Azira membenci Ayahnya karena tega meninggalkan Ibu, dan dia bahkan lebih membenci istri kedua Ayahnya sebab jika bukan karena wanita itu, Ibu tidak akan pernah menginjak dunia malam. Tidak, sejujurnya Azira membenci Ayah dan keluarga Ayahnya yang bahagia serta harmonis. Pernah memandang rendah Azira dan Ibunya yang miskin, mereka bahkan tanpa ragu membunuh Ibunya.
Azira sangat membenci mereka semua!
Karena kebencian inilah dia terpaksa memasuki keluarga Ayah, menghancurkan kehidupan bahagia putri terkasih Ayah dan merebut calon suaminya, Azira melakukan semua itu.
Dia pikir balas dendamnya telah selesai setelah melihat keluarga Ayahnya hancur, dan dia pun siap dihancurkan oleh suami paksaan nya. Namun, siapa sangka bila suami paksaan nya tidak hanya tidak menghancurkannya namun juga menyediakan rumah untuknya kembali?
Apa ini?
Apakah ini hanya penyamaran sang suami untuk membalas dendam kepadanya karena telah merebut posisi wanita yang dicintai?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lili Hernawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.7
Hah...
"Pergi kemana mas Kenzie?" Gumamku mulai bosan.
Ah, sejujurnya lebih baik kita tidak usah bertemu dulu karena setiap kali bertemu dengan mas Kenzie, aku selalu merasa kewalahan menghadapinya.
"Kamar ini cukup bagus." Mataku melihat sekeliling kamar.
Semalam karena terlalu gugup aku jadi tidak memperhatikan kamar ini dengan baik. Sekarang mumpung aku sendirian, aku akhirnya bisa mengamati kamar ini dengan baik.
Kamar ini cukup sederhana dan tidak terlalu ramai. Dalam satu ruangan yang lumayan besar, ada 3 lemari pakaian berjejer rapi saling menyambung. Lalu di samping lemari pakaian, ada rak buku yang langsung bersentuhan dengan jendela kamar, seperti sebuah ruangan kecil yang sengaja di desain minimalis layaknya sebuah kantor. Di sana ada meja kerja mas Kenzie lengkap dengan berbagai macam buku dan dokumen yang bertumpuk di atas meja. Aku tidak berani terlalu dekat dengan meja karena aku tahu barang-barang di sana adalah hal yang sangat penting.
Orang awam seperti diriku tidak pantas menyentuhnya.
Lalu, mataku tiba-tiba ditarik oleh sebuah foto keluarga di dekat rak buku. Foto itu terdiri dari empat orang. Ada Umi, Abah, Sasa dan mas Kenzie. Di dalam bidikan lensa kamera, wajah mereka bertiga tersenyum cerah menunjukkan betapa hangatnya keluarga ini.
Keluarga yang harmonis, aku tersenyum kecut. Melihat foto ini mengingatkan pada kenangan pahit yang aku alami 10 tahun yang lalu.
Saat itu usiaku baru 12 tahun. Aku masih kelas 6 di sekolah dasar tempat Ibuku dilahirkan. Waktu itu adalah masa-masa dimana aku sangat merindukan Ayah dan ingin sekali bertemu dengannya, sebab dari kecil aku belum pernah bertemu secara langsung dengan Ayah dan hanya bisa melihatnya melalui foto pernikahan mereka. Foto yang masih ku simpan hingga kini.
Ibu bilang Ayah adalah laki-laki yang tampan dan cerdas, Ayah berasal dari kota yang sangat besar dan hidup makmur, jauh lebih baik dari kehidupan ku dan Ibu yang ada di desa.
Hahaha... mendengar kekaguman Ibu pada saat itu kepada Ayah membuat ku sangat merindukan Ayah dan juga ikut kagum karena Ayahku adalah orang yang sangat luar biasa.
Namun ada yang aneh dari keluarga Ibu di kampung. Setiap kali mereka mendengar Ibu menyebut Ayah, kemarahan mereka pasti akan meledak-ledak. Paman dan bibi ku bilang jika Ibu adalah wanita yang tak tahu diri. Ibu suka berangan-angan pada orang tidak bisa digapai.
Ibu tidak tahan lagi mendengarkan semua cemoohan paman dan bibi, ia lalu meninggalkan kampung dan membawaku pergi ke kota.
Kami akhirnya datang ke kota untuk mencari Ayah. Beberapa minggu lamanya kami terombang-ambing di kota besar mencari alamat Ayah, sampai akhirnya Ibu bertemu dengan kenalan lama dan kebetulan bekerja di rumah Ayah. Dengan bantuan orang itu kami berdua akhirnya sampai di rumah Ayah. Rumah yang sangat besar dan luas, mata kecilku yang belum pernah melihat dunia sangat dimanjakan. Kepalaku berputar-putar memikirkan banyak khayalan tinggi. Aku akan tinggal di rumah besar ini, memiliki banyak boneka untuk dimainkan, membeli banyak pakaian bagus untuk dipamerkan, dan aku tidak akan pernah takut kelaparan lagi karena Ayah punya uang banyak.
Aku sangat senang, tersenyum bodoh kemanapun aku memandang.
Ku pikir semu penantian ku akan berakhir dan Ibu tidak akan dianggap gila lagi oleh keluarga di kampung.
Tapi lihatlah kejutan apa yang aku lihat saat itu.
"Kamu siapa?" Aku melihat seorang laki-laki tinggi nan tampan sedang berbicara dengan Ibu.
Laki-laki itu tidak lain adalah Ayah ku sendiri.
Teringat jelas di dalam benakku betapa dingin tangan Ibuku saat itu.
"Mas...mas Rama, aku Ana, mas. Aku adalah istri mas dan ini.." Ibu mendorong punggung ku ke depan,"Namanya Azira Humaira, dia adalah putri kita, mas." Ibu sangat gugup saat itu.
"Anakku?" Wajah Ayah tiba-tiba berubah.
Dia menatapku jijik. Ada penolakan kuat yang kulihat di mata Ayah hari itu.
"Iya, mas. Azira adalah anak kita. Mas masih ingat enggak, saat itu usianya masih 3 bulan saat mas tiba-tiba pergi meninggalkan kampung. Aku pikir mas akan segera kembali ke kampung tapi bertahun-tahun kami menunggu mas tidak kunjung pulang. Azira juga sudah sangat merindukan mas Rama, setiap hari dia selalu bertanya kemana mas pergi dan kapan mas akan pulang ke rumah. Aku sangat kasihan melihatnya jadi aku memutuskan untuk datang ke kota mencari mas. Kami berdua telah mencari-cari keberadaan mas-"
"Sayang, siapa yang datang?" Kata-kata Ibuku langsung terhenti saat mendengar suara wanita dari dalam rumah.
Ibu... wajah Ibu langsung menjadi pucat. Matanya memerah dan mulai basah. Aku sering melihat Ibu menangis di kampung saat berdebat dengan paman dan bibi, tapi jujur saja, aku merasa bila Ibu sangat sakit hati hari itu namun masih bertahan untuk tidak menangis di depan Ayah.
"Bukan siapa-siapa, Ma. Mereka hanya pemulung yang datang untuk meminta makan." Jawab Ayah berbohong.
Barulah hari itu aku tersadar jika Ayah bukanlah laki-laki sesempurna yang sering Ibu gambarkan kepadaku. Menurutku Ayah adalah laki-laki brengsek.
Ibuku menatap Ayah kosong. Ada kejutan dan kecewa yang bercampur aduk dalam dada Ibuku.
"Mas Rama..."
"Aku sudah menceraikan mu saat itu jadi kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Dan anak ini," Ayah menatapku enggan,"Bawa dia pergi bersamamu. Jangan sampai kedatangannya membuat istri dan anakku salah paham." Usir Ayah kepada kami.
Bodohnya, betapa bodohnya aku saat itu yang masih memanggilmu Ayah.
"Ayah, Ibu dari kemarin demam. Dia tidak pernah makan dan belum minum obat." Panggilku kepadanya.
"Nak, aku bukanlah Ayah mu dan demam Ibumu tidak ada hubungannya denganku. Jika kamu ingin menyembuhkannya, maka lebih baik bawa Ibumu pulang ke kampung kumuh itu dan jangan datang ke sini lagi untuk mengganggu keharmonisan keluargaku." Kata Ayah tanpa belas kasih sedikitpun kepada kami.
Aku terkejut. Kedua mataku tiba-tiba menjadi basah. Memang benar aku masih belum mengerti banyak hal pada saat itu, tapi untuk masalah ini aku benar-benar bisa mengerti apa yang Ayah katakan.
Ayah tidak pernah mengakui ku sebagai putrinya dan hubungannya dengan Ibu adalah sebuah angan-angan Ibuku saja. Kami benar-benar sudah selesai saat itu.
"Ayah... Ayah, Humairah mau main." Suara manis seorang gadis mengalihkan perasaan masam di hatiku.
Dari balik pintu seorang gadis cantik nan manis tiba-tiba muncul dan memeluk Ayah. Gadis itu bernama Humairah dan memanggil Ayahku sebagai Ayahnya.
Hati kecilku terluka.
Aku tidak bodoh untuk tidak bisa mencerna semuanya dengan baik-baik.
"Okay, kita akan main." Ayah melihat ku dan Ibu dengan ekspresi enggan di wajahnya.
"Ayah, aku-" Tanganku diremas kuat oleh Ibu hingga membuatku meringis menahan sakit.
"Kami akan pergi. Maaf telah mengganggu waktu Anda, tuan. Kami berjanji tidak akan menggangu waktu Anda lagi di masa depan."
Setelah mengucapkan itu Ibu menarik ku pergi. Ia membawaku pergi dari rumah itu tanpa menoleh sekalipun ke belakang. Kesan hari itu sangat dalam bagiku karena Ibu masih bersikap tegar meskipun setiap langkahnya diiringi oleh luapan air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir.
Ibuku tidak pernah baik-baik saja sejak hari itu. Dan sejak hari itu pula Ibu berubah menjadi orang yang sangat keras dan galak, sekecil apapun kesalahan yang aku perbuat akan dimarahi oleh Ibu.
Jujur, aku awalnya merasa takut tapi setelah terbiasa dengan emosi Ibuku, hatiku entah kenapa menjadi mati rasa.
Yah, mati rasa.