NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Happy Birthday

🦋

Ruang rapat di penuhi aroma kopi dan kertas baru. Auliandra sudah duduk di ujung meja, menatap blueprint besar yang terbentang di depannya. Di sebelahnya, Kiran menata beberapa foto referensi taman.

Edwin duduk santai di kursinya, memainkan pensil seperti seorang  pematung yang sudah tahu bentuk karyanya bahkan sebelum batu disentuh. Jevano di sisi lain menggambar sketsa di kanvas kecil, sementara Nira sibuk mengetik catatan rapat.

"Akhirnya kau datang," komentar Edwin tanpa menoleh. Nada suaranya datar, tapi Gavriel tahu itu sindiran.

"Setidaknya aku datang," balas Gavriel singkat, duduk di kursi yang sudah disiapkan Nira.

Setelah sarapan tadi Gavriel keluar sebentar untuk mengangkat telfon dari ibunya.

Auliandra menghela napas panjang. "Kita mulai saja. Aku ingin villa ini selesai dalam waktu maksimal satu tahun."

Gavriel menegakkan tubuh. "Satu tahun? Auliandra, itu gila. Proyek seperti ini butuh tiga sampai empat tahun kalau ingin hasilnya sempurna."

Edwin tersenyum miring. "Makanya jangan pakai logika biasa, Gav. Kita punya cara sendiri."

"Cara sendiri? Apa kau mau memanggil tukang sihir untuk membangun dindingnya semalam?" sindir Gavriel.

Edwin menatapnya tajam. "Kalau perlu."

"Berhenti!" suara Kiran memotong ketegangan. "Setiap kali kalian bertemu, pasti ada saja perdebatan. Fokuslah pada tugas masing-masing."

Nira ikut bicara, suaranya tenang namun tegas. "Kita bisa selesaikan ini dengan cepat kalau semua orang patuh pada pembagian kerja."

Auliandra lalu menggeser blueprint ke tengah meja. "Dengarkan baik-baik. Gavriel, kau mengurus pasokan bahan bangunan dan mengawasi pekerja. Jevano, kau akan melukis mural dan membeli lukisan langka. Edwin, kau buat patung dan instalasi seni untuk area luar dan dalam. Nira, kau atur interior. Aku dan Kiran akan mengurus taman depan dan belakang."

Semua mengangguk kecuali Gavriel, yang masih menatap rancangan villa itu dengan pandangan penuh tanda tanya. Bukan hanya soal desainnya… ada sesuatu di villa itu yang mengusiknya, seperti déjà vu yang menusuk.

"Kenapa Auliandra ngasih aku tugas sebanyak ini…" gumamnya, merasa seperti terlempar jauh dari zona nyamannya sebagai pewaris perusahaan besar.

Di tengah perjalanan, ia memutar setir ke arah lain. Langkahnya bukan menuju toko bahan bangunan, melainkan ke sebuah tempat yang sudah lama menjadi rumah bagi kenangan.

Jalan itu diapit pohon kelapa yang dulu masih muda, kini sudah berbuah lebat. Mobilnya berhenti di tepi pantai, suara debur ombak menyambut. Gavriel berjalan perlahan ke bibir pantai, membiarkan angin laut mengacak rambutnya.

Matanya terpaku pada horizon jingga. Di sanalah, dulu, Valora berdiri sambil tertawa, membiarkan ombak memeluk kaki mereka.

"Sangat indah, bukan?" suara itu membuat jantungnya berhenti sesaat.

Gavriel menoleh dan di sana, berdiri Valora. Atau… seseorang yang tampak persis seperti Valora. Senyum tipisnya, cara rambutnya menari di angin, bahkan tatapan matanya, semuanya sama.

"Kenapa kau selalu muncul saat aku mengingatmu?" suara Gavriel serak.

"Karena kau masih mencintaiku," jawabnya, menunduk memungut cangkang putih. "Aku hidup di hati orang yang mencintaiku."

"Aku juga mencintai anak kita. Kenapa mereka tidak muncul saat aku memikirkan mereka?"

"Mungkin… mereka marah padamu."

Gavriel menatapnya, mata memohon. "Mereka merindukanku, kan?"

"Kau pikir aku tahu? Aku tinggal di tempat yang berbeda dari mereka. Kalau mau tahu, jalan saja lurus ke sana." Jemarinya menunjuk lautan lepas.

"Kau ingin aku mati?" Gavriel menahan tawa getir.

"Aku tidak mengatakan itu."

Tanpa pikir panjang, Gavriel menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya. Hangat. Nyata. "Kalau aku bisa memelukmu, berarti kau bukan ilusi."

"Memang aku bukan hantu."

Kalimat itu menghantam kesadarannya. Gavriel membuka mata lebar-lebar, dan sosok yang dipeluknya… bukan Valora. Melainkan Auliandra.

"A-Auliandra…?" suaranya tercekat.

"Aku tahu kau merindukan mendiang istrimu," kata Auliandra lembut. "Kematian memang memisahkan, tapi kenangan membuatnya terasa dekat."

Gavriel terdiam, pikirannya kusut. Apakah sejak awal ia hanya membayangkan Valora? Atau… ada sesuatu yang jauh lebih aneh terjadi?

Auliandra lalu berlari kecil ke mobilnya, mengambil sebuah undangan, dan menyerahkannya.

"Datanglah. Ajak keluargamu." Senyumnya hangat, namun entah kenapa, bagi Gavriel, senyum itu terasa menyimpan sesuatu.

"AULI!" suara Jevano memotong keheningan. Ia datang berlari, meraih pinggang Auliandra dengan protektif.

Gavriel hanya mengangguk singkat, lalu berjalan menuju mobilnya. Tangannya menggenggam erat undangan itu, seakan kertas itu adalah kunci untuk membuka pintu masa lalu yang selama ini ia tutup rapat.

Di balik kaca mobil, matanya berkaca-kaca.

(Akan kubuktikan… Kiran adalah Valora. Dan aku akan membawanya pulang.)

Namun, di tengah aktivitas itu, pikirannya kembali melayang ke undangan yang ada di saku jaketnya. Undangan dari Auliandra.

Bentuknya sederhana, tapi saat ia membukanya lagi di mobil, matanya membeku pada satu detail kecil di sudut kertas lambang kecil berbentuk kupu-kupu emas.

Lambang yang sama persis ada di undangan pernikahannya dulu dengan Valora.

***

Mansion Calderon berdiri megah di balik gerbang besi tempa yang berlapis emas. Dinding batu alam berwarna abu-abu tua menjulang anggun, memantulkan cahaya lampu taman yang hangat. Pintu masuknya tinggi, dihiasi ukiran halus berlapis emas, sementara jendela-jendela besar berbingkai emas memantulkan kemewahan yang tak bisa disembunyikan.

Di halaman, taman mawar merah dan tulip mekar sempurna, aroma segar bercampur wangi lembut malam. Air mancur elegan di tengah halaman berkilau seperti kristal di bawah cahaya lampu.

Memasuki ruang tamu, kemewahan langsung menyergap. Lantai marmer putih licin berkilau, langit-langit tinggi dihiasi lampu kristal raksasa. Perabotan berlapis emas berpadu dengan warna merah muda, lukisan-lukisan langka menghiasi dinding. Di sudut, meja buffet dipenuhi hiasan bunga dan kue ulang tahun dengan dekorasi emas, merah muda, dan sentuhan merah maroon yang tegas.

Meja makan panjang sudah ditata rapi, piring dan sendok garpu berlapis emas, kursi berlapis kain merah maroon, dan lampu gantung kristal memancarkan cahaya yang hangat. Dinding di sekitarnya dipenuhi foto masa kecil Auliandra, seolah seluruh ruangan adalah galeri perjalanan hidupnya.

Di lantai atas, Auliandra berdiri di depan cermin, membiarkan Nira asisten setianya memoles sentuhan akhir pada riasannya.

Gaun merah maroon dari sutra halus membalut tubuhnya, potongan A-line dengan manik-manik dan payet emas yang berkilau setiap kali terkena cahaya. Sabuk emas melingkari pinggangnya, menonjolkan lekuk anggun. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, menutupi sedikit punggungnya, memperlihatkan semburat warna dark blue di bagian dalam yang hanya terlihat jika diperhatikan dengan saksama.

"Selamat ulang tahun, Nonaku yang cantik," ucap Nira sambil tersenyum.

"Dua puluh enam tahun, tapi wajah Nona… sama seperti enam tahun lalu saat kita pertama bertemu."

Auliandra tersenyum tipis. "Terima kasih, Nira… untuk semua yang sudah kau lakukan."

Pintu kamar terbuka pelan, memperlihatkan Kiran yang melangkah masuk dengan gaun emas tua berbahan velour. Potongan selutut dengan tali spageti, payet emas, dan pita di pinggang membuatnya terlihat elegan sekaligus manis.

"Selamat ulang tahun, kembaranku," ujar Kiran sambil mengangkat kotak hadiah.

Auliandra langsung bangkit dan memeluknya. "Ya ampun, Kiran… tak perlu repot seperti ini."

"Ini hanya hadiah kecil," jawab Kiran sambil tersenyum.

Dari ranjang, Nira memandangi mereka dengan mata berbinar. "Aku juga ingin punya kembaran…" gumamnya pelan.

Ketika Auliandra akhirnya muncul di tangga besar, semua suara percakapan mereda. Gaunnya berkilau di bawah lampu, langkahnya anggun, dan tatapan matanya penuh percaya diri.

Jevano berdiri di bawah, siap menyambutnya dengan tangan terulur. Di sisi lain, Edwin hanya berdiri diam, tapi matanya tak lepas dari Auliandra.

Bisik-bisik mulai terdengar:

"Dia cantik sekali…"

"Itu gaun terindah malam ini."

"Aku dengar dia dekat dengan tiga pria sekaligus…"

Auliandra mengambil mikrofon, suaranya lembut tapi tegas. "Terima kasih telah hadir di malam spesial ini. Tapi… ulang tahun ini bukan hanya milikku. Izinkan aku memperkenalkan, saudari kembarku, Kiran Kaldareth."

Keheningan berubah menjadi gumaman tak percaya. Semua mata menoleh ke arah Kiran yang menuruni tangga, senyumnya menawan, pesonanya nyaris tak bisa dibedakan dari Auliandra.

Alex akhirnya menjelaskan bahwa Kiran memang kembaran Auliandra yang selama ini tinggal di luar negeri karena masalah kesehatan sejak kecil.

Sorak-sorai kecil terdengar, disusul tepuk tangan. Jevano meraih tangan Auliandra, sementara Edwin menggandeng tangan Kiran. Mereka berjalan ke meja kue ulang tahun hitam-emas dengan angka 26 di atasnya.

Saat lilin dinyalakan, Auliandra dan Kiran menutup mata, mengucap doa, lalu meniupnya bersamaan. Tepuk tangan membahana di seluruh ruangan. Potongan kue pertama mereka suapkan pada Ayla Calderon dan Alex Calderon.

Di tengah keriuhan, Kiran menghampiri Gavriel dengan sepotong kue. Tatapan mereka bertaut. Gavriel seolah menahan napas, matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan di pesta.

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!