Dhea mencintai Vean, tapi Vean menjalin kasih dengan Fio—sahabat Dhea.
Mencintai seseorang sejak masih SMP, membuat Dhea terus saja berharap kalau cintanya akan bersambut. Sampai akhirnya gadis itu menyerah dan memilih pergi saat pria yang dicintainya akan bertunangan dengan sahabatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 Yang Pertama (Revisi)
Beberapa bulan lagi telah berlalu ....
Gael menatap langit malam di kota Bandung. Udara dingin sama sekali tidak membuatnya terusik.
Pria itu lalu beranjak dari tempatnya, memutuskan untuk mencari makan di luar.
Vean masuk ke dalam salah satu kafe, yang isinya penuh dengan anak muda. Pria itu menghela nafas. Dia tidak suka dengan keramaian yang seperti ini. Dilihatnya di seberang jalan ada pedagang sate, dan dia akhirnya memutuskan untuk ke sana.
"Pak, sate kambing satu porsi."
Vean duduk di dalamnya, di dalam masih belum ramai.
"Pak, sate ayam satu porsi, ya. Pakai lontong."
Vean menoleh, karena seperti pernah mendengar suara itu.
"Kamu temannya Dhea, kan?"
"Iya."
"Kamu kok ada di sini?"
"Oh, Saya pulang ke sini karena nenek saya sakit."
Vean tidak lagi bertanya, meski di dalam hatinya, ada banyak pertanyaan untuk disampaikan kepada gadis itu.
Clara melirik Vean, dia merasa tidak nyaman bertemu dengan pria itu di sini.
Mereka sama-sama makan dalam diam.
Kenapa Dhea bisa menyukai pria seperti ini?
"Berapa, Pak?" tanya Clara.
"Biar saya saja yang bayar."
"Jangan."
"Tidak apa."
"Saya duluan, ya."
Vean langsung pergi meninggalkan Clara.
[Aku bertemu Vean di sini.]
Clara segera mengirimkan pesan itu pada Dhea.
Dhea membaca pesan itu sambil memegang perutnya yang terasa sangat sakit. Dia lalu pergi ke kamar mandi dan segera memindahkan makanan yang baru saja dia makan.
Perut dan tenggorokannya terasa sangat perih. Air matanya keluar karena tidak kuat menahan rasa sakit itu.
Dia berjalan dengan pelan menuju kasurnya. Diraihnya obat dengan tangan gemetaran. Dhea mulai memejamkan matanya, berharap kalau segala kesakitan ini akan segera berakhir.
Dia sendiri, tanpa ada yang menemani.
Dhea bermimpi
Dia menggunakan pakaian putih dan terlihat sangat cantik. Bunga-bunga yang indah ada di sekelilingnya.
Di hadapannya, sepasang kekasih sedang berpegangan tangan. Terlihat sangat serasi dan wajah yang gembira.
Dhea melihat itu, sang pria yang menyematkan cincin pada sang perempuan. Begitu juga sebaliknya, sang perempuan menyematkan cincin di jari laki-laki.
Air mata Dhea menetes melihat itu. Hatinya hancur tak berbentuk. Ini adalah saatnya untuk pergi, pergi untuk selamanya.
Tidak ada lagi yang tertinggal di tempat ini.
Sang penyemangat hidup tak bisa dia raih.
Kakinya bergerak perlahan, meninggalkan tempat yang penuh dengan bunga-bunga itu. Dia ingin menoleh ke belakang, tapi takut langkahnya akan semakin berat.
Dhea duduk di taman yang sepi, sesepi hatinya yang tak bersambut. Gadis itu menatap langit biru, tersenyum penuh luka dan air mata.
Dia terlihat sangat menyedihkan saat ini.
Gadis itu memejamkan mata, menikmati semilir angin tanpa seorang pun.
Dia menyayangi Vean, dia juga menyayangi Fio. Jadi, bukankah hal yang sangat tepat kalau keduanya bersama? Fio berada di tangan yang tepat, begitu juga dengan Vean.
Adakalanya dia berpikir, kenapa harus Fio yang Vean suka?
Kadang dia berpikir, kenapa harus Vean yang Fio suka?
Dan adakalanya juga dia berpikir, setidaknya bagus, kalau gadis yang Vean suka adalah orang yang dia kenal dengan dekat. Setidaknya dia tahu, kalau gadis itu adalah gadis baik. Dan begitu juga sebaliknya, kalau pria yang Fio suka adalah pria baik.
Perlahan Dhea membuka matanya. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul lima pagi. Gadis itu langsung mandi untuk segera beraktivitas, meski masih merasakan nyeri di perutnya.
Selama dia masih hidup, ya berarti dia tetap harus menjalaninya. Entah dia suka atau tidak. Dia seperti robot yang terus bergerak tanpa lelah. Bekerja di hari Minggu untuk tetap bertahan hidup.
"Dhea, kamu sakit? Wajah kamu pucat."
"Tidak, aku hanya nyeri datang bulan."
"Oh, sudah minum obat?"
"Sudah."
Dhea bekerja di salah satu kafe. Pekerjaannya memang melelahkan karena kafe ini tidak pernah sepi, tapi setidaknya mereka yang bekerja di sini selalu dapat jatah makan. Cukup membuat Dhea bisa berhemat.
Jam makan siang
"Selamat makan semuanya," ucap salah satu teman kerja Dhea.
Dhea mulai menyuap makanannya dengan pelan. Akhir-akhir ini nafsu makannya semakin berkurang. Kalau pun makan, yang dimakannya selalu makanan instan. Bukannya dia tidak suka atau malas masak, hanya saja dia selalu tidak lagi berselera jika sudah selesai memasak. Dhea diam saja mendengar senda gurau teman-temannya yang selalu menceritakan hal-hal lucu. Sesekali dia tersenyum, meski tidak memberikan komentar apa-apa.
"Oke, cepat selesaikan makan kalian, kita harus segera bekerja kembali."
...💦💦💦...
Dhea melihat jumlah tabungannya. Ada yang dia masukkan ke dalam rekening, ada juga yang dia simpan cash.
Dia memegang dadanya, entah kenapa dia sangat ingin kembali ke Jakarta. Tapi bukankah dia sudah berjanji untuk tidak ke sana lagi?
Banyak teman Dhea yang menyukainya, hanya saja dia memang belum memikirkan tentang menjalin hubungan dengan seseorang. Apa mungkin hatinya masih tertutup rapat atau dia yang memang tidak pernah benar-benar bisa melupakan Vean.
Cinta pertama
Kata orang, cinta pertama itu sulit untuk dilupakan.
Dan ternyata, Dhea sudah membuktikannya sendiri.
Yang pertama memberikan harapan, juga yang pertama memberikan luka.
sy mencari2 cerita yg berbeda..kebanyakan sama....hy beda nama tokok dan sedikit alur..trus klaim mrk yg awal membuat cerita..muak saya.
terima kasih thor,membuat cerita yg bagus..ah,knp baru nemu sy cerita bagus gini
cintanya dipupuk hingga subur
dimana nih rasa malunya
aku juga pernah lho namnya cinta dalam diam sama pacarnya sahabat sendiri tapi gk kyk Dhea terang²an dengan mengejar seseorang yang tak pasti!!
sakit hati kan rasanya ditolakk !!,,
udah baca 3 kali, udah tau Endingnya kek mana, tapi kenapa gk bisa nahan air mata