Ia bahkan ingin kau pergi membawa Alvin bersama Tom.”
“Tapi –“ Ailen tercekat. “Darimana Kak Mona tahu?”
“Dia sering membicarakannya kepadaku.”
“Tapi surat itu –“
Kali ini giliran Mona yang tercekat. Lidahnya tiba-tiba saja menjadi kelu tak mampu bergerak.
“Aku ingat! Papa bilang, selain Kak Dave, Kak Mona adalah orang terakhir yang bersama Kak Keysa saat ia menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi saat aku tiba di rumah, kak Mona sudah tidak ada. Selama tiga tahun ini, aku selalu berusaha mencari tahu keberadaan Kak Mona, tapi aku tidak pernah menemukan apapun. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi hari itu?”
“Keysa sudah lama sakit –“
“Kak Keysa sakit-sakitan tidak lama setelah menikah dengan Kak Dave. Beberapa bulan sebelum meninggal, sakit Kak Keysa memang semakin parah, tapi dokter tidak pernah menemukan penyakit jantung dalam proses pemeriksaan. Kenapa hari itu kakak tiba-tiba terkena serangan jantung?” cerocos Ailen tanpa titik koma.
Mona kehabisan kata-kata.
“Aku tidak pernah bisa tidur nyenyak selama tiga tahun terahir ini karena selalu merasa ada yang aneh dengan kematian Kak Keysa. Tapi hari itu ayah buru-buru mengurus pemakaman Kak Key dan menolak untuk melakukan otopsi karena bersikeras bahwa kakak meninggal karena serangan jantung.”
Mona mencari cara untuk menghentikan pembicaraan mereka. “Lalu bagaimana dengan Tom? Apa kamu sudah bisa melupakannya?”
“Kak Mona pasti tahu. Meskipun aku selalu berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk Kak Dave dan Alvin, tapi hatiku tidak pernah bisa mengeluarkan Tom dari dalamnya. Semakin keras aku berusaha melupakannya, hatiku justru semakin sakit dan gila merindukannya. Selama tiga tahun ini, jiwa dan ragaku berjalan ke arah berlawanan. Dan itu membuatku sangat menderita.” Jelas Ailen sambil menyeka air matanya yang diam-diam menerobos keluar dari sudut matanya yang berkaca-kaca.
"Sudahlah kak. Tidak ada gunanya lagi kita membahas masalah ini sekarang." imbuh Ailen.
Ia kemudian melihat jam di tangannya. "Sudah sore, Kak. Aku pulang dulu yah?"
Mona masih bergeming. Batinnya bergejolak, berperang dan berdebat tentang apa yang harus dilakukannya sekarang.
Ailen membuka tasnya lalu mengeluarkan dan meletakkan di atas meja, dua buah kartu nama. Satu milik dokter ahli penyakit dalam kenalannya di rumah sakit kota dan saty lagi miliknya. "Kak, rumah memang tempat yang paling aman. Tapi rumah sakit adalah tempat yang bisa memberinya harapan. Kalau ada masalah, Kak Mona bisa hubungin aku. Aku pasti bakal bantuin Kak Mona. Jangan pernah sungkan!"
Mona hanya terdiam sambil menatap Ailen. Bibirnya seolah kelu dan tak mampu berkata-kata lagi. Ia tidak menyangka bahwa Ailen masih begitu baik kepadanya setelah apa yang dilakukannya kepada Ailen tiga tahun lalu.
"Kalau gitu aku pamit ya, Kak? Salam buat Nana."
Rasa bersalah Mona kian membesar, hingga membuatnya terpaksa memberanikan diri membuka mulut. “Itu bukan salah Keysa. Dave yang merencanakan semuanya.”
"Apa?!"
*******************************
hahaha lanjut terus saya suka ....semoga nantinya panyak pengunjung yg membaca cerita mu semangat....💪💪🤩🤩🤩🤞🤞🤞
ailen b** oh.... sudah hampir 3 tahun hidup sama Dave, tapi ga tau karakternya.... ckckck....
astaga, bab pertama saja sudah begitu menyedihkan.....