"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak Darah di Bawah Pohon Ceri
Kematian Jeong Hayeon—seperti penghapus raksasa yang menghapus semua jejaknya dari kehidupan Jin Seung Jo.
Para pelayan, dengan wajah tanpa ekspresi, membersihkan sisa-sisa darah di dapur, mengganti seprai di kamar yang kini terasa asing, dan menyingkirkan setiap benda yang pernah disentuhnya. Namun, ingatan—ah, ingatan itu tak bisa mereka hapus.
Seung Jo berusaha kembali ke rutinitasnya, mengadakan rapat, mengawasi bisnis gelapnya... bahkan bertemu dengan orang-orang yang ingin berkolaborasi. Tapi semua itu terasa seperti sandiwara—seolah dia hanya aktor dalam drama yang tak ada maknanya. Dia mendengar suara-suara, tapi yang terngiang di telinganya hanyalah suara Hayeon yang bergetar, "Terima... kasih..." Melihat dokumen di mejanya, bayangan genangan darah di dapur seolah menari-nari di depan matanya.
Suatu malam, terbangun dari mimpi buruk yang mencekam. Dalam mimpi itu, Hayeon berdiri di bawah pohon ceri, gaun putihnya bergetar lembut, tangannya terulur memegang seikat stroberi yang perlahan-lahan berubah menjadi darah. Dia tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan dan kekecewaan—seolah menuntut jawaban.
Keringat dingin membasahi tubuhnya saat terbangun, jantungnya berdebar seakan ingin melompat keluar. Tidak mungkin dia bisa tinggal di mansion ini lagi. Dengan cepat, dia mengenakan jaket dan mengemudikan mobilnya menuju bukit tempat Hayeon beristirahat.
Bulan purnama memancarkan cahaya keperakan, menerangi bukit yang sepi. Pohon ceri itu tampak seperti hantu anggun, daun-daunnya berkilau dalam cahaya bulan. Dua gundukan tanah di bawahnya, kini lebih nyata dalam kegelapan, seolah memanggilnya.
Dia berdiri di depan nisan, tangan terkepal di saku jaket. Udara malam yang dingin menusuk tulangnya—tapi tak ada yang lebih membekukan daripada rasa hampa di dadanya. "Aku..." Suaranya tercekat, terjebak di tenggorokan. Apa yang bisa dia katakan? Permintaan maaf terasa seperti penghinaan bagi yang telah pergi. Janji untuk berubah? Ah, itu hanya lelucon pahit.
Kata-kata Hayeon sebelum pergi—"Terima kasih"—seperti kutukan yang tak pernah padam. Dia telah membebaskannya dari penderitaan, dan untuk itu, Hayeon berterima kasih. Ironi yang menyakitkan ini membuatnya ingin berteriak.
Dia terjatuh berlutut di depan makam, tangannya menekan tanah dingin. "Aku tidak... Aku tidak berniat..." Tapi dia tahu itu kebohongan. Niatnya mungkin tak persis seperti ini, namun tindakannya—kekejamannya, amarahnya—semuanya mengarah pada akhir ini.
Dia membayangkan kehidupan yang berbeda, jika saja dia tidak membunuh orang tuanya. Jika dia membiarkan Hayeon hidup damai di Jeju. Atau bahkan, jika setelah mengetahui keberadaannya, dia memilih untuk melindunginya, bukan menyiksanya. Mungkin anak itu akan lahir. Mungkin ada tawa di mansion yang sunyi ini.
Namun semua "mungkin" itu sudah hancur, seperti pecahan gelas di lantai dapur, seperti tubuh rapuh Hayeon yang terbaring tak bernyawa.
Dia duduk di sana sepanjang malam, ditemani bulan dan bayang-bayang pohon ceri. Saat fajar mulai menyingsing, menyapu kegelapan dengan cahaya keemasan, dia masih di sana.
Dia tahu dia harus kembali—kembali ke dunia yang penuh kekerasan dan intrik. Tapi sesuatu dalam dirinya telah berubah selamanya. Dendamnya terhadap ayah Hayeon kini terasa seperti permainan anak-anak yang konyol.
Dia berdiri, tubuhnya kaku dan dingin. Menatap nisan itu untuk terakhir kalinya, lalu berbalik dan pergi.
Tapi kali ini, dia tidak meninggalkan kesedihannya di bukit itu. Dia membawanya pulang—sebuah beban yang akan dia pikul seumur hidup. Mansion megah itu kini bukan lagi simbol kekuasaannya, melainkan penjara bagi jiwanya yang tersiksa. Jin Seung Jo, pria yang ditakuti banyak orang, kini menjadi tawanan dari hantu-hantu yang dia ciptakan sendiri.
Di bukit itu, di bawah pohon ceri, hanya ada dua gundukan tanah dan keheningan abadi. Namun di dunia orang hidup, badai diam mulai berputar dalam hati seorang pria yang kehilangan segalanya sebelum menyadari apa yang sebenarnya dia miliki...