Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.
Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.
Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.
Media menjulukinya: "Sang Hakim".
Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.
Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.
Kini, perburuan ini menjadi personal.
Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1
Jakarta sore itu serasa panggangan besi. Matahari di langit butek oleh polusi seolah ingin melelehkan segalanya. Aspal pun terasa lembek di bawah sol sepatu.
Udara terasa berat dan lengket, penuh campuran aroma khas ibukota. Ada bau solar tajam dari Kopaja. Ada wangi legit martabak di wajan panas. Diselingi anyir samar dari got yang tersumbat.
Di antara gedung-gedung tua kolonial yang catnya mengelupas, kabel listrik menjuntai kusut. Seperti jaring laba-laba raksasa, menjerat kota dalam kekacauannya sendiri.
Klakson bersahutan, pedagang asongan berteriak, deru mesin tak pernah tidur. Di tengah kebisingan parau itu, sebuah anomali terselip di Tanah Abang. Gang Mawar.
Di ujung gang, tersembunyi dari jalan utama, berdiri sesuatu yang rasanya mustahil ada di sana: Yayasan Cahaya Jalan Kembali.
Bangunan itu bekas gudang tekstil yang disulap jadi tempat perlindungan. Dindingnya dicat biru muda menenangkan, walau beberapa sisi ternoda coretan kapur tangan-tangan mungil. Halamannya yang dulu beton retak, kini ditutup karpet rumput sintetis usang, dihiasi ayunan dan perosotan kayu bekas.
Di sinilah anak-anak yang dilupakan kota berkumpul. Sepatu mereka mungkin bolong, kaus mereka mungkin compang-camping, tapi di halaman ini tawa mereka terdengar lepas dan nyata.
Dan di tengah riuh tawa itu, duduk di bangku kayu lapuk, seorang pria lima puluh delapan tahun sedang melakukan tindakan yang khusyuk.
Lukas Santoso.
Tubuhnya masih menyisakan jejak kehidupan lama. Bahu lebar dan kokoh, lengan tebal berurat, dibungkus kulit gelap bertato naga yang memudar. Lengan itu, dulu, adalah lengan yang ditakuti di pasar gelap Tanah Abang.
Tangan itu juga yang pernah mencengkeram kerah orang, membenturkannya ke dinding. Semua hanya karena utang lima ratus ribu perak.
Dulu, ia Si Macan. Nama yang diucapkan berbisik, legenda jalanan yang tatapannya cukup untuk membuat nyali ciut.
Kini, tangannya yang kasar dan kapalan itu tengah sabar mengikat simpul ganda tali sepatu seorang bocah kurus berusia tujuh tahun. Ia bisa merasakan rapuhnya tulang pergelangan kaki anak itu di antara jemarinya yang besar. Sebuah kepolosan yang asing dan berharga.
Kapan terakhir kali aku menyentuh orang tanpa niat menyakiti? batinnya. Mungkin baru lima tahun ini.
"Sudah, Nak," kata Lukas, suaranya yang dalam dan berat kini lembut. Ia menepuk pelan bahu si anak. "Lain kali, kalau lari-lari, lihat jalan. Jangan lihat langit terus, nanti jatuh lagi."
Anak itu menyeringai, giginya ompong, lalu melesat kembali ke lapangan, bergabung dengan teman-temannya menendang bola dari gulungan kain perca.
Lukas menghela napas, senyum tipis yang tulus tersungging. Di sini, ia bukan Si Macan. Ia hanyalah Pak Lukas. Pria tua yang memastikan ada bubur kacang hijau hangat setiap pagi, yang mengajari mereka mengeja "i-b-u", dan yang terkadang menangis diam-diam saat mendengar cerita hidup mereka yang sudah lebih keras dari baja bahkan sebelum genap berusia sepuluh tahun.
Ia berdiri, sendi-sendi lututnya sedikit berderit, pengingat dari perkelahian lama di atas kontainer pelabuhan. Ia berjalan ke arah dapur, tempat Bu Ijah, janda muda yang ia pekerjakan untuk memasak, sedang sibuk.
"Nasi dan ayam kecapnya sudah hampir siap, Pak," kata Bu Ijah sambil tersenyum. "Anak-anak sudah lapar sepertinya."
"Terima kasih, Jah. Kau memang bisa diandalkan," balas Lukas. Saat ia hendak membantu menyiapkan piring, seorang anak perempuan kecil berlari menghampirinya, menarik-narik ujung kemejanya.
"Pak Lukas! Pak Lukas!"
"Iya, Mentari? Ada apa?"
"Tadi, waktu aku beli es di depan gang, ada orang nanya soal Bapak."
Senyum Lukas sedikit memudar. "Orang? Orang kayak apa?"
"Bapak-bapak sudah tua. Pakai sorban putih. Jenggotnya juga putih. Dia tanya, 'Ini benar tempatnya Si Macan, kan?' Aku bilang aku nggak kenal Si Macan, kenalnya Pak Lukas. Terus dia senyum, bilang dulu kenal Bapak di pasar."
Darah Lukas seolah mendingin. Pasar. Sorban putih. Dua kata itu menghantamnya, menariknya keluar dari dapur yang nyaman. Tiba-tiba, bukan lagi wangi ayam kecap yang ia cium, tapi bau keringat, kain, dan buah busuk. Panas Tanah Abang kembali membakar kulitnya.
Di pelupuk matanya, ia melihat lagi pedagang tua bersorban putih itu bersimpuh, memohon penundaan uang keamanan. Ia merasakan lagi dinginnya pipa besi di genggamannya. Ia tak ingat wajahnya, tapi ia takkan pernah lupa suara tulang bertemu logam, dan jeritan yang perlahan redup...
"Pak Lukas?" Suara Mentari menariknya kembali.
Lukas mengerjap, mengusir hantu itu. Ia memaksakan senyum. "Oh... mungkin dia salah orang, Nak. Sudah, ayo, sebentar lagi makan malam."
Anak itu mengangguk polos, lalu berlari pergi. Tapi rasa dingin itu tetap menjalar di perut Lukas. Gema dari masa lalunya, frekuensi yang ia kira sudah lama mati, kini bergetar lagi.
Malam harinya, setelah semua anak pergi, yayasan menjadi sunyi. Lukas telah mengunci gerbang utama dengan tiga gembok besar. Ia berjalan di koridor remang, diterangi satu lampu neon yang berkedip-kedip. Ritual terakhirnya: kapel.
Itu bukan kapel megah. Hanya bekas gudang di ujung lorong, dindingnya dicat putih, dengan beberapa bangku kayu dan salib sederhana. Di sini, Lukas merasa bisa berbicara dengan Tuhan tanpa perlu berteriak di antara dosa-dosaNYA.
Ia duduk di bangku depan. Dari sakunya, ia mengeluarkan rosario kayu zaitun, hadiah Pastor Antonius lima tahun lalu. Jemarinya yang kasar menelusuri setiap manik, bibirnya menggumamkan doa.
Saat itulah ponsel tuanya bergetar.
Ia mengeluarkannya, mengira itu dari Bu Ijah. Tetapi di layar, tertera pesan dari nomor tak dikenal.
Penebusanmu diterima. Datanglah ke altar malam ini untuk menerima hukuman terakhirmu.
Lukas mengerutkan kening. Membacanya ulang. Apa-apaan ini? Ia mencoba tertawa, berpikir ini lelucon kejam dari preman tua. Tapi tawa itu tidak sampai ke matanya.
Ia mengetik balasan dengan jempolnya yang besar:
Siapa ini? Gak lucu.
Ia menekan kirim. Tak ada jawaban. Ia coba menelepon; nada sibuk singkat, lalu putus. Nomor virtual. Nomor hantu.
Rasa dingin di perutnya kembali dengan kekuatan penuh. Ia berdiri, mengunci gerendel besi kapel dari dalam. Ia memeriksa jendela-jendela. Tertutup. Ia sendirian. Aman.
Ia kembali ke altar, mencoba melanjutkan doanya. Tapi kata-kata itu kini terasa hampa. Pikirannya terus kembali ke pesan itu. Hukuman terakhirmu.
Tiba-tiba, di tengah keheningan pekat, sebuah suara memecahnya.
Langkah kaki.
Terdengar dari luar, di koridor.
Tok... tok... tok...
Bukan langkah tergesa-gesa. Bukan langkah mengendap-endap. Tapi tenang, mantap, berirama. Langkah sepatu kulit mahal di atas semen retak. Suara yang sama sekali tidak pada tempatnya.
Lukas membeku. Insting lamanya berteriak. Ada yang masuk. Itu bukan langkah Bu Ijah. Terlalu berat.
"Siapa di luar?" serunya, serak.
Tidak ada jawaban. Langkah kaki itu terus mendekat. Tenang, mantap. Sialan. Langkah orang yang tidak takut ketahuan.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu kapel.
Lukas menahan napas, menatap pintu kayu itu. Punggungnya merapat ke altar. Terkunci. Ia tahu pintu itu terkunci. Ia sendiri yang menggerendelnya dari dalam.
Lalu, sebuah suara yang membuat darahnya membeku.
Klik.
Mata Lukas terpaku pada pintu. Pada gerendel besi di sisi dalam.
Gerendel itu...
...perlahan bergeser terbuka.
Bergerak sendiri. Tanpa suara. Seolah didorong tangan tak terlihat.
Mustahil, batinnya.
Pintu berderit terbuka.
Cahaya remang koridor menyusup, membentuk siluet pria tinggi di ambang pintu. Ia memakai setelan jas hitam yang dijahit sempurna, rambutnya tersisir rapi ke belakang. Wajahnya tenang, nyaris seperti pendeta, tapi matanya tajam dan dingin seolah mampu menembus daging dan menatap langsung jiwa Lukas yang penuh noda.
Pria itu tersenyum. Tipis sekali. Seperti senyum dokter yang hendak menyampaikan kabar buruk dengan sopan, sopan yang membekukan.
Lukas tidak bisa bergerak. Mustahil. Tidak ada yang bisa membuka pintu itu. Di benaknya, bukan lagi takut, tapi rasa familier yang aneh dan mengerikan. Seolah, jauh di lubuk hatinya, ia tahu hari ini akan tiba.
"Siapa kau?" bisik Lukas, suaranya nyaris tidak terdengar.
Pria itu melangkah masuk, pintu di belakangnya menutup dengan sendirinya. "Hanya seorang utusan," katanya, suara rendah dan dalam, seperti lantunan doa. "Membawa pesan yang sudah lama tertunda."
Ia berhenti beberapa langkah di depan Lukas, tatapannya tak berkedip.
"Sudah siap untuk penghakimanmu, Saudara Lukas?"