Jodohku Regantara

"Ceraikan aku Re."

Bak di sambar ratusan belati, Regan terhenyak sampai berdiri dari duduknya. Regan tak percaya kata-kata itu keluar dari bibir mungil sang istri yang paling ia cintai. Atas dasar apa mengajak berpisah padahal tidak ada percekcokan.

Regan bungkam mencerna kata-kata Kaira dengan menatap dalam sang istri yang kini tengah berdiri dengan sikap dingin. Ingin rasanya Regan membentak dan memaki Kaira yang bicara sembarangan. Namun tak sampai hati bahkan mencubitnya saja Regan tak ingin.

Kaira bak batu permata yang ia jaga, hati dan raganya begitu berharga. Jangankan untuk berkata kasar, mendiamkan saja jika tak keterlaluan dia sangat enggan. Dan di detik ini dunianya seakan terhenti. Kata itu membuat hati Regan berdenyut nyeri.

Sebenarnya bukan hanya Regan saja yang sakit, saat ini Kaira tengah menahan tangis dan membentengi dirinya dengan sikap dingin agar lebih terlihat kuat. Dia tak bisa bertahan dengan keadaan dirinya yang selalu mengecewakan.

Kaira paham betul Regan pasti berharap ada tangisan bayi di tengah-tengah keluarga kecilnya. Tapi dirinya tak kunjung melengkapi kebahagiaan. Kata orang belum rejeki, tapi dirinya akan sangat egois jika terus bertahan dan meminta Regan terus bersabar.

Benih yang di harapkan tak kunjung tumbuh karena masalah dirinya yang belum kunjung sembuh. Ikhtiar dan doa selalu di panjatkan, tapi sabarnya tak ingin berujung menyakitkan karena terus berharap.

"Tarik ucapan itu!" lirih Regan dengan air mata yang sudah berada di pelupuk mata. Susah payah dia berusaha untuk berucap agar kata cerai secepatnya di urungkan. Dada Regan begitu sesak, melihat ekspresi Kaira yang justru malah tersenyum.

"Kenapa? Kenapa harus aku tarik lagi kata-kata ku? Apa yang kamu harapkan lagi dengan pernikahan ini? Dan apa yang membuatku harus bertahan. Buka mata Re, aku tidak bisa menjadi wanita yang sempurna. Aku tidak bisa menjadi surga yang selalu kamu rindukan. Dan aku tidak subur sesuai syarat mencari istri."

"Tapi aku menerima dan bahagia hidup denganmu Kaira, aku menikahimu karena mencintaimu bukan karena semata-mata duniawi. Jangan pernah berpikir yang bukan-bukan dan meragukan cintaku Kaira! Cintaku tulus tanpa berharap apapun. Andai tidak ada anak di antara kita, aku tetap akan menjaga pernikahan ini sampai kita menua. Dan kamu tetap menjadi wanita yang sempurna di mataku, surga yang selalu aku rindukan hingga aku tak betah lama-lama di luar rumah."

"Aku mohon sayang, jangan berbicara demikian. Aku yakin ada sesuatu yang mengganggu hatimu, ceritakan! Sampaikan apapun keluh kesah kamu! Telingaku sempurna di saat mampu mendengarkan keluhan istriku, pundak ku kokoh untuk kamu jadikan sandaran di saat hati resah. Apapun yang kamu mau aku turuti, asal jangan perpisahan yang kamu inginkan. Karena aku nggak akan sanggup sayang!"

Dengan perlahan Regan melangkah mendekat, air mata keduanya mulai jatuh seiring ucapan dan ungkapan hati Regan yang begitu dalam.

"Andai kita berpisah, hanya maut yang aku ikhlaskan untuk memisahkan kita. Tapi demi Allah...Aku selalu meminta setiap malam kelak kita kembali bertemu di surga. Sayang....Dengarkan aku, kita masih bisa berusaha. Jika karena anak alasan kamu minta berpisah, aku tidak akan terima sayang. Kita masih bisa usaha atau mengangkat anak, apapun itu aku akan lakukan asal kamu tetap di sisiku!"

Regan menarik Kaira kedalam pelukan, keduanya terisak dengan hati berantakan. Baru kata-kata saja sudah sangat perih di rasa, bagaimana jika Kaira benar-benar bersikeras ingin lepas dari pernikahan yang begitu membuatnya merasa sangat bahagia.

"Aku gagal Re...Hiks....Hiks....Aku gagal menjadi Ibu! Aku menyerah Re, aku tidak ingin selalu membuatmu kecewa. Aku tidak mau membuatmu selalu berharap." Dalam dekapan Regan, Kaira terisak. Begitu nyaman tetapi ia tak mau terus menjadi beban.

"Ssstttt.....Aku tidak kecewa sayang, melihatmu sehat dan tersenyum saja sudah membuat bahagia. Justru jika kamu seperti ini aku akan kecewa, sangat kecewa, jangan sebut lagi kata pisah!"

"Tapi sebagai istri aku tidak ingin egois Re, aku tau sebagai suami kamu mengharapkan kehadiran bayi. Terlebih orang tuamu begitu mengharapkan cucu pertama di keluarga mereka. Harus menunggu berapa tahun lagi Re mereka menimang cucu dari kita? Harus beralasan apa lagi agar mereka tidak terus menanyakan setiap berjumpa? Sedangkan kamu melarang aku untuk jujur!" Kaira merenggangkan pelukannya, menatap Regan dengan wajah basah dan sendu.

"Ikhlaskan aku Re....Kamu sehat, kamu tidak bermasalah, kamu bisa menikah lagi dengan wanita yang subur dan mampu memberi banyak anak! serta Mamah dan Daddy pasti akan semakin bahagia."

Regan menggelengkan kepala mendengar ucapan Kaira. Tidak ia benarkan ucapan Kaira, apa lagi untuk mengabulkan permintaannya. Sampai memohon pun tak akan ia turuti.

"Tenangkan dirimu! aku akan kembali setelah kamu bisa berpikir jernih." Regan tak ingin banyak bicara lagi, dia lebih memilih untuk pergi dan memberi waktu pada Kaira untuk berpikir. Regan melepas pelukan dan membalikkan badan dengan air mata yang kembali menetes.

Kaira menatap nanar punggung kokoh yang perlahan menjauh. Sungguh hatinya tak tega namun ia sadar diri akan kekurangannya.

"Jika kamu tidak ingin berpisah, menikahlah lagi dengan wanita lain!"

Langkah Regan terhenti, telinganya begitu panas mendengar permintaan Kaira yang konyol baginya. Kedua tangan Regan mengepal kuat, jangankan untuk menikahi wanita lain. Menatap wanita yang bukan mahramnya di luar sana saja Regan merasa enggan dan selalu menundukkan kepala di saat godaan datang. Regan tak menjawab, dia kembali melangkahkan kakinya keluar kamar. Meninggalkan Kaira yang kini luruh ke lantai dengan terisak.

"Maaf Re...."