“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”
Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.
Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 – Perang Dingin di Atas Kasur
Kamar itu hening, hanya lampu tidur berbentuk bulan sabit yang menyala redup. Di atas kasur ukuran king, sudah ada bantal guling yang ditata memanjang di tengah, jadi pembatas antara Arman dan Widya.
Arman berbaring miring, menatap plafon kamar. “Besok aku beli kasur lipat. Aku tidur di bawah aja. Aman, nggak ada drama.” ucap Arman.
Widya yang sibuk memainkan ponsel hanya mendengus. “Terserah. Kamu pikir aku peduli?”
Arman melirik, wajahnya kesal. “Ya jelas aku yang peduli. Aku bukan tipe cowok yang bisa tidur nyenyak dengan istri pura-pura di sebelah.”
Widya menutup ponsel, menoleh dengan tatapan sinis. “Kalau gitu gampang. Kita pisah kamar aja. Kamu tidur di kamar tamu, aku tetap disini.”
Arman langsung duduk, menatap Widya dengan mata melotot. “Kamu pikir gampang? Kalau tiba-tiba keluarga datang tengah malam, atau kakek ngecek? Mereka bakal curiga. Gimana kalau mereka lihat kita tidur di kamar terpisah? Habis kita.”
Widya ikut duduk, menyilangkan tangan di depan dada. “Ya udah, biar aja mereka tahu kenyataan pahitnya. Pernikahan ini kan cuma sandiwara. Kenapa harus repot-repot?”
Arman mengusap wajah, nada suaranya mulai meninggi. “Widya, denger. Aku nggak mau bikin kakekku kecewa. Dia udah percaya banget sama perjanjian konyol ini. Kalau sampai ketahuan kita nggak bener, bisa panjang urusannya. Lagian bukannya tadi pas makan malam, sandiwara kita udah manis?”
Widya terdiam.
“Kamu takut bikin kakek kecewa, tapi nggak takut bikin kekasihmu, si Priya itu, sakit hati ya? Pasti dari kemarin, dia nangis bombay.”
Arman terdiam sepersekian detik, lalu mendengus. “Itu urusanku. Jangan bawa-bawa Priya.”
Widya mendengus lebih keras. “Loh, kamu yang mulai ngomong soal drama keluarga. Aku kan cuma balikin omongan kamu.”
Mereka berdua sama-sama terdiam. Hanya suara deru pendingin udara dan jam dinding yang berdetak.
Beberapa menit kemudian, Arman rebahan lagi, menarik selimut setengah dada. “Intinya gini. Kita tetap satu kamar, demi keluarga. Tapi aku bakal tidur di bawah pakai kasur lipat. Titik.”
Widya ikut rebahan, membelakangi Arman. “Silakan. Selama kamu nggak bikin ribut, aku aman.”
Tapi bukannya tidur, mereka malah terus saling sindir.
“Ngorok nggak kamu? Jangan kayak tadi malam.” tanya Widya tiba-tiba.
“Enggak. Kamu aja yang salah denger, dan yang pasti, kamu yang ngiler,” balas Arman cepat.
Widya mendecak. “Halah, sok suci. Dari kecil kamu kalau tidur suka nendang tembok. Ibu kamu kan sering bongkar aibmu ke mamaku.”
“Sekarang aku udah gede. Nggak kayak kamu yang masih lasak kayak bocah.”
“Bocah-bocah, tapi udah kamu nikahi juga.” balas Widya.
Arman diam, lalu menutup mata, setelahnya menarik napas dalam. “Astaga, gimana aku bisa tidur kalau sebelahku ada radio rusak yang nggak bisa diem?”
Widya menoleh, tersenyum sinis. “Kalau nggak tahan, keluar aja. Kamar tamu masih kosong.”
“Udah kubilang, nggak bisa!” Arman membuka mata lagi, menatap punggung Widya. “Kalau kakek datang, habis kita.”
Perdebatan itu berlangsung lama, suara mereka makin lama makin pelan, lebih mirip bisik-bisik keras kepala. Waktu berjalan, jarum jam sudah melewati tengah malam, tapi keduanya tetap ngotot dengan argumen masing-masing.
Sampai akhirnya, rasa lelah mengalahkan. Arman diam, Widya juga diam. Mereka sama-sama tertidur, masih dalam posisi saling membelakangi, dengan bantal guling sebagai pagar.
Namun beberapa jam kemudian, yang ditakutkan Arman terbukti. Widya yang tidur lasak mulai bergerak. Kakinya menendang-nendang tanpa arah.
“Brak!”
Arman terjatuh dari kasur, menghantam lantai keramik yang dingin dan keras.
“Aduh!” seru Arman, setengah sadar.
Widya membuka mata setengah, wajahnya polos tak berdosa. “Apa sih ribut-ribut? Malem-malem jatuh sendiri…” lalu ia balik badan lagi, setelahnya mendengkur halus.
Arman terduduk di lantai, menatap tubuh Widya yang tidur pulas. Ia mendesah panjang, antara kesal dan pasrah.
“Baru malam kedua serumah, aku udah digusur ke lantai. Besok kasur lipat harus jadi.” tekad Arman.
---