Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Pamit
"Kenapa tidak mengabariku?"
Pertanyaan Bima jelas membuat Lengkara bingung, dia memang sempat mengatakan akan ke Semarang, tapi bukan berarti minta dijemput atau sebagainya. Dia terlihat kikuk, Lengkara berdehem demi menepis rasa tidak nyamannya.
"Tidak apa-apa, lagi pula aku hanya sebentar."
"Sudah bertemu dengannya?" tanya Bima kemudian, bahkan di rumah sakit begini pakaiannya masih begitu rapi. Terbukti jelas memang gila kerja dan tidak dapat ditinggal dalam keadaan apapun. Mungkin kiamat baru cuti, pikir Lengkara mulai lari kemana-mana.
"Sudah."
Hanya jawaban singkat Lengkara berikan, matanya tertuju pada sudut bibir Bima dan pelipis Bima. Sebelum meninggalkan rumah utama, Bima sempat menerima pukulan lantaran papanya kesal melihat Bima terus bertulut.
"Papa bagaimana?"
Masih papa, padahal kemarin sudah dilarang lantaran pria yang memasuki usia senja itu terlampau kecewa. Bima bertanya keadaannya, dia khawatir karena memang sebelum pada akhirnya pergi dengan jelas Bima melihat papa Mikhail tumbang dan membuat serumah panik seketika.
Sebenarnya ingin tetap di sana, tapi kakak ipar Lengkara meminta Bima pergi secara baik-baik. Untuk itu, Bima hanya bisa memastikan keadaan mantan papa mertuanya melalui Zean karena Lengkara tidak bisa dia hubungi.
"Mulai membaik, jangan khawatir."
"Syukurlah, aku lega mendengarnya."
Sama, Lengkara juga sangat lega melihat keadaannya mulai membaik. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya Lengkara jika kejadian kemarin merenggut nyawa papanya, bisa dipastikan dia benar-benar gila.
"Kamu bersama siapa? Sendiri atau ...." Bima tampak ragu, ingin menebak, tapi khawatir nanti Lengkara menganggapnya terlalu banyak bicara.
"Sendirian."
Mau bagaimanapun dipaksakan, mereka memang tetap kaku. Bima yang pada dasarnya tidak bisa menghangatkan suasana, dan Lengkara yang ikut-ikutan canggung membuat interaksi mereka lebih banyak diamnya.
"Ehm aku harus pergi, Mas ... hampir jam satu, nanti aku terlambat," ucap Lengkara usai melihat pergelangan tangan kirinya. Baru dia sadari jika sudah cukup lama di sini. Sudah tentu lama karena meminta izin ibu Runi agar bisa bertemu Yudha.
"Iya, aku antar ke bandara." Bukan tawaran, tapi pernyataan jika dia yang akan mengantar wanita itu.
Sempat menolak, tapi Bima beralasan walau tidak mengantar Lengkara arahnya tetap kesana. Sepanjang perjalanan keduanya tetap membisu, Bima melaju dengan kecepatan sedang dan tidak ingin buru-buru.
Tanpa persetujuan papanya, Lengkara kembali bertemu pria yang kini menjadi mantan suami. Bisa dipastikan bagaimana kesalnya andai tahu, tapi untuk yang kali ini anggap saja bentuk kepedulian seorang pria kepada wanita yang dia kenal.
Tidak butuh waktu lama, perjalanan itu usai dan Lengkara mengucapkan terima kasih sebelum turun. Namun, Bima mana mungkin sampai di sana saja, dia enggan diangap supir taksi.
Keduanya berjalan berdampingan, sama sekali tidak akan ada yang menduga jika mereka adalah mantan pasangan, bukan pasangan. Hingga, langkah Lengkara terhenti dan mendongak menatap Bima di sisinya.
"Cukup sampai di sini ... terima kasih, kamu bisa pergi, Mas."
"Baiklah, hati-hati, titip salam untuk keluargamu," tutur Bima tertahan seolah keberatan dengan ucapan Lengkara.
Lengkara mengangguk pelan, dia kembali melangkah meninggalkan Bima. Namun, langkah wanita itu terhenti kala justru kembali berlari menghampiri Bima.
"Kenapa? Tidak jadi?"
Lengkara menghela napas berat, ada sesuatu dalam benaknya yang mungkin harus dia utarakan juga. Sama seperti pada Yudha, dia harus pamit tentu saja. Terlebih lagi, ketika dikembalikan ke rumah orang tuanya, mereka tidak sempat pamit secara baik-baik.
"Bukan, aku belum pamit sepertinya. Aku benar-benar pergi, Mas ... maaf jika aku melakukan banyak kesalahan dan secara tidak sengaja membuat hatimu sakit sebagai suami, terima kasih atas semua yang kamu lakukan dan untuk seterusnya jangan terlalu berlebihan dalam membahagiakan seseorang sampai mengorbankan diri sendiri."
Sama sekali tidak dia duga, jika kalimat yang sudah susah payah dia tata itu benar-benar lolos dan sampai pada Bima. Lama tidak bicara panjang, sekalinya bicara menghunus bak sebilah pedang yang membuat Bima terhenyak usai mendengarnya.
Bima menunduk dalam-dalam, mungkin ucapan Lengkara ada benarnya. Bukan hanya pada Yudha dia begini, tapi pada semua orang dia rela mengorbankan diri.
"Hm, maafkan aku juga, Lengkara."
Bandar Udara Internasional Jenderal Ahmad Yani menjadi saksi perpisahan keduanya. Tidak hanya sekadar pamit, tapi juga mengakhiri gejolak dalam batin keduanya. Sebagaimana Lengkara yang ingin melangkah tanpa dendam, Bima juga demikian.
Semakin lama, Lengkara semakin menghilang dari pandangannya. Memulai saja belum tapi sudah usai, begitulah kira-kira. Kemungkinan besar mereka tidak akan bertemu lagi, andai menikah secara negara mungkin masih bisa dihadapkan di persidangan.
Namun, mengingat mereka hanya menikah secara agama hubungan mereka benar-benar usai sejak malam itu. Bukan tanpa alasan, Bima sendiri yang menyetujui hal itu dengan niat pernikahan mereka akan benar-benar diresmikan jika Lengkara dalam keadaan sadar dan menerima Bima sebagai suami, bukan bayang-bayang Yudha.
Kendati demikian, bukan berarti Bima meremehkan perannya sebagai suami. Sejak statusnya berubah, semua kebutuhan Lengkara sejak dari rumah sakit dia yang mengambil alih walau papanya menolak.
"Cari kebahagiaanmu, Ra."
.
.
- To Be Continued -