Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tahu Masa Lalu Mereka
Sore itu langit tampak redup, awan kelabu menggantung berat seolah menahan hujan. Di ruang tamu rumah Fira, suasana tampak hangat oleh cahaya lampu kristal yang memantul di dinding. Diana duduk di sofa empuk dengan ekspresi gusar, jemarinya tak henti menekan layar ponsel. Wajahnya menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.
Di hadapannya, Fira sedang menyesap teh sambil memeriksa beberapa dokumen kerja. Penampilannya seperti biasa elegan dengan rambut terurai rapi, gaun pastel, dan senyum yang tampak penuh percaya diri.
“Aku baru saja menerima pesan dari nomor tidak dikenal,” kata Diana tiba-tiba, suaranya pelan tapi tegas. Ia menatap ponselnya dengan dahi berkerut. “Isinya tidak menyenangkan. Katanya kalau ‘Fira akan segera hancur sebentar lagi.’”
Fira mengangkat alisnya sekilas lalu tersenyum tipis, nyaris geli. “Cuma itu?” tanyanya ringan, seolah tidak terpengaruh sama sekali. “Pesan seperti itu sudah sering kudapatkan. Orang iri di dunia bisnis jumlahnya tidak terhitung, Diana. Mereka pikir dengan ancaman kosong seperti itu bisa membuatku takut.”
Diana masih tampak tidak tenang. Ia menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan pesan yang hanya berisi satu kalimat singkat tanpa identitas pengirim. “Tapi kali ini rasanya berbeda, Fir. Pesannya terlalu spesifik. Seolah-olah orang itu benar-benar tahu siapa kita.”
Fira meletakkan cangkir tehnya dengan lembut, lalu menatap Diana dengan senyum santai. “Tenang saja. Dunia ini penuh orang iseng. Aku memiliki seorang teman yang paham tentang IT dan dia selalu memantau semua nomor yang mencoba menerorku. Dalam beberapa jam, aku bisa tahu siapa pengirim pesan itu.”
“Kalau begitu, kau tidak takut?” tanya Diana, masih dengan nada ragu.
Fira menggeleng pelan. “Ketakutan hanya akan membuat orang lain berpikir mereka menang,” jawabnya datar. “Lagipula, kalau mereka ingin menjatuhkanku, mereka butuh lebih dari sekadar pesan bodoh.”
Diana menghela napas panjang. “Aku hanya merasa ada yang tidak beres belakangan ini. Sejak kejadian malam itu,” ia terdiam sesaat, menatap ke arah jendela di mana hujan mulai turun perlahan. “Entahlah, aku sering merasa seperti sedang diawasi.”
Fira menatapnya dengan pandangan tajam namun menenangkan. “Kau terlalu banyak berpikir. Jangan biarkan rasa bersalah atau hal-hal masa lalu membuatmu gelisah. Kita sudah menang, Diana. Tidak ada yang bisa membalikkan keadaan sekarang.”
Diana hanya menatap kosong, bibirnya hendak berkata sesuatu namun tertahan. Ia tahu apa yang dimaksud Fira, tentang Elma, tentang malam kelam itu. Tapi Fira tidak pernah mau membicarakannya lagi.
Suara langkah kaki mendekat memecah suasana. Dion muncul dari arah tangga dengan pakaian santai, kemeja putih digulung di lengan, rambutnya sedikit acak-acakan. Ia menatap kedua perempuan itu bergantian sebelum berkata dengan nada santai, “Kenapa kalian berdua terlihat tegang? Ada apa?”
Diana buru-buru menjawab, “Aku baru saja menerima pesan aneh. Dari nomor tidak dikenal. Katanya Fira akan segera hancur sebentar lagi.”
Dion tertawa kecil, menepuk pundak adiknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Kak. Dunia bisnis memang kejam. Fira memiliki banyak saingan, dan banyak di antara mereka iri melihat kita hidup senang.”
Fira tersenyum, kali ini lebih manis, seolah ingin memperkuat keyakinan Dion. “Benar, Sayang. Mereka iri karena kita berdiri di atas keberhasilan. Jadi mereka berusaha menakuti kita. Padahal, yang menakutkan itu justru mereka yang kalah.”
Dion mendekati Fira, mencium kening istrinya dengan lembut. “Kau memang perempuan yang kuat,” ujarnya bangga. “Dan untukmu, Kak, jangan khawatirkan hal-hal seperti itu. Fokuslah mempersiapkan pernikahanmu. Delapan hari lagi kau akan jadi pengantin. Kau harus bahagia, bukan panik.”
Diana menghela napas panjang, mencoba mengembalikan ketenangan. Ia memaksakan senyum. “Ya, mungkin aku terlalu khawatir,” katanya perlahan. “Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi sebelum hari pernikahanku.”
Fira bangkit dari duduknya, lalu berjalan mendekati Diana. “Tidak akan ada yang buruk terjadi,” ujarnya dengan nada yang terdengar meyakinkan, tapi juga menyimpan sedikit kesombongan. “Aku sudah menyiapkan semua untuk hari bahagiamu. Dekorasi, gaun, bahkan tamu kehormatan. Semua sempurna. Jadi jangan rusak suasana dengan pesan konyol dari orang yang bahkan tidak punya keberanian menampakkan diri.”
Diana tersenyum kecil, meski hatinya belum sepenuhnya tenang. Ia menatap sekali lagi layar ponselnya sebelum menonaktifkan perangkat itu dan menyimpannya ke dalam tas. “Baiklah, aku percaya padamu.”
Dion tersenyum puas melihat keduanya akhirnya tenang. “Nah, begitu lebih baik,” katanya sambil menepuk kedua bahu mereka. “Keluarga kita sekarang sudah di atas. Tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi kita. Jadi, berhentilah berpikir buruk.”
Fira memandang Dion penuh kelembutan, namun di matanya ada kilatan tajam, keyakinan yang lahir dari kesombongan. Ia merasa tidak terkalahkan. Semua sudah di bawah kendalinya: bisnis berjalan lancar, reputasi keluarga bersih, dan Elma sudah tersingkir dari kehidupan mereka.
Namun, di luar rumah yang terang benderang itu, langit semakin gelap. Angin berembus membawa hawa dingin. Dan di balik pagar rumah besar itu, seseorang duduk di dalam mobil hitam, memperhatikan dari kejauhan, sebuah siluet tenang yang menandai permulaan dari badai yang akan datang.
Pesan yang diterima Diana bukan ancaman kosong. Itu adalah peringatan pertama.
Dan kali ini, kebenaran mulai bergerak mendekat, perlahan tapi pasti, menuju keluarga yang selama ini merasa tak tersentuh.
***
Malam itu suasana restoran tampak tenang dengan cahaya lampu redup dan alunan musik lembut yang mengiringi percakapan para pengunjung. Amar dan Elma duduk berhadapan di meja dekat jendela, di mana hujan tipis menetes perlahan di balik kaca. Elma tampak lebih tenang dari sebelumnya, meski masih ada sisa luka di matanya yang sulit disembunyikan.
Amar menatap Elma sambil tersenyum kecil, lalu berkata pelan, “Aku sudah memikirkan sesuatu, Elma. Aku ingin membuat mantan ibu mertuamu, Ratna, menjadi gila.”
Elma sontak terkejut. Sendok di tangannya berhenti di udara, menatap Amar dengan mata membulat. “Apa maksudmu, Amar? Bagaimana bisa?” tanyanya dengan nada bingung dan sedikit khawatir.
Amar bersandar santai di kursinya, meneguk kopinya perlahan sebelum menjawab. “Tenang saja. Aku tidak akan menyentuh mereka dengan tangan sendiri. Tapi aku memiliki sesuatu yang akan membuat Ratna, Diana, dan Dion kehilangan kewarasan mereka sendiri.”
Elma menatapnya tajam, penasaran. “Sesuatu apa?” tanyanya perlahan.
Senyum Amar melebar, kali ini lebih misterius. “Kau akan segera tahu. Tapi yang pasti, setelah ini mereka tidak akan bisa tidur dengan tenang. Aku sudah memegang bukti penting tentang masa lalu keluarga mereka, sesuatu yang selama ini mereka sembunyikan dari dunia.”
Elma terpaku. Ada sedikit ketakutan di wajahnya, namun di balik itu, terselip rasa lega dan penasaran. “Amar, kau benar-benar serius ingin melakukan ini?”
Amar menatapnya dalam, lalu menjawab tegas, “Aku berjanji, Elma. Mereka akan membayar semua air matamu, bukan dengan darah, tapi dengan rasa takut yang tak akan pernah hilang.”