NovelToon NovelToon
Tak Pantaskah Aku Dicintai?

Tak Pantaskah Aku Dicintai?

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Romansa / Cintapertama
Popularitas:92
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Amara dipaksa menikah dengan Arya, pria yang ia cintai sejak kuliah. Namun, Arya, yang sudah memiliki kekasih bernama Olivia, menerima pernikahan itu hanya di bawah ancaman dan bersumpah tak akan pernah mencintai Amara.
Selama setahun, Amara hidup dalam penjara emosional, diperlakukan seperti hantu. Tepat di hari jadi pernikahan yang menyakitkan, Amara melarikan diri dan diselamatkan oleh Rendra, sahabat kecilnya yang telah lama hilang.
Di bawah bimbingan Rendra, Amara mulai menyembuhkan luka jiwanya. Ia akhirnya bertanya, "Tak pantaskah aku dicintai?" Rendra, dengan tegas, menjawab bahwa ia sangat pantas.
Sementara Amara dan Rendra menjalin hubungan yang sehat dan penuh cinta, pernikahan Arya dan Olivia justru menghadapi masalah besar akibat gaya hidup Olivia yang suka menghamburkan uang.
Pada akhirnya, Amara menemukan kebahagiaannya yang pantas bersama Rendra, sementara Arya harus menerima konsekuensi dari pilihan dan sikapnya di masa lalu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jitakan dan Janji Pembalasan

Amara terbangun di pagi hari dengan perasaan dingin yang menusuk. Cahaya pagi menyaring lembut melalui gorden mewah apartemen, menerangi kamar utama yang terasa luas, sunyi, dan mahal. Kemewahan yang dingin, bagaikan matahari di puncak musim dingin. Ia segera menyadari bahwa Arya tidak pulang semalam. Setelah berhari-hari diabaikan, ini adalah batas yang Arya lewati: pengabaian total terhadap sandiwara pernikahan mereka.

Didorong rasa penasaran dan keinginan untuk memvalidasi rasa sakitnya, Amara bangkit. Ia berjalan menuju kamar tamu. Kamar itu rapi, bersih, dan dingin, seperti tidak tersentuh sama sekali. Tidak ada jejak; tidak ada tanda-tanda kebohongan yang bisa ia gunakan untuk menyerang Arya.

"Dia benar-benar tidak pulang. Tapi ke mana? Apa lembur? Heh... tidak mungkin," kata Amara lirih, senyum sinis dan getir. Air matanya mulai menggenang. "Haah... Arya, kamu benar-benar sudah bertindak di luar batas. Bukan hanya mengabaikanku, tapi kamu juga tidak menganggap aku sebagai istrimu—istri yang sah."

Ini adalah pukulan yang lebih dalam daripada ancaman atau kebohongan. Ini adalah penghinaan terhadap statusnya dan pengkhianatan terhadap kesepakatan yang mereka buat.

Amara kemudian keluar dari kamar itu, menutup pintunya dengan keras, sebuah luapan emosi yang tidak bisa ia tahan. Ia berjalan menuruni tangga, siap untuk keluar mencari informasi tentang mitra lokal Vanguard—rencana yang kini menjadi satu-satunya pelariannya.

Saat Amara meraih gagang pintu apartemen, Arya berdiri di depan pintu, hendak membukanya.

Mereka bertatapan dalam jarak yang sangat dekat. Wajah Arya terlihat lelah, tetapi ia memancarkan kepuasan dari pertemuan semalam.

Amara menatap Arya. Air matanya hampir menetes, tetapi ia segera menahan dan melangkah mundur, membiarkan Arya masuk. Ia tidak ingin Arya melihat kelemahannya.

Setelah Arya masuk ke dalam dan meletakkan tasnya, Amara bersiap untuk keluar.

"Mau ke mana?" tanya Arya, nadanya santai, seolah baru saja kembali dari pertemuan bisnis biasa.

Amara mengusap matanya kasar, menghilangkan jejak air mata yang sempat menetes.

"Seperti biasa, kursus sebagai Nyonya Aldridge yang sempurna," kata Amara, menggunakan kata 'sempurna' sebagai sindiran tajam.

"Ya. Nikmati waktumu," kata Arya, kini menatap Amara dengan tatapan menilai, mencari tanda-tanda kelemahan setelah ia memutus komunikasi Bayu.

Amara menatap Arya, pertanyaan terbesarnya tersangkut di tenggorokan. "Kamu sendiri dari mana? Kenapa... Lupakan," kata Amara. Ia menarik kembali kata-katanya.

Bertanya hanya akan memberikan Arya kepuasan, dan membiarkan Arya tahu seberapa besar pengabaiannya menyakitinya.

Amara berbalik pergi, meninggalkan Arya yang menyeringai kecil karena kemenangan. Arya tahu, meskipun Amara tidak bertanya, ia telah berhasil menanamkan rasa sakit dan kecurigaan.

Amara masuk ke dalam lift setelah meninggalkan Arya di penthouse. Ia menekan tombol lantai dasar. Begitu pintu lift tertutup, mengisolasi dirinya dari pandangan dunia luar dan Arya, pertahanan Amara akhirnya runtuh.

Ia berjongkok di lantai lift yang dingin. Air mata yang ia tahan sejak pagi, sejak ia melihat kamar tamu yang kosong, kini perlahan turun membasahi pipinya. Ia tidak bisa lagi menahan air mata yang merupakan perpaduan antara rasa sakit, marah, dan kekecewaan yang mendalam. Amara menangis dalam diam, suara isaknya teredam oleh dinding lift.

"Ini bukan pernikahan yang aku inginkan. Bukan seperti ini harapanku," lirih Amara, suaranya tercekat.

Ia bukan hanya menangisi pengabaian atau pengkhianatan, tetapi juga menghancurkan mimpi masa lalunya.

"Keinginanku untuk bertemu dengannya lagi, setelah aku tidak melihatnya saat kelulusannya, dan menikah dengannya... itu hanya angan-angan saja," bisiknya. "Walaupun aku menikah dengannya, tapi aku tidak bisa memilikinya. Walaupun ia ada tepat di depanku."

Amara menyadari kenyataan yang paling pahit: suaminya secara fisik hadir, tetapi hatinya sepenuhnya milik wanita lain. Pernikahan yang seharusnya menjadi puncak harapannya kini menjadi kuburan bagi perasaannya. Ia telah mengorbankan harga dirinya, dan kini ia menyadari bahwa ia bahkan tidak mendapatkan janji kosong dari Arya.

Amara mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam saat lift mulai melambat, mendekati lantai dasar. Ia harus segera bangkit.

Sambil berdiri tegak, Amara memaksakan dirinya untuk mengunci kembali emosinya. Ia menyentuh wajahnya, memastikan tidak ada sisa air mata yang terlihat.

Saat pintu lift terbuka, Amara keluar dengan langkah mantap, wajahnya kembali tanpa ekspresi. Pertunjukan sebagai Nyonya Aldridge yang sempurna harus dilanjutkan, meskipun di dalam hatinya, harapan Amara telah hancur berkeping-keping.

...****************...

Di dalam penthouse, setelah Amara pergi, Arya segera meraih ponselnya. Ia berjalan menuju ruang kerjanya. Semua kehangatan dan gairah yang ia rasakan di apartemen Olivia telah lenyap, digantikan oleh fokus yang dingin dan strategis.

Arya menghubungi Marco.

"Marco, ini aku," kata Arya. "Amara baru saja keluar. Aku ingin kamu mengawasi setiap pergerakannya hari ini. Cari tahu ke mana dia pergi, siapa yang dia temui, dan apa yang dia lakukan. Pastikan dia tidak menyadari pengawasanmu."

"Siap, Tuan Arya. Kami sudah membayanginya sejak pagi," jawab Marco.

"Bagus. Fokus utamanya adalah mencari tahu siapa 'mitra lokal' Vanguard itu. Dia akan mencoba mencari tahu, dan aku perlu tahu metode apa yang dia gunakan. Jangan lewatkan detail sekecil apa pun," perintah Arya.

Setelah mengakhiri panggilan dengan Marco, Arya segera menghubungi Bayu. Ia perlu memastikan informannya yang baru direkrut itu masih berada di bawah kendalinya.

"Bayu," sapa Arya tanpa basa-basi.

"Ya, Tuan Aldridge," jawab Bayu, suaranya terdengar tegang.

"Dengarkan baik-baik. Aku ingin kamu memberitahuku jika Amara menghubungimu lagi. Apapun isinya, sekecil apapun itu, kamu harus melaporkannya kepadaku dulu. Jangan balas pesannya sampai aku mengizinkan," tegas Arya.

"Saya mengerti, Tuan. Sejauh ini, dia belum menghubungi saya lagi setelah panggilan kemarin," lapor Bayu.

"Bagus. Tetap waspada. Ingat kesepakatan kita. Jika kamu bermain jujur, Aldridge akan melindungimu. Jika kamu berani mengkhianatiku, kamu tahu akibatnya," ancam Arya, suaranya serendah silet.

"Saya... saya akan melakukan apa yang Tuan perintahkan," janji Bayu, sepenuhnya terperangkap.

Arya mengakhiri panggilan itu dengan puas. Ia kini memiliki mata di dalam dan di luar. Amara kini berada di bawah pengawasan total, dan Arya siap melihat sejauh mana Amara akan masuk ke dalam jebakannya.

Sementara itu, Amara memulai hari perburuannya dengan semangat yang membara, meskipun hatinya rapuh. Sesuai jadwal Nyonya Aldridge yang sempurna, pagi harinya diisi dengan pertemuan dengan perwakilan yayasan charity di beberapa lokasi berbeda di pusat kota.

Ia sengaja memanfaatkan setiap perpindahan tempat untuk melakukan "penyelidikan" sambil menjaga sandiwara perannya. Amara mengamati setiap wajah baru, setiap kartu nama yang ia terima, dan setiap percakapan yang ia dengar, mencari petunjuk, desas-desus, atau bahkan nama aneh yang mungkin terhubung dengan "mitra lokal" Vanguard.

Namun, hasilnya nihil.

Dua jam berlalu, dan Amara sudah bergerak ke tiga lokasi berbeda. Ia menjadi kesana kemari, berpindah dari lobi hotel mewah ke aula yayasan yang sunyi, dari satu perkenalan basa-basi ke perkenalan basa-basi lainnya.

"Mitra lokal itu pasti sangat tersembunyi," gumam Amara dalam hati, sambil tersenyum ramah kepada seorang socialite yang baru saja dikenalnya.

Setiap orang yang ia temui tampak murni, hanya tertarik pada amal atau status sosial. Tidak ada yang terlihat seperti makelar rahasia konsorsium Eropa.

Di balik keramaian, tim Marco terus mengawasi.

"Dia bergerak cepat, Tuan. Tapi pergerakannya sesuai jadwal yang kami dapat dari Anda." lapor Marco kepada Arya melalui saluran aman.

"Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Arya.

"Dia hanya bersosialisasi dan bertukar kartu nama. Dia terlihat sangat ramah dan profesional, Tuan. Dia tidak menggunakan ponsel keduanya, dan tidak mencoba melakukan kontak yang mencurigakan," jawab Marco.

Arya menyeringai. "Tentu saja. Dia sedang memburu hantu yang aku ciptakan. Terus awasi dia. Dia akan mulai mencari celah lain jika cara ini tidak berhasil."

Amara tidak tahu bahwa waktu yang ia habiskan untuk berpura-pura menjadi Nyonya Aldridge yang sempurna, sebenarnya hanya membantunya mengulur waktu dan menjauhkannya dari jejak yang benar. Kepercayaan pada informasi palsu Bayu telah menyia-nyiakan dua jam pertamanya, dan ia semakin jauh dari kebenaran.

Pertemuan hari itu berakhir. Amara merasa frustrasi karena perburuannya sia-sia. Setelah berjam-jam mempertahankan senyum palsu dan mencari petunjuk yang tidak ada, ia memutuskan untuk pulang ke apartemennya.

Sesampainya di apartemen, ia masuk dengan wajah yang tertunduk dan lelah. Energinya terkuras habis, bukan oleh kursus, melainkan oleh perannya sebagai mata-mata dan rasa sakit emosional yang ia rasakan.

Arya sedang duduk di ruang tengah, tenggelam dalam laptopnya, tetapi ia segera menyadari kedatangan Amara. Ia menutup laptopnya dan bangkit, berjalan menghampiri Amara.

Tepat saat Arya mendekat, Amara yang sedang berjalan dengan kepala tertunduk, tanpa sengaja menabrak dada bidang Arya.

Amara terkejut. Sentuhan fisik yang tak terduga itu terasa seperti sengatan listrik. Ia mendongak, matanya yang lelah bertemu dengan tatapan Arya. Ia segera mundur perlahan.

"Hm..." kata Arya, suaranya pelan. Ia memindai wajah Amara, memperhatikan kelelahan dan gurat kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.

Arya mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekatkan wajahnya ke wajah Amara. Kedekatan yang intim itu membuat Amara panik. Ia mundur lagi, jantungnya berdebar kencang karena kaget dan marah.

Arya tersenyum tipis, menikmati reaksinya.

"Heh... Bagaimana kursusmu hari ini?" tanya Arya, nadanya ironis, seolah ia benar-benar peduli.

"Bukan urusanmu," jawab Amara, suaranya tajam dan tertahan. Ia tidak akan memberinya kepuasan dengan bertanya tentang kepergiannya semalam.

"Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi," kata Arya, menyingkir dari hadapan Amara. Ia berbalik pergi, kembali menuju sofa dan membuka laptopnya. Ia telah berhasil memprovokasi Amara dan melihat kerentanan yang ia inginkan.

Amara memejamkan mata sejenak, menenangkan diri dari lonjakan adrenalin itu. Ia berjalan cepat menuju kamar utama. Ia tahu Arya sedang mengujinya, dan ia harus segera memulihkan diri untuk perang yang akan datang.

...***...

Malam hari, Amara keluar dari kamarnya. Rasa lapar membuatnya harus turun ke dapur untuk membuat makan malam. Saat ia melewati ruang tengah, ia kemudian berhenti dan berbalik. Ia melihat Arya yang tertidur pulas di sofa, dengan laptop yang masih terbuka di atas meja.

Amara berjalan perlahan mendekatinya. Ia melihat wajah terlelap Arya—wajah yang tampan, wajah dari pria yang ia harapkan bertahun-tahun lalu. Dalam keheningan itu, sejenak kebenciannya luntur.

Amara mencondongkan tubuhnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Arya, merasakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya perlakuan Arya selama ini.

Saat tangannya mulai mendekati wajah Arya, ia terhenti. Kenangan tentang ia menghianati pernikahan, ancaman kepada Ayahnya, dan rasa sakit yang ia rasakan di lift pagi tadi kembali menyeruak. Ia segera menarik tangannya lagi.

"Ah, lupakan," kata Amara berbisik dan berbalik. Ia kemudian melangkah ke arah dapur.

Tiba-tiba, ingatan tentang apa yang telah dilakukan Arya—pengabaian total dan keberaniannya tidak pulang—terlintas di pikirannya. Semua amarah dan kekecewaan yang ia tahan meledak.

Amara kemudian berbalik dan menatap Arya dengan marah dan kesal. Ia melangkah mendekati Arya, mengabaikan naluri hati-hatinya.

Dengan cepat, Amara menjitak kepala Arya. "Plak!"

Arya tersentak kaget dan seketika membuka matanya.

Amara ikut terkejut karena Arya terbangun. Ia berbalik cepat hendak melarikan diri, tetapi saat Amara melangkah, Arya dengan cepat menangkap tangannya.

Arya menarik Amara kuat-kuat. Tubuh Amara terhuyung dan terjatuh di atas sofa, dengan Arya kini berada di atasnya. Arya mencengkeram salah satu tangan Amara, menahannya kuat-kuat di atas kepala Amara, matanya dipenuhi amarah yang membara.

"Apa yang kamu lakukan?!" kata Arya, suaranya rendah dan mengancam.

"A... aku tidak sengaja! A... ada nyamuk!" kata Amara, panik. Kebohongan konyol itu keluar secara otomatis.

Arya mengernyit, memindai wajah Amara yang ketakutan dan penuh kebohongan. Ia tahu Amara tidak sengaja, tetapi ia juga melihat gairah dan amarah di mata wanita itu.

Dengan desahan frustrasi, Arya melepaskan cengkeramannya dan bangkit. Ia mengambil laptopnya, mengabaikan Amara yang masih terbaring kaget di sofa, dan meninggalkan ruang tengah tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ia kembali mengurung diri di kamar tamunya, meninggalkan Amara dengan detak jantung yang liar.

Amara mengatur napasnya. Jantungnya masih berdebar kencang akibat insiden yang baru saja terjadi.

Bahaya! Ah, apa yang kulakukan! kata Amara dalam hati, merasa bodoh dan ceroboh. Ia seharusnya mempertahankan kendali dirinya, bukan malah melampiaskan amarahnya dengan cara yang kekanak-kanakan dan berbahaya.

Ia menyadari bahwa tindakan impulsif itu hampir menghancurkan pertahanan dirinya, dan ia telah memberikan Arya kesempatan untuk memegang kendali fisik atas dirinya. Amara bangkit dari sofa, tangannya masih terasa nyeri di tempat Arya mencengkeramnya.

Ia harus kembali ke rencana: kesempurnaan dan pencarian mitra lokal. Tidak boleh ada lagi emosi atau agresi yang tidak perlu.

Di dalam kamar tamunya, Arya berdiri di depan cermin. Ia memiringkan kepalanya sedikit, melihat keningnya yang mulai memerah akibat jitakan Amara.

"Nyamuk? Nyamuk apaan sampai seperti ini? Mana ada nyamuk di apartemen ini," gerutu Arya, rasa marahnya kembali memuncak. Amara tidak hanya melawannya, tetapi juga berbohong dengan cara yang konyol.

"Ck, sialan Amara. Lihat saja, aku akan membalasnya," kata Arya, menatap pantulannya dengan mata tajam. Ia tidak akan membiarkan Amara lolos dengan mudah setelah menyerangnya secara fisik. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa balasan atas jitakan itu akan jauh lebih menyakitkan daripada sekadar rasa sakit fisik.

Ia kembali menyalakan laptopnya. Balasan terbaik adalah dengan memperketat jebakannya dan membuat Amara semakin putus asa dalam perburuannya.

Bersambung......

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!