tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kejadian tidak masuk akal
Neneknya Ayu benar-benar mati ditangan seorang gadis tanpa ilmu beladiri dan oleh senjatanya sendiri, Wuni adalah pengobat, dia terdidik untuk menyelamatkan nyawa bukan menghilangkan nyawa, Tubuhnya gemetar kemudian dia terduduk, dia tidak tahu harus apa, dia juga belum meneliti racun katak dara dengan benar, Wuni tidak pernah berpikir untuk menggunakannya.
Ular raksasa itu mangap tapi aku benar-benar tanpa kemampuan untuk membacok, hatiku mengecil seketika, kenapa aku harus dipertemukan dengan ular,
detik berlalu, kami masing-masing sama-sama tidak bergerak, mulut besar itu masih terbuka, tanganku yang gemetar masih membawa celurit tanpa tenaga, aku sudah hampir di titik pasrah, tapi tidak terjadi apapun kemudian, kami sama-sama membeku.
aku takut padanya, tapi hewan besar itu tidak menyerangku, pandangan matanya melunak, aku melihat sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya, kemudian lidahnya terjulur dan aku kembali menjerit ketakutan ketika tubuh kami saling bersenggolan, aku bisa merasakan tubuh empuk berwarna coklat dengan hiasan kuning dengan kekuatan besar, aku sangat jijik.
Satu-satunya yang aneh selain keringat dingin yang membasahi tubuhku itu adalah ular kembang itu benar-benar tidak ada maksud untuk menelanku, ular itu berdiri mematung sambil melihat gerak-geriku.
tapi ketakutanku mengalahkan segalanya, aku mundur dengan cara merangkak dan menjaga jarak, sampai aku dan Wuni bertabrakan.
" kak aku membunuh nenek itu " sebelum aku berkata apapun anak itu melapor dengan gemetaran.
aku melihat mayat nenek itu, ahhh tragis sekali, darah menggenang dan terus keluar dari panca inderanya, aku dan Wuni sama sama berada di tanah terkena trauma, Wuni trauma sudah membunuh orang, aku trauma kulitku bersentuhan dengan ular besar.
" kak apa ular itu sudah kau bunuh ?" Tanya Wuni di sela gemetar tubuhnya, di tidak melihat sekeliling pikirannya fokus kepada kematian nenek Wulan.
" lihatlah " kataku sambil mengarahkan telunjuk kepada ular besar itu, ular itu terdiam sambil memandangi kami, kembali Wuni menjerit histeris,
" kak " hanya itu yang mampu Wuni katakan,
" selama dia tidak melakukan apapun biarkan saja, aku phobia ular " kataku menjelaskan, kemudian perhatianku teralihkan kepada Pradaba yang sepertinya tidak bisa lagi bertahan melawan kakek Ayu, aku bangkit mungkin aku lebih baik melawan kakek Ayu yang sakti dari pada melawan ular besar.
aku berjalan menyongsong membantu Pradaba, tentu saja sambil melirik ular besar itu, dia terus saja menatapku, apakah mungkin dia sedang menargetkanku.
Kakek Ayu mempunyai senjata aneh, sebuah cemeti dengan kerah di ujungnya, rupanya kerah ini lah yang membuat pradaba terluka Malang melintang hampir di sekujur tubuhnya, kasihan sekali.
Cemeti dan celurit bertemu, kami berdua terpental bersamaan, terjatuh jauh ke belakang, baik celurit maupun cemeti sama-sama liat, kakek Ayu sedikit terkejut.
" Kau gadis iblis " katanya, aku tidak keberatan dipanggil seperti itu, segera kakek bangun dan mengarahkan cemetinya kepadaku, senjata ini ternyata merepotkan, ketika aku berfokus pada ujung karah cemeti maka bagian tengah akan memukulku dengan telak, begitu aku fokus ke pangkal cemeti maka kerah tajam itu akan mengejarku kemudian merobek kulitku.
" Kau sudah babak belur ki Gedhe dihajar cambuk " kataku sambil tertawa mengejek Pradaba, anak itu tidak menanggapiku wajahnya merah padam.
" bahkan delapan puluh tahun lagi kalian tidak bisa melawanku, bocah ingusan " kata kakek Ayu.
" jadi kakek mau kami bagaimana, apa kita teruskan ini depalan puluh tahun lagi saja ? " kataku menggodanya, kakek Ayu marah cemetinya semakin liar berusaha menjangkau kami berdua,
" diam kau iblis betina " katanya membentak.
aku berusaha menguras tenaganya, tentu saja kalau kami mampu bertahan pada akhirnya nafas orang tua akan lebih pendek dari kami orang-orang yang lebih muda ini adalah strategi mengulur waktu, apalagi kakek Ayu sedang marah, tentu saja walau kakek Ayu berusaha sekuat tenaga membunuh kami, pada awalnya aku tidak punya niat sama sekali membunuh kakek keras kepala ini.
masalahnya adalah selain lincah kakek Ayu ternyata mempunyai ilmu kebal, beberapa kali pedang pradaba dan celuritku mengenai dengan telak tapi kulit kakek Ayu bahkan tidak tergores, ini benar-benar bukan main-main, sampai beberapa saat tubuhku sakit semua, Linu dan perih dengan luka sabetan yang meninggalkan perih, aku mulai putus asa, berusaha menjelajahi bagian tubuh kakek yang kemungkinan bisa tertembus tapi nihil, ketika celuritku mengenai tubuhnya akan berbunyi seperti dentuman bertemu dengan besi.
Guru pernah berkata bahwa ada salah satu ilmu kebal yang mempunyai kelemahan tanah, Kakek Ayu mmberhasil menyabetkan cemetinya, ujung kerah mengejarku dan merobek betisku, aku berusaha memegang cemeti itu dan mengerahkan tenaga dalamku, cemeti terpegang, tapi kemudian cemeti itu menjadi sepanas bara api, disaat yang bersamaan Pradaba menebaskan pedangnya secara vertikal dari belakang.
" duammmmmm " bunyi nyaring terdengar, kakek menoleh ke arah Pradaba, bersamaan dengan itu aku melepaskan cemeti yang sepanas bara itu, tanganku melepuh seketika, kakek tidak siap dan oleng kemudian segera bangkit dan menuju Pradaba, aku memanfaatkan waktu untuk mengoleskan celuritku dengan tanah, aku penuh harap.
Pradaba memuntahkan darah dari mulutnya, kakek Ayu mengerahkan tenaga dalamnya untuk membunuh Pradaba, aku segera maju dan mengangkat celuritku.
" mateh ... " kataku dengan keras berharap perhatian kakek Ayu beralih kepadaku,
aku mengincar kepala, dan ..... dukkkk.
senjataku telak mengenai kepala kakek Ayu, tapi jangankan terluka, tergores saja kulitnya tidak, aku mundur dan bersiap, kakek Ayu terlihat marah, matanya seperti ingin menerkamku, kemudian dengan sekali sabet tangaku terasa seperti terbakar, celuritku terlepas dari tangan kananku, aku berusaha mundur kemudian cemeti itu bergerak dengan cepat sekali dan membelit leherku, aku panik dan berusaha melepaskanya, ini tidak baik.
disaat yang bersamaan Pradaba dan Lakso bergerak untuk membantuku, dengan sekali hantam lakso jatuh terkapar, sedangkan kaki kakek menghantam perut pradaba dan anak itu terjatuh seketika.
Oksigen yang kudapat seketika habis aku berusaha meraih apapun untuk kupegang.
Tapi sesuatu yang sangat mengerikan terjadi tepat di depan wajahku, saat aku sedang berjuang untuk mendapatkan nafasku, tiba-tiba aku melihat hewan raksasa itu bergerak lebih cepat dari apapun, membelit kakek Ayu, dengan kilat dan yang lebih mengerikan dari itu adalah kakek Ayu ditelan bulat-bulat oleh ular raksasa itu, aku berteriak dengan teriakan yang tidak pernah mereka saksikan sebelumnya.
Lakso menyambarku untuk mundur dari sana, kemudian memeluku.
" tanang ular itu sudah makan, dia tidak akan mengincar kita lagi " kata Lakso menghiburku, aku membenamkan kepalaku di dadanya berusaha mengatur nafasku, aku benar-benar sudah menyaksikan hal yang paling mengerikan dalam hidup.
Ular itu seketika mengembung perutnya berisi manusia, kami sedikit berjauhan, beberapa lama kemudian aku mulai tenang, Wuni mengecek keadaan Pradaba anak itu luka dalamnya cukup parah, Wuni memberikan obat penguat, Ayu tergeletak pingsan, sedangkan Aku masih dipeluk Lakso dan berusaha bersembunyi dari mahluk itu.