Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Reno Mulai Ada Rasa Dengan Alice
Mobil sport Reno melaju kencang, meninggalkan area jurang dan hutan. Jalanan kini lebih lebar, sesekali berpapasan dengan mobil lain. Lampu jalan memberikan sedikit penerangan.
Clarissa masih menangis, isakannya mulai mereda. Dia memeluk buku kuno di pangkuannya. Wajahnya benar-benar pucat.
Reno menyetir dalam keheningan yang panjang, rahangnya masih mengeras. Ia melirik Clarissa sekilas, lalu kembali fokus pada jalan.
Clarissa berbisik, nyaris tak terdengar.
"Itu bukan Lilis... Itu... itu bukan rencana Dika."
Reno menghela napas panjang.
"Aku udah bilang, Lilis bukan hantu. Dia istriku."
Clarissa mengangkat wajahnya, menatap Reno dengan mata bengkak.
"Kamu lihat sendiri tadi, Ren. Sosok itu... Bukan manusia."
Reno jadi dingin.
"Dan kamu melanggar janji. Kamu bilang Lilis yang akan muncul. Kamu bilang kamu akan meyakinkanku. Sekarang, apa? Setelah semua drama histeris ini, kamu tetap mau bilang Lilis hantu?"
Clarissa jadi gelisah.
"Aku nggak tahu. Aku... aku yakin buku Dika itu benar. Pasti ada yang salah. Mungkin jurang itu bukan tempat pemutusan yang tepat."
Reno menggeleng, kecewa.
"Kamu gagal, Clarissa. Kamu gagal membuktikan apapun. Aku harus mengurus istriku yang dingin, dan aku harus mengurus mamaku yang kamu mau adu domba dia dan istriku. Kamu? Kamu justru membawa bahaya ke kita berdua. Kamu hampir mati."
Clarissa terdiam. Air matanya menetes lagi, kali ini bukan karena takut, tapi karena frustrasi dan rasa bersalah.
"Aku minta maaf, Ren. Aku... aku hanya ingin ini semua berakhir. Aku nggak bisa lihat Papih terus diserang."
Reno suaranya melunak sedikit.
"Papihmu akan baik-baik aja. Kamu, kamu harus tepati janji. Stop mengganggu kami. Stop dengan rencana-rencana gila ini. Tolong."
Clarissa hanya mengangguk pelan, air mata masih membasahi pipinya.
"Iya, Ren. Aku janji."
Mobil Reno membelok, memasuki kompleks perumahan elite yang sunyi, dihiasi lampu temaram. Mansion Clarissa dan Reno saling berhadapan, dipisahkan oleh jalan kecil.
Mobil Reno berhenti tepat di depan gerbang tinggi mansion Clarissa.
Reno mematikan mesin. Hening.
"Dah sampai."
Clarissa membuka sabuk pengaman, mengambil napas dalam-dalam.
"Thanks, Ren. Karena udah bantu aku."
Reno menatapnya lurus.
"Jaga diri, Clarissa. Dan ingat janjimu."
Clarissa mengangguk.
"Aku ingat."
Clarissa membuka pintu mobil dan keluar. Dia berdiri sejenak di depan gerbangnya yang megah, memandangi mobil Reno. Dia terlihat rapuh dan lelah.
Reno mengangguk singkat, lalu menolehkan kemudi dan menjalankan mobilnya, melaju perlahan ke seberang jalan, menuju mansionnya sendiri.
Clarissa menghela napas lega, segera menekan tombol remote gerbang dan bergegas masuk.
Mobil Reno berhenti di depan gerbang mansion Ramon.
Reno menekan tombol, gerbang terbuka, dan ia menyetir masuk.
Di balik bayangan gelap pohon mangga besar yang tumbuh di depan pagar Mansion Reno, sosok tubuh ramping terlihat.
Lilis/Alice berdiri diam, rambutnya panjang tergerai menutupi wajah. Ia mengenakan gaun malam yang indah. Cahaya temaram lampu jalan sedikit memantul pada mata Lilis, membuatnya terlihat seperti sepasang mata mengamati dalam kegelapan.
Lilis melihat mobil Reno masuk ke dalam garasi. Pandangannya tidak beralih dari mobil, lalu beralih ke pintu masuk mansion Clarissa yang baru saja tertutup.
Bibir Lilis bergerak membentuk senyum tipis, sangat dingin dan kejam.
"Kenapa nggak kamu habisi saja sekalian, Clarissa? Perangkap yang lemah. Aku bukan hantu kuntilanak jurang itu."
Lilis perlahan berbalik dan berjalan menghilang, menyatu dengan kegelapan. Aroma melati yang samar tercium sejenak, lalu lenyap ditelan malam.
Reno masuk, melemparkan kunci ke meja konsol. Dia tampak sangat lelah.
Dia mengusap wajahnya, lalu berjalan menuju tangga.
Reno berbisik pada diri sendiri.
"Semua ini harus berakhir. Aku nggak peduli lagi dia hantu atau bukan sepertinya aku mulai sayang sama Lilis, meski ini adalah pernikahan kontrak."
Reno masuk ke kamar, melepas jaket kulitnya dan melemparkannya ke kursi ottoman. Dia berjalan gontai, membuka kemejanya. Ia terlihat kacau dan tegang.
Ia menatap ke cermin kamar mandi sesaat, melihat pantulan dirinya yang penuh kekecewaan.
Ia menghela napas, berjalan ke ranjang king size dan merebahkan diri telentang, tangannya menutupi mata.
Setelah hening sesaat, pintu kamar diketuk pelan.
"Reno? Kamu sudah tidur?"
Reno menurunkan tangannya dari mata. Wajahnya bingung. Ia yakin baru saja memarkir mobil dan masuk rumah. Lilis bergerak sangat cepat.
"Belum. Masuk."
Pintu terbuka. Lilis/Alice masuk. Ia sudah berganti pakaian. Kini ia mengenakan satin robe berwarna burgundy yang mewah, rambutnya yang panjang terurai anggun. Ia membawa nampan kecil berisi secangkir teh panas dengan asap tipis mengepul dan semangkuk buah-buahan.
"Aku dengar mobilmu. Kamu pasti capek banget."
Lilis berjalan pelan dan meletakkan nampan di nakas.
"Aku bikin teh chamomile. Bisa membantu menenangkan sarafmu."
Reno bangkit, menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur. Ia memperhatikan Lilis. Cahaya lampu kamar yang temaram memantul lembut pada kulitnya yang pucat. Ia tampak... normal. Dan menawan.
"Kamu belum tidur Lis?"
"Aku terbangun saat kamu masuk. Aku khawatir."
Lilis duduk di tepi ranjang, tangannya terulur menyentuh pipi Reno. Sentuhannya dingin, namun lembut. Reno memejamkan mata sesaat, menikmati sentuhan itu.
"Aku baik-baik saja Lis. Hanya... stress."
"Karena Clarissa?"
Reno membuka mata, menatap Lilis. Ekspresinya melunak.
"Dia... dia hanya sedikit overthinking. Aku sudah menenangkannya. Dia berjanji tidak akan mengganggu kita lagi."
Lilis tersenyum tipis. Senyum yang tampak tulus, namun di mata Lilis tersirat kilatan kemenangan yang cepat menghilang.
"Baguslah. Aku hanya ingin kita tenang. Aku gak suka lihat kamu tegang."
Lilis mengambil cangkir teh, meniupnya sedikit, lalu menyodorkannya pada Reno.
"Minum ini. Setelah itu, kamu bisa istirahat."
Reno menerima teh itu, menghirup aromanya yang menenangkan.
"Ok."
Lilis mengambil buah anggur dari mangkuk. Lilis menyuapkan anggur ke mulut Reno. Perlahan, hati Reno terasa menghangat.
"Lilis..."
Reno meletakkan cangkir teh. Ia meraih tangan Lilis yang ada di pipinya, menggenggamnya. Tangan itu terasa seperti balok es, tetapi Reno tidak peduli.
"Kenapa kamu semakin perhatian sama aku?"
Lilis memiringkan kepala, tampak manis dan polos.
"Aku tahu, aku terlalu dingin sebelum pernikahan. Maafin aku, Ren. Sebenarnya... aku... Aku takut."
"Takut apa?"
"Takut mencintaimu. Kita menikah karena kontrak, dan aku takut jatuh cinta pada suami kontrakku sendiri. Tapi, setelah semua yang terjadi belakangan ini... Aku menyadari, mungkin inilah yang terbaik. Untuk kita."
Lilis memajukan wajahnya, mencium pipi Reno dengan lembut. Ciumannya dingin, tetapi panjang dan dalam. Reno membalas romantisme itu dengan intensitas yang lebih besar, memeluk pinggang Lilis erat.
"Aku... Aku nggak peduli lagi dengan kontrak. Aku nggak peduli lagi kamu yang disangka hantu atau bukan."
Reno berbisik di sela napas.
"Aku mulai menyayangimu, Lilis."
Lilis tersenyum di dalam pelukan, senyum yang dingin, namun tak terlihat oleh Reno.
"Syukurlah. Sekarang, istirahat dulu besok kerja lagi."
Lilis membaringkan Reno perlahan. Ia menarik selimut hingga ke dada Reno. Kemudian, Lilis berbaring di samping Reno, memeluk suaminya itu dari samping, meletakkan kepalanya di dada Reno.
Keheningan melingkupi mereka, hanya suara napas yang tenang. Reno memejamkan mata, merasakan kedamaian yang sangat menenangkan.
Bersambung