Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6a. Kuntilanak Meulaboh
Malam itu angin barat berembus kencang di pesisir Meulaboh. Suara ombak menggulung keras, memecah kesunyian kampung tua di tepi hutan. Orang-orang jarang keluar malam; mereka sadar betul, daerah itu bukan hanya hutan biasa. Ada yang bilang, di antara pohon-pohon kelapa dan semak liar, sering terdengar suara tawa perempuan disertai tangis bayi.
“Kalau dengar suara itu, jangan menoleh,” kata orang tua-tua. “Karena sekali kau menoleh, arwah itu akan mengikutimu sampai mati.”
Itulah asal mula kisah tentang Kuntilanak Meulaboh — sosok perempuan yang mati mengenaskan di masa penjajahan, dan arwahnya kini menuntut balas di sepanjang pantai dan hutan itu. Menjadi momok dan cerita misteri yang menjadi bagian legenda sampai sekarang.
*****
sekelompok mahasiswa dari Banda Aceh datang ke Meulaboh untuk meneliti cerita rakyat. Mereka adalah Rani, Dimas, Riko, Lala, Nita dan Surya.
Awalnya mereka menganggap kisah kuntilanak hanya takhayul desa, sampai malam pertama mereka menginap di rumah kosong peninggalan Belanda, di tepi hutan tempat legenda itu lahir.
Malam itu, Nita terbangun oleh suara perempuan menangis di luar jendela. Suara itu lirih, lalu berubah menjadi tawa panjang… dan dari balik kaca, ia melihat bayangan wanita berambut panjang berdiri di antara pepohonan, menghadap laut. Nita tersentak dari mimpi buruk, tapi kejadian itu bukan sekedar mimpi, nyaris seperti nyata. Nita menatap Rani dan Lala yang masih tertidur pulas. Dengan perasaan masih dalam keadaan takut, Rani melangkah ke kamar mandi dan berwudhu. Tapi hatinya berdebar seperti ada sesuatu yang mengikuti, ia lalu berwudhu dan melaksanakan sholat tahajud--memohon perlindungan dari sang Maha Pencipta.
Rumah tua itu berdiri di pinggir hutan, dindingnya dari papan lapuk, atap seng berkarat, dan jendelanya sudah lama tak tertutup rapat. Saat malam datang, angin dari laut meniup masuk membawa aroma garam bercampur anyir—seperti bau darah yang lama membeku.
Malam itu, Rani dan teman-temannya duduk di ruang tengah. Lampu petromaks bergoyang perlahan diterpa angin.
“Suara ombaknya kayak orang nangis ya?” kata Lala sambil memeluk jaket.
“Ah, itu cuma suara laut,” sahut Riko ringan. “Jangan paranoid, nanti malah kena sugesti.”
Tapi menjelang tengah malam, suasana mulai berubah. Lampu ruangan tiba-tiba redup, padahal baterai masih penuh. Dimas yang sedang menulis catatan penelitian mendengar sesuatu dari dapur—seperti suara langkah kaki menyeret. Srek... srek... srek...
“Ada siapa di dapur?” tanyanya. Tidak ada jawaban. Ia berjalan pelan, namun ketika sampai di pintu dapur, udara terasa dingin menusuk.
Di sudut ruangan, tampak sebuah kursi kayu bergoyang sendiri.
Lalu perlahan, dari balik kegelapan muncul rambut panjang terurai, menutupi wajah pucat yang berlumur tanah.
Dimas terpaku. Perempuan itu berdiri diam, lalu tersenyum... tapi dari mulutnya keluar suara tangisan dan tawa yang mengerikan.
Dimas tersentak--berteriak dan terdiam tak bergerak-- setelah mahkluk itu mencekik lehernya hingga napasnya terhenti.
Rani, Nita dan Lala berlari mendatangi dapur setelah mendengar teriakannya, namun saat mereka tiba—Dimas sudah tergeletak di lantai, matanya terbuka menatap kosong ke langit-langit.
Di dinding belakangnya, tertulis dengan darah:
"Bersiaplah kalian ikut denganku...”
Subuh datang tanpa suara. Hutan di sekitar rumah kolonial itu diselimuti kabut tebal, seolah langit pun enggan menyaksikan tragedi semalam. Tubuh Dimas masih terbujur kaku di ruang tengah, matanya membelalak seperti masih melihat sesuatu yang tak kasat mata.
Rani menggigil, tangannya gemetar saat menutup wajah sahabatnya dengan kain sarung. “Kita harus keluar dari sini,” bisiknya.
Namun ketika Riko membuka pintu depan, angin tiba-tiba bertiup sangat kencang, menghempasnya mundur. Pintu menutup keras dengan suara duaar!—dan terkunci rapat dari luar.
Suasana berubah. Bau bunga kamboja bercampur darah memenuhi ruangan. Dari loteng, terdengar suara langkah kecil berlari, disusul tawa perempuan yang lirih tapi jelas.
Lala menjerit. “Itu di atas!”
Lampu-lampu padam seketika, menyisakan gelap pekat. Dalam kegelapan itu, Rani merasakan sesuatu menyentuh bahunya—dingin seperti es, lalu terdengar bisikan halus tepat di telinganya:
“Kau mengambil hidupku… aku mencarimu…”
Rani memutar tubuhnya. Di sana, berdiri sosok wanita bergaun putih lusuh, rambut panjang basah meneteskan darah, matanya hitam kosong, bibirnya tersenyum bengkok.
Lala langsung pingsan. Riko membaca ayat suci terbata-bata, tapi setiap ayat diucapkan, suara tawa itu malah semakin keras, melengking, menggema ke seluruh ruangan.
Tiba-tiba dari jendela, tampak bayi kecil berdarah duduk di ambang, menatap mereka sambil tertawa.
Rumah itu kini seolah hidup—lantai bergetar, kursi berderak, dan dari dinding-dinding mulai menetes darah.
Rani berteriak sekuat tenaga, memeluk tubuh Lala yang tak sadarkan diri.
Namun di tengah hiruk pikuk teror itu, suara perempuan itu kembali bergema, kali ini dari segala arah:
“Kalian telah membangunkanku… dan satu per satu… akan kugendong pulang…”
*****
Keesokan paginya, mereka coba mencari jalan untuk keluar dari hutan, namun semua jalan buntu, mereka selalu kembali ke tempat semula--hingga matahari kembali terbenam, mereka tak juga menemukan jalan keluar.
Hujan turun deras malam itu. Petir menyambar jauh di balik hutan, menerangi rumah tua yang kini bagai neraka bagi mereka bertiga. Nita duduk di sudut ruangan, memeluk Lala yang sejak siang hanya diam dan menatap kosong. Sejak melihat sosok wanita bergaun putih itu, Lala tak lagi bicara.
Matanya merah, seolah tak tidur.
Setiap kali angin berembus, ia akan berbisik pelan:
“Dia memanggilku… makhluk itu memanggilku...”
Riko mencoba menenangkan dengan bacaan doa, tapi semakin keras ia membaca, semakin kencang pula suara tawa perempuan dari arah loteng. Tawa itu bercampur dengan tangisan—lirih, memelas, tapi perlahan berubah menjadi ratapan nyaring yang membuat darah beku.
Menjelang tengah malam, Lala tiba-tiba berdiri. Wajahnya datar. Tanpa sepatah kata, ia berjalan menuju tangga menuju loteng.
“Lala! Jangan ke sana!” teriak Nita sambil berlari mengejar.
Tapi langkah Lala ringan, seperti tubuhnya dituntun oleh sesuatu yang tak terlihat.
Setibanya di loteng, udara berubah beku. Dindingnya dipenuhi bercak hitam seperti jelaga, dan di tengah ruangan… terdapat buaian bayi tua yang bergoyang perlahan.
Di dalamnya, bukan bayi, melainkan tengkorak kecil terbungkus kain putih.
Lala berlutut, tangannya gemetar menyentuh kain itu. Dari balik buaian, muncul tangan pucat menggenggam pergelangan tangannya erat.
Lalu… dari kegelapan, wanita bergaun putih muncul di belakangnya.
Matanya bolong, mulutnya terbuka lebar sampai ke pipi, mengeluarkan tawa serak panjang.
“Kau ingin menggantikannya… bukan?”
Jeritan Lala menggema menembus hujan dan petir malam itu. Rani, Nita, Surya dan Riko berlari ke atas, tapi yang mereka temukan hanyalah bayangan tubuh Lala tergantung di loteng, rambutnya menutupi wajah, dan buaian bayi berhenti bergoyang.
Dari bibir mayatnya, darah menetes pelan, membentuk satu kalimat di lantai kayu: “Dia sudah menjemputku.”
bukan nya itu sudah kau rencanakan