Novel ini adalah musim ke 3 dari kisah cinta beda usia antara Pram dan Kailla.
- Istri Kecil Sang Presdir ( season 1 )
Pernikahan karena perjodohan antara Pram dan Kailla. Rumah tangga yang diwarnai
dengan konflik ringan karena tidak hanya karakter tetapi juga umur keduanya berbeda jauh. Perjuangan Pram, sebagai seorang suami untuk meraih cinta istrinya. Rumah tangga mereka berakhir dengan keguguran Kailla.
- Istri Sang Presdir ( season 2 )
Kehadiran mama Pram yang tiba-tiba muncul, mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Konflik antara menantu dan mertua, kehadiran orang ketiga, ada banyak kehilangan yang membentuk karakter Kailla yang manja menjadi lebih dewasa. Akhir dari season 2 adalah kelahiran bayi kembar Pram dan Kailla.
Season ketiga adalah perjalanan rumah tangga Pram dan Kailla bersama kedua bayi kembar mereka. Ada orang-orang dari masa lalu yang juga ikut menguji kekuatan cinta mereka. Pram dengan dewasa dan kematangannya. Kailla dengan kemanjaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pram & Kailla 33
"Apa sakit sekali, Kai?" Pram bertanya saat melihat Kailla mengerang pelan sembari memejamkan matanya.
Pram tidak bisa tidur setelah memastikan suhu tubuh Kailla yang tiba-tiba naik dengan gumpalan dada mengeras dan bengkak.
"Apa sakit sekali, Sayang?" tanya Pram, mengompres dada Kailla.
"Rasanya panas, sakit ...." Kailla mengeluh pelan.
"Apa perlu ke rumah sakit?" tawar Pram, tidak tega melihat kondisi Kailla. Istrinya sedang menahan sakit.
"Tidak mau. Aku takut disuntik." Kailla menjawab pelan. Kedua tangannya kembali mengusap dadanya, berusaha mengurangi rasa nyeri yang enggan pergi.
"Aku serius, Kai. Aku takut terjadi sesuatu padamu." Pram berbicara sembari mengelus wajah Kailla yang terpejam dan sedikit pucat.
"Aku tidak apa-apa, Sayang. Ini seperti awal-awal aku menyusui. Aku sempat demam juga, kan? Kalau ASI-nya keluar, semua akan baik-baik saja." Kailla berkata lirih, sembari menikmati denyutan di dadanya. Usapan lembut Pram membuat rasa sakit yang dirasakan ibu si kembar sedikit berkurang.
***
Pram terbangun saat matahari sudah mulai muncul dari sisi timur. Ia tidak bisa tidur nyenyak, Kailla merintih kesakitan di dalam tidurnya. Baru beberapa jam terakhir, ia bisa merasakan istrinya mulai terlelap.
Bibir pria berusia menuju setengah abad itu melengkung ke atas saat mendapati wajah tenang Kailla. Menempelkan punggung tangannya di leher Kailla, suhu tubuh istrinya mulai turun. Tidak sepanas semalam. Wajah Pram kian cerah saat memastikan dada Kailla tidak sekencang sebelumnya.
Berjalan menuju ke arah balkon kamar, Pram mencoba menghubungi Pieter. Ia berencana tidak masuk kantor hari ini. Beberapa hari sibuk dengan pekerjaan dan urusannya, Pram mau menemani Kailla dan si kembar sepanjang hari.
Lagi pula, ia tidak akan bisa tenang meninggalkan Kailla di rumah dalam keadaan seperti ini.
"Pieter, aku tidak ke kantor hari ini. Tolong handle semuanya untukku. Kamu bisa minta bantuan Stella." Pram bicara pada gawai yang menempel rapat di telinganya. Mata pria itu menyipit saat terkena serangan matahari pagi.
"Hei, are you okay, Bro?" Pieter heran. Tidak biasanya Pram mengabaikan pekerjaan. Bahkan di saat kondisi tidak fit pun, Pram masih berangkat ke kantor. Terkadang harus menahan sakit kepala di ruang rapat. Ia sangat paham seberapa gila kerjanya seorang Reynaldi Pratama.
"Kailla sakit dan ... aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Dia sedang membutuhkanku sekarang." Pram menjelaskan.
"Ya sudah, kamu tenang saja. Aku akan mengurusnya untukmu." Pieter baru saja akan mematikan panggilan, tiba-tiba Pram bersuara.
"Pieter ...."
"Ya, ada apa?"
Ragu-ragu, tetapi Pram akhirnya mengungkapkan apa yang jadi beban di pikirannya. "Em ... aku tidak tahu hari ini Keisya ke kantor atau tidak. Tapi, kalau dia ke kantor ... tolong bantu aku mengurusnya. Dia akan magang di kantor kita."
"Baiklah, jangan khawatir. Kalau yang berurusan dengan wanita ... kamu tidak perlu meragukan kemampuanku." Pieter tergelak.
Deg --
"Jangan macam-macam. Dia bukan wanita. Dia hanya anak kecil nakal yang sulit diatur. Jangan menyentuh Keisya, atau akan berhadapan denganku. Dia masih terlalu kecil untukmu." Pram mengancam.
"Ah .... 17 tahun. Sudah bisa diajak membuat bayi." Pieter tergelak. Pembahasan mereka kali ini cukup membuat kesedihannya teralihkan. Ia baru saja patah hati setelah ditolak Naina saat family gathering di Bandung. Hari-harinya hanya diisi dengan menggoda Stella dan dengan kehadiran Keisya yang ikut bergabung setidaknya akan membuat hari-harinya lebih berwarna. Ia juga bisa menggoda gadis ingusan itu untuk mengalihkan hati terlukanya.
"Jangan macam-macam. Keisya itu sudah aku anggap putriku. Menyentuhnya berarti ... kamu tahu sendiri. Fokus pada Naina saja, dia lebih pantas untuk buaya sepertimu."
"Naina menolakku." tegas Pieter.
"Oops, buaya Austria ternyata hanyalah seekor kadal saat berada di Indonesia." Terdengar tawa Pram sebelum memutuskan panggilan.
***
"Sayang, kamu sudah bangun?" Pram bertanya saat melihat mata Kailla membuka. Ia baru saja menyibak tirai kamar dan membuka jendela dan pintu balkon lebar-lebar, mengizinkan sinar matahari pagi masuk ke dalam kamar dan memberi suasana berbeda.
"Mmm ... jam berapa sekarang? Kamu tidak ke kantor?" Kailla berusaha bangkit dari tidurnya. Pagi ini, ia terbangun dengan kondisi jauh lebih baik. Dadanya tidak terlalu sakit dan tubuhnya juga tidak sepanas semalam.
"Jam tujuh. Aku tidak ke kantor hari ini. Aku akan menemani kalian. Kamu butuh sesuatu?" tawar Pram, berdiri di samping Kailla.
Kailla menggeleng. Senyum mengembang di wajah mengantuknya, Kailla meraih tangan Pram dan menggenggamnya dengan mesra. Tak sampai di situ, tiba-tiba ia sudah melingkarkan kedua tangannya di tubuh bawah suaminya.
"Aku merindukanmu, Sayang." Kailla berbisik sembari merebahkan kepalanya di tubuh sang suami yang tengah berdiri gagah di sampingnya.
"Ya, hari ini ... aku milikmu, Nyonya. Kamu bebas memilikiku sepuasnya." Pram tergelak.
"Ah ...." desah Kailla dengan suara manja. Wajahnya menengadah ke atas, memajukan bibirnya dengan mata terpejam. Ia sedang menunggu ciuman dari Pram. Rasanya sudah lama sekali tidak mendapat ciuman hangat dari suami sempurnanya.
Perjalanan hidupnya selama menikah dengan Pram mengajarkannya banyak hal. Kehilangan orang yang disayanginya membuat Kailla jadi pribadi yang seperti sekarang. Keguguran dan harus kehilangan Daddy. Ia pernah dalam keadaan terpuruk saat diceraikan Pram. Ia jatuh bangun, merasakan bagaimana berjuang dan bertahan sendirian tanpa Pram saat dalam pelarian. Pernah merasakan saat ditinggalkan Pram koma dan belajar memimpin perusahaan. Kehadiran si kembar, buah hati yang didapatkannya dengan air mata. Semua itu membuat Kailla tersadar akan satu hal. Hidup tidak hanya seperti yang dilewatinya selama ini.
Kailla tersentak dari lamunannya saat merasakan Pram tengah mengecup bibirnya. Hangat itu menyelinap masuk ke dalam hatinya bersama rasa damai yang tiba--tiba memeluk jiwa. Tanpa ia sadari, ia kehilangan Pram beberapa hari ini. Mungkin sakitnya ini bentuk dari pemberontakan dirinya. Emosinya yang tertahan, yang tak disadarinya. Ia menerima semua kesibukan Pram, ia mencoba berdamai dengan semua termasuk konfliknya dengan Ibu Citra. Namun, tanpa disadarinya, hatinya tidak selapang itu. Ia tidak semulia itu. Kailla masih menyimpan kecewa dan sakit hatinya di sisi terdalam dirinya.
"Maafkan aku, Kai. Jangan begini lagi. Aku tidak mau ... kamu sakit." Pram berkata lembut setelah mengurai pelukannya.
"Di dalam hidupku hanya ada kamu dan anak-anakku. Melihatmu sakit, separuh dari diriku juga sakit. Kalau ada masalah ceritakan padaku. Aku tidak menyukai Kailla yang sekarang, memilih memendam semua sendiri. Aku lebih suka Kailla dulu, yang ekspresif. Yang bisa mengeluarkan semua rasanya tanpa peduli pandangan orang. Yang bisa menghancurkan seisi rumah tanpa berpikir panjang. Kailla yang tersenyum karena dia memang ingin tersenyum. Bukan Kailla yang menyimpan lukanya dengan senyuman palsu." Pram berkata sembari mendekap erat istrinya. Diusapnya pelan rambut panjang Kailla, sebelum akhirnya sebuah kecupan berlabuh di pucuk kepala sang istri.
Bunyi ketukan di pintu, menyadarkan pasangan suami istri itu.
"Bu, si kembar menangis mencari Ibu." Samar-samar terdengar suara pengasuh dari balik pintu kamar.
***
Tbc
untuk yg lain aqu sdh melimpir kak...SEMANGAT ...
membayangkan Pram kok mumet mboyong keluarga ke negri singa dan gak tau sampe kapan demi keamanan.
sat set sat set