NovelToon NovelToon
KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

KSATRIA BHUMI MAJAPAHIT: Ajian Sapu Jagad

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Petualangan / Fantasi Timur
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.6
Nama Author: Agus Amir Riyanto

Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

34 SIASAT ANAK KANCIL

Melihat Kidang Panah mengangguk, Bregas sangat lega merasa keterangannya berguna sehingga tugasnya sudah selesai. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan tugas yang ternyata sangat berbahaya ini. Karena senangnya, ia lupa untuk pamit, buru-buru berdiri melangkah pergi.

Melihat Bregas beranjak meninggalkan ruangan, Kidang Panah menghardik, " Heh, mau ke mana kau, Bregas? Sini dulu!"

Mendengar hardikan Kidang Panah, raut wajah Bregas yang sudah lega seketika berubah menciut lagi Apa lagi kesalahan yang ia perbuat sehingga dihardik oleh Kidang Panah yang super sadis itu?

Buru-buru Bregas berlutut, menghatur sembah, berkata terbata-bata, " Mohon ampun saya salah, Raden Kidang Panah. Saya lupa pamitan tadi karena sudah sangat ngantuk."

Melihat wajah Bregas, Kidang Panah jadi sadar bahwa Bregas sangat takut padanya. Ia bisa menduga pasti gara-gara terpengaruh ilusi sihirnya saat ia mencabut batang tenggorokan penjaga goa. Spontan ia tertawa terbahak, " Hahaha... siapa yang mau menyalahkan kau, Bregas? Aku hanya pesan, kau jaga diri. Jaga kesehatanmu agar nanti waktu kubutuhkan untuk mengenali perempuan penjual bunga itu kau tidak sakit. Sekarang kau istirahat, tidur yang cukup. Nanti aku bilang sama kang Bagya juraganmu itu besok seharian kau tidak usah bekerja dulu di warung biar bisa tidur nyenyak."

Bregas menghela napas lega karena ternyata tidak dimarahi oleh Kidang Panah, " Terima kasih, Raden. "

Kidang Panah menganggukkan kepala, " Ini ada uang buat kau kalau besok mau ketemu anak istrimu. Pergunakan sebaik-baiknya! Jangan untuk berjudi apalagi main perempuan, " ujarnya seraya melempar sekeping koin yang memantulkan kilap saat tertimpa cahaya obor.

Bregas menangkap uang koin itu.

" Uang Ma emas?" pekik Bregas nyaris tak percaya akan apa yang tergeletak di telapak tangannya. Lengannya gemetar. Dalam mimpi pun ia belum pernah memegang uang Ma emas dalam ukuran terbesar, paling tinggi nilainya di antara semua mata uang yang berlaku di jaman Majapahit. 1 keping uang Ma emas senilai dengan 10 keping uang Ma perak, setara dengan 4000 keping uang Gobog yang terbuat dari campuran

kuningan dan tembaga. Dengan sekeping uang Ma emas, Bregas seketika berubah jadi orang kaya. Ia sanggup membeli sawah ladang luas dan beberapa hewan ternak besar.

" Terima kasih, terima kasih, Raden Kidang Panah!" ucap Bregas sambil berkali-kali menyembah. Sekarang ia baru percaya pada perkataan Julig bahwa Kidang Panah hanya garang kepada musuhnya namun sangat baik kepada temannya.

" Ya, semoga itu bermanfaat untuk kau dan keluargamu. Sekarang kau pergi, aku juga sudah ngantuk."

Bregas segera beringsut pergi, sedang Kidang Panah menatap Julig dengan pandangan menyelidik, " Sekarang jelaskan apa rencanamu!"

Julig yang sudah sangat yakin dengan keberhasilan rencananya tersenyum cengengesan. Ia mulai santai dan kembali pada sifat jahilnya.

" Sebenarnya ingin saya jelaskan sekarang, sayangnya saya sedang lelah banget, Kang. "

" Kau jangan main-main, Julig!"

" Tenang, Kang. Tenang...santai saja dulu. Ini pasti berhasil. Tapi tubuh saya lelah, darah saya nyaris beku karena dingin. Bisa ndak Kakang mijitin saya sebentar?"

" Kurang ajar kau, Anak Kancil!" ujar Kidang Panah seraya menepuk pelipis Julig dengan gaya menempeleng gemas, " Berani-beraninya nyuruh orang tua mijitin."

" Ya kalau ndak mau ya ndak papa. Tapi ya ndak usah pakai marah-marah gitu dong. Wong badan saya benar-benar pegal-pegal semua. Dikira gak lelah apa naik ke punggung kang Karna yang berlarian seperti setan di atas hutan?"

" Heh, kau itu sudah digendong malah nyalahin yang nggendong. Pegal mana antara yang digendong sama yang menggendong? Dasar Anak Kancil tidak tahu diri!"

Julig tertawa ngakak, " Hahaha...memang benar apa kata Bregas, kang Kidang Panah ini kegemarannya marah-marahin orang! Mending aku minta pijit sama kang Wingit. Ndak pernah marah-marahin orang. Ya kang Wingit ya? Ini lho pundakku kaku semua, seperti darahnya beku. Mbok tolong dipijit sebentar pakai itu lho ajian yang bisa bikin panas. Apa namanya? Eee...tapak Dahana?"

Karna tersenyum mendengar permintaan Julig. Namun ia memang sayang pada Julig. Tanpa mengucap sepatah kata pun, tangan Karna mengusap-usap pundak Julig dan menyalurkan sedikit sekali hawa Tapak Dahana.

Hawa hangat masuk menerobos tubuh Julig yang seketika menggeliat nyaman keenakan.

" Waduh, enak banget pijatan Kang Wingit ini. Rasanya nyaman dan hangat. Kang Wingit kalau jadi tukang pijat pasti banyak duitnya, " ujar Julig sambil memutar-mutar sedikit lehernya meregangkan otot.

Kidang Panah nyaris tak mampu menahan tawa mendengar Julig menyuruh Karna jadi tukang pijat. Dengan gemas ia berkata, " Wingit, kau kerahkan saja Tapak Dahana yang besar, biar gosong pundak Anak Kancil yang tak tahu sopan santun itu!"

Julig tertawa membayangkan pundaknya dibuat gosong seperti sate, " Hahaha.... sudah, Kang Wingit. Sudah cukup mijatnya, tubuh saya sudah enak. Takutnya kalau terlalu enak kang Kidang Panah jadu lapar terus saya disihir jadi sate Julig buat makan malamnya."

Karna tertawa sambil menepuk pundak Julig yang selalu mampu mencairkan suasana, " Sudah, sekarang kau jelaskan apa rencanamu!" ujar Karna.

" Iya, Kang. Saya jelaskan rencana saya," jawab Julig dengan nada serius.

Karna dan Kidang Panah duduk siap menyimak apa yang akan diutarakan Julig.

" Saya yakin bahwa persembahyangan yang dilakukan dengan merangkai karangan bunga tulasi itu adalah kegiatan rutin bulanan mereka. Artinya, setiap tithi 3 Suklapaksa mereka melakukan itu. Padahal, hari ini sudah menginjak tithi 1, jadi lusa persembahyangan itu akan mereka lakukan lagi, dan penjual bunga yang diceritakan oleh kang Bregas akan datang ke sana untuk membawakan pesanan daun dan tanaman tulasi dalam jumlah banyak. Bagaimana, apa Kakang berdua sependapat dengan pikiran saya?"

Karna dan Kidang Panah mengangguk, " Ya, aku bisa menerima nalarmu. Lanjutkan penjelasannya."

" Jadi rencana saya, kita akan mencegat perempuan itu sebelum masuk alas Ketonggo. Kita bayar semua dagangannya dengan mengaku sebagai siswa Panembah Swara yang disuruh mengambil pesanan karena upacara kali ini sangat khusus sehingga orang luar tidak boleh datang ke goa. Selanjutnya, dengan daun dan tanaman tulasi, saya akan menyusup masuk ke goa dengan mengaku sebagai anak dari penjual bunga itu."

" Kau mau masuk ke goa sendirian?" Karna memotong pembicaraan," Tidak! Itu sangat berbahaya untuk keselamatanmu, Julig! Kau tidak punya kemampuan bela diri, padahal Panembah Swara cukup tinggi kemampuan silatnya. Tidak! Kau tidak boleh melakukan itu!"

Julig menatap Karna untuk meyakinkan, " Ini tidak ada hubungannya dengan kemampuan silat, Kang Wingit. Yang dibutuhkan hanya cara bersandiwara. Saya masuk ke sana bukan sebagai pendekar yang mencari lawan, tapi sebagai anak dari penjual bunga yang mewakili ibunya yang sedang sakit. Percayalah, Kang Wingit dan juga kang Kidang, selama saya bisa bersandiwara sehingga mereka tidak curiga, saya pasti selamat. Saya akan masuk ke goa itu untuk mencari lobang-lobang udara, sementara Kakang berdua menunggu di luar dengan bersembunyi di atas pohon yang rimbun. Begitu saya menemukan lobang udara yang cukup besar untuk diterobos, saya akan mengirim tanda dengan meniru suara gagak sehingga kakang berdua bisa tahu letak lobang itu berada dari arah asal suara saya. Percayalah, ini tidak berbahaya bagi saya. Dan hanya itu satu-satunya cara agar kakang berdua dapat masuk ke goa."

Karna dan Kidang Panah saling memandang untuk mempertimbangkan rencana Julig. Meski tetap ada resiko, tapi memang benar kata Julig bahwa tidak ada cara yang lebih baik dari itu.

" Bagaimana kang Kidang?" tanya Karna meminta pertimbangan mengingat resiko keselamatan jiwa Julig yang tidak memiliki kemampuan bela diri

Kidang Panah menarik napas dalam. Ia sendiri juga mengkhawatirkan keselamatan Julig selama ada di dalam goa, dirinya dan Karna tidak bisa memantau. Namun mereka dikejar waktu.

" Julig, " Kidang Panah membuka mulutnya. " Kau yakin akan melakukan ini? Pikirkan keselamatanmu sendiri. Kau sebenarnya tidak wajib melakukan tugas ini. Karena guruku hanya menyebut namaku dan kakangmu Jaka Wingit. Hanya kami berdua yang memiliki kewajiban untuk tugas ini. Kau tidak perlu mengharuskan diri terlibat jika membahayakan keselamatan jiwamu."

" Ya, Kang. Saya tahu itu, " ujar Julig, " Tapi percayalah, semua resiko sudah saya perhitungkan dan saya memiliki kemampuan untuk penyusupan ini. Sedang tentang keterlibatan saya dalam tugas ini, saya berlaku sebagai kawula Bhumi Majapahit, ijinkan saya ikut mendarma-bhaktikan diri saya untuk kepentingan Ibu Pertiwi."

Kidang Panah dan Karna tertegun mendengar jawaban Julig. Tidak disangka, Julig yang penampilan hariannya cengengesan, seketika mampu berpikir sangat matang saat dihadapkan pada tugas Negara.

" Baik kalau itu sudah menjadi tekadmu. Cuma satu masih agak mengganjal bagiku. Setahuku semua penjual bunga itu perempuan. Apa tidak janggal kalau tiba-tiba kau muncul sebagai seorang laki-laki mengaku sedang mengganti ibunya menjual bunga?"

Julig tersenyum, " Itu juga sudah saya pikirkan, Kang, " ujar Julig seraya membalikkan badannya, tangannya melepas ikatan rambut yang digelung Cacandyan ( gelung model mengerucut seperti candi di atas ubun-ubun untuk laki-laki), mengurai sebentar rambut panjangnya untuk diubah menjadi Kekendon ( Gelung miring ke kiri untuk perempuan). Kemudian ia berdiri mengambil kain yang dipakainya sebagai kemben.

Setelah usai berdandan singkatnya, Julig membalikkan badannya dan berkata, " Rahayu Kangmas berdua, perkenalkan nama saya Endah Sulistya."

Andai tidak sedang tegang karena menghadapi tugas yang sangat rumit ini, pasti Karna dan Kidang Panah sudah terpingkal-pingkal melihat Julig seketika berubah penampilan dan suara persis perempuan desa yang ayu.

Kulit bersih dan wajah Julig yang sangat tampan menjadi demikian ayu sebagai seorang perempuan. Apalagi bentuk tubuh Julig yang mungil untuk ukuran laki-laki serta kemampuan alaminya dalam merubah warna suara, membuat semua orang pasti menyangka Julig benar-benar seorang wanita.

Kidang Panah menggeleng-gelengkan kepala takjub pada kesempurnaan Julig dalam mengatur rencana.

" Aku tidak punya alasan lagi untuk menghalangi rencanamu yang sempurna, Anak Kancil. Tolong jaga dirimu baik-baik, adikku yang cerdas. Jangan sampai terjadi hal yang buruk padamu, karena aku pasti akan mengamuk dan tidak mungkin mengampuni orang yang mencelakaimu," ujar Kidang Panah dengan nada agak emosional.

Karna menepuk pundak Julig dengan rasa sayang, " Kau harus selamat, Julig. Karena begitu masalah ini usai, aku akan mulai mengajarimu silat dan olah tenaga murni agar kami tidak terlalu khawatir jika harus melepas kau sendirian seperti ini."

" Iya, Julig. Aku juga akan mengajarimu dasar,-dasar menguasai pikiran lawan. Syaratnya, seperti yang dikatakan kakangmu Jaka Wingit; dua hari mendatang kamu harus keluar hidup-hidup dari goa itu dan selamat dari bahaya apapun, Anak Kancil! " Kidang Panah menimpali.

Julig tersenyum cerah. Ia senang berada di antara dua pendekar hebat yang sangat bertolak-belakang pembawaannya namun sebenarnya sama-sama tulus. Meski sebenarnya di dalam hati Julig menyembunyikan khawatirnya. Ia sesungguhnya sadar, bahwa rencana yang ia rancang penuh resiko.

***

1
Bambang Sukamto
cerita yang menarik
Leori Id
mau pingsan izin dulu /Smirk/
Dar Darminadi
ayoooooooo terusannya
Lilik Muliyadi
hadir
Lilik Muliyadi
savitrinya mirip Dian Nitami hahaa
Lilik Muliyadi
aku msh menyimak
Lilik Muliyadi
lumayan
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
Windy Veriyanti
ayo dong, Author...dilanjutkan ceritanya...✊
Windy Veriyanti
sisipan cerita wayang yang menambah wawasan 👍
matur nuwun 🙏
Windy Veriyanti
ambisi dan niat buruk 😤
Windy Veriyanti
Pasukan khusus Bhumi Majapahit sangat kuat dan hebat ✊✊✊
Windy Veriyanti
Bhumi Majapahit sangat maju pada jamannya 👍
Windy Veriyanti
hebat kapal raksasa jawa jung 👍👏
Windy Veriyanti
indah sekali Kotaraja Majapahit 👍👍👍
Windy Veriyanti
Jaka Julig...Sang Murli Katong
Windy Veriyanti
Puja Jagad Dewa Bathara...
berkah untuk Jaka Julig
Windy Veriyanti
ternyata...ohh ternyata...
Windy Veriyanti
hahh...😰
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆
Windy Veriyanti
bikin tegang membacanya 😓
Windy Veriyanti
adegan ini jika divisualisasikan pasti sangan bagus..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!