Gimana jadinya gadis bebas masuk ke pesantren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Razia Dadakan & Fitnah Untuk Arabella
...BAB 27...
...FITNAH UNTUK ARABELLA...
Malam turun perlahan di pesantren milik Kiyai Hasyim. Suasana mulai tenang, sebagian besar santri sudah masuk ke asrama dan bersiap tidur.
Tapi tidak dengan Arabella. Dia melangkah diam-diam ke taman belakang asrama putri, tempat favoritnya untuk ‘meditasi absurdnya’ duduk di atas kursi taman sambil mendengarkan lagu dari headset colokan kabel yang dia dapat dari Pak. Aming sang penjaga gerbang, sambil menatap langit untuk menyalurkan rindu pada kedua orang tuanya.
Sementara itu, dua bayangan mengendap di antara semak-semak. Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah sudah lebih dulu tiba. Di tangan mereka ada plastik kecil berisi barang-barang mencurigakan korek api, bungkus snack kosong dan selembar kertas bertuliskan kalimat-kalimat aneh seolah catatan “ritual gelap”— semua hasil karangan mereka.
“Letakan di dekat kursi tempat Arabella biasa duduk,” bisik Rahmah.
“Sudah, cepat sebelum dia datang,” balas Halimah.
Beberapa menit kemudian, Arabella muncul sambil bersenandung kecil, hijabnya berantakan karena baru saja bergulat dengan Balwi, Balwa dan Devan dalam perang bantal yang dia jemur tadi siang.
Dia duduk, memasang headset, lalu menatap langit yang indah sambil bergumam kata-kata rindu untuk kedua orang tuanya.
Di saat yang bersamaan, langkah-langkah tergesa mendekat. Ustadzah Rahmah dan Halimah datang bersama beberapa Ustadzah lain, seolah sedang melakukan “razia dadakan”.
“Arabella!” seru Hallimah tajam, membuat gadis itu melonjak kaget.
“Ya Allah, nyamar dulu kek. Ngagetin tau gak?!” keluh Arabella, belum menyadari situasinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam?” tanya Rahmah dengan nada menghakimi.
“Meditasi, Ustadzah,” jawab Arabellla santai. “Mencari inspirasi untuk puisi tentang cinta yang tidak direstui, kayak sinetron.”
Halimah memicingkan mata, “Apa ini?” dia menunjuk ke plastik mencurigakan yang telah mereka letakkan sebelumnya.
“Barang bukti yang baru saja kami temukan!”
Arabella menatap benda itu bingung. “Loh... itu bukan punya saya. Saya aja gak tau itu apa.”
“Jangan berdalih, Arabella. Ini pelanggaran serius. Kamu tau konsekuensinya.”
Arabella berdiri, ekspresinya mulai berubah dari santai jadi geram. “Saya gak setolol itu ya, buat bawa benda aneh di tempat umum begini. Lagian, siapa yang sempet nulis kalimat ‘aku adalah bayangan kegelapan malam yang mencintai sunyi’ pakai tinta merah di kertas bekas snack?”
Para Ustadzah lain mulai saling berpandangan, ragu. Tapi Rahmah dan Halimah berdiri tegak, yakin mereka akan menang. Tiba-tiba... suara berat terdengar dari arah belakang
“Hm... menarik ya... sangat menarik,” ujar Ustad Izzan yang muncul entah dari mana, disusul oleh Ustad Azzam.
Wajah Rahmah dan Halimah mendadak tegang.
“Saya mendapat laporan dari Balwi,” lanjut Ustad Azzam dengan tenang, “Bahwa ada dua Ustadzah yang membawa kantong plastik mencurigakan ke taman ini sebelum Arabella tiba.”
“Dan saya—“ Ustad Izzan menambahkan, menatap tajam ke arah dua Ustadzah itu, “—tidak akan membiarkan fitnah beredar tanpa kebenaran. Santri kami bukan untuk dihancurkan, tapi dibimbing.”
Arabella melongo. “Hah? Balwi? Ck... Bocah nyebelin itu ternyata berguna juga.”
Rahmah dan Halimah panik, tapi sebelum mereka bisa membela diri, pimpinan pesantren sekaligus ayah Ustad Izzan sendiri, Kiyai Hasyim, tiba dengan wajah serius.
“Ini akan diselidiki. Dan jika benar kalian menjebak santri kami, maka bukan Arabella yang akan meninggalkan pesantren ini,”
*****
Keributan di taman belakang sontak membuat suasana pesantren yang biasanya tenang mendadak geger. Bisik-bisik mulai terdengar di antara jendela-jendela asrama. Santri putri mengintip dari balik tirai, santri putra saling berbisik di lorong-lorong dan suara sandal berdecit bersahutan.
“Ada apa sih?” tanya Balwa pada Devan, yang sedang mencuri dengar dari balik tembok.
“Kayaknya Arabella kena razia... tapi bawa-bawa Ustad Izzan segala. Serius banget,” jawab Devan.
“Apa jangan-jangan... dia bawa pentungan?” timpal Balwi yang tiba-tiba muncul.
Tapi kejutan malam itu belum selesai. Para Ustadzah yang tadi menggerebek Arabella, termasuk Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah, kini digiring menuju ruang pembimbing, bersama Arabella yang tetap dengan ekspresi santainya, meski matanya menyala penuh emosi. Semua santri terbelalak.
“Eh itu Arabella dibawa?!” bisik santri putri kelas akhir.
“Dia beneran kesurupan ya? Wajahnya beda banget!”

Ketika rombongan tiba di ruang pembimbing, suasana menjadi lebih tegang. Di dalam ruangan itu sudah duduk beberapa Ustad senior seperti Ustad Jiyad, Ustad Hamzah dan beberapa pengajar lain. Mereka semua langsung menoleh ketika rombongan masuk. Lalu sebuah suara terdengar.
“Balwi, masuk ke dalam,” panggil Ustad Izzan tenang.
Semua mata menoleh ke pintu.
“Lohh... kok Balwi?” tanya Ustad Jiyad bingung. Dia melirik Ustad Izzan, begitu pula Ustad-Ustad lain. Tatapan mereka seolah berkata, ‘ini ada hubungan sama anak barbar itu?’
Ustad Izzan hanya duduk diam, tangan disilangkan, wajahnya tenang tapi tegas. Tak lama... sosok karismatik kiyai Hasyim, pemimpin tertinggi pesantren, memasuki ruangan. Semua langsung berdiri memberi salam dan hormat. Beliau mengangkat tangan, meminta duduk kembali.
“Apa yang terjadi malam ini di taman belakang?” tanya beliau dengan suara dalam namun tenang.
Semua terdiam. Hingga salah satu Ustadzah yang ikut dalam razia akhirnya bicara.
“Kami diajak Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah untuk melakukan razia dadakan, Kiyai. Mereka bilang kalau Arabella sering melakukan sesuatu yang aneh di taman... semacam... semacam ritual pelet?!”
“Pelet?” gumam Ustad Hamzah pelan. Suasana ruangan makin mencekam.
Wajah Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah pucat. Mereka menunduk dalam, tubuh mereka tampak bergetar. Mereka tau, jika tuduhan ini terbukti bohong, nasib mereka hancur.
Arabella menatap mereka melotot. Lalu, dengan nada absurd khas dirinya, dia berseru.
“Laaah... baru tau ya? Saya kan emang bisa melet, nih!” ucap Arabella sambil menjulurkan lidahnya, “Tapi kalau ilmu hitam saya nggak bisa, kalaupun bisa saya udah pelet Suga atau Jungkook buat jadi suami saya!”
Ustad Jiyad nyaris tersedak teh. Ustad Hamzah menahan tawa sambil memalingkan wajah. Beberapa Ustadzah lain memalingkan muka karena bingung antara ingin marah atau ikut ngakak.
Kiyai Hasyim menghela napas dalam-dalam, tapi sudut bibirnya sempat terangkat sedikit mendengar respons tak terduga.
“Bella...” suara beliau tenang. “Siapa Suga sama Jungkook itu?”
“Hihihi... Personil boyband asal korea, Kiyai.” Jawab Arabella polos sambil cengengesan. “Idola saya. Kalau pelet saya semanjur itu, Suga atau Jungkook pasti udah ngajak saya buka kedai bakso bareng.”
Tawa kecil terdengar. Tapi Kiyai Hasyim mengangkat tangan lagi, ruangan kembali hening.
“Balwi,” panggil beliau, “Katanya kamu melihat sesuatu sebelum kejadian ini. Ceritakan semuanya.”
Balwi menatap semua orang dengan gugup, lalu mengangguk. “Saya dengar Ustadzah Rahmah dan Ustadzah Halimah ngomong soal menjebak Arabella. Saya nggak ngerti semua, tapi mereka nyebut soal plastik, barang bukti palsu, dan pengalihan perhatian Ustad Izzan dan Ustad Azzam.”
Ustadzah Rahmah langsung membenamkan wajah ke telapak tangan, tubuhnya bergetar. Halimah tampak nyaris menangis. Semua Ustad dan Ustadzah saling memandang.
“Cukup,” kaya Kiyai Hasyim. “Besok pagi, kita akan adakan rapat pembina. Tapi malam ini, saya ingin kalian semua merenungi peran masing-masing di pesantren ini. Kita membimbing, bukan menjatuhkan. Dan fitnah... adalah dosa besar.”
Tatapan beliau menyapu seluruh ruangan, sebelum akhirnya menatap Arabella.
“Kamu tetap santri di sini, Nak. Tapi tolong, jangan lempar sandal lagi ke kepala Balwa.”
“Siap Kiyai. Saya bakal tendang ke perutnya aja!” jawab Arabella dengan gaya hormat yang konyol.
Tawa kembali pecah, mencairkan suasana. Tapi semua tau, malam itu, satu hal berubah... Arabella bukan sekedar santri barbar. Dia jadi simbol bahwa kejujuran, seaneh dan se absurd apa pun bentuknya, tetap harus diperjuangkan.
*****
Malam belum benar-benar larut ketika mobil hitam sederhana memasuki gerbang pesantren milik Kiyai Hasyim. Dari dalamnya turun dua sosok penting Uma Salma istri Kiyai Hasyim yang disegani sekaligus pengasuh utama santri putri, dan ponakan sekaligus putra bungsu mereka, Kaisar yang baru saja kembali dari pengajian intensif di luar kota.
Langkah Uma cepat, wajahnya cemas. Tangannya menggenggam ponsel yang beberapa menit lalu menampilkan notifikasi mengejutkan dari grup pembimbing pondok milik Kiyai Hasyim.
“Mohon doa dan arahan, telah terjadi kejadian di taman belakang terkait santri Arabella, dugaan pelanggaran berat, sedang ditangani di ruang pembimbing,”
“Arabella lagi,” gumam Uma setengah panik. “Hah... Anak itu memang bikin deg-degan!”
Kaisar hanya berjalan di sampingnya, wajahnya tenang, mata tajamnya diam-diam menyapu seluruh area pesantren yang dirindukannya. Sesampainya di kediaman utama pengasuh pondok, Uma langsung mencari suaminya.
“Abi! Mana Izzan? Aku dapat kabar soal Arabella, katanya dia difitnah? Apa benar?”
Ustad Izzan muncul dari dalam ruang baca, wajahnya seperti biasa, dingin dan sulit ditebak.
“Sudah ditangani, Uma.” Katanya datar.
“Sudah ditangani gimana?! Kamu itu selalu singkat kalau ditanya!” Uma mendengus gemas. “Aku ini ibumu juga, masa soal santri seberani Arabella kamu anggap remeh begitu?”
Kaisar menahan tawa kecil mendengar ibunya yang kembali jadi commander in chief. Dia melirik sepupu sekaligus kakaknya yang hanya diam, tampak sabar dalam kebekuannya.
Kiyai Hasyim, yang duduk di kursi panjang, menutup kitabnya pelan dan bersuara, “Tenang, Uma... Fitnah itu terbongkar. Ustadzah Rahmah dan Halimah sedang dalam proses pembinaan. Mereka ingin menjatuhkan Arabella karena iri... dan mungkin karena terlalu banyak mulai melihat ke arah gadis itu, termasuk anak-anak kita.”
Umma Salma terdiam. Wajahnya berubah dari cemas menjadi bingung.
“Jadi... Bella tidak melakukan hal yang aneh-aneh?”
“Tidak lebih aneh dari biasanya,” jawab Kiyai Hasyim dengan senyum kecil. “Dia tetap Absurd, tetap jahil, tetap Arabella yang seperti biasanya. Tapi dia tidak salah malam ini. Bahkan, dia menyelamatkan dirinya sendiri dengan caranya yang tak biasa.”
Ustad Izzan hanya menatap ponselnya. Tak ada ekspresi. Uma mengangguk pelan, lalu melirik Kaisar.
“Kamu tidak komentar, Kai?”
Kaisar tersenyum. “Nggak perlu, Uma.” Padahal dalam hati Kaisar bergemuruh.
“Raiya... kamu memang tetap kamu. Tangguh, jahil, absurd dan tak bisa diprediksi. Tapi itulah yang bikin kamu berbeda dari semuanya. Dan kini,” Kaisar membatin.
“Semoga perasaan itu masih ada, Raiya. Karena saya kembali... untuk cerita yang belum sempat kita mulai.”
*****
Setelah drama panjang di ruang pembimbing, Arabella akhirnya kembali ke asrama putri. Langkahnya santai seperti biasa, tapi aura lelah dan jengkel terpancar jelas dari wajahnya. Baru juga kakinya menginjak ambang pintu, tiga sosok langsung menyerbu seperti singa kelaparan.
“BELLA!!” teriak Dina, Elis dan Sari serempak.
Arabella refleks mundur setengah langkah. “Woy.. Woy... gue belum sempet tarik napas loh, kalian udah nyerbu aja!”
Dina langsung maju dengan ekspresi horor, “Itu beneran Ustadzah Rahmah dan Halimah fitnah kamu pake ilmu pelet?!”
“Serem amat sih bahasanya...” gumam Arabella sambil menjatuhkan diri ke kasur dan menggeletak dramatis. “Cuma gegara gue ditaksir banyak orang bukan berarti gue bawa-bawa ilmu hitam dong.”
Elis menyilangkan tangan, wajahnya menyimpan api emosi. “Kemarin mereka nyolot banget, ya. Baru selesai labrak kamu gara-gara cemburu buta, bilang kamu cewek genit, tidak tau batasan lah, ;caper ke Ustad lah sekarang malah main fitnah? Maunya apa coba?”
Sari ikut duduk di pinggir kasur Arabella sambil menghela napas panjang. “Aku nggak ngerti deh, Bell. Ini tuh bukan lagi iri biasa. Ini udah bener-bener ngeri. Sampai ngajak Ustadzah lain buat jebak kamu di taman belakang segala? Kayak... Hello?? Ini tuh pondok loh,bukan sinetron!”
Arabella menatap langit-langit kamar, mulutnya komat-kamit, lalu tiba-tiba menjulurkan lidah ke arah Sari.
“MELET!”
Sari loncat kaget, “IIHHH JIJIK!”
“See??” kata Arabella sambil nyengir, “Gue emang bisa melet. Tapi bukan pelet. Itu beda. Kalo pun bisa pelet, dari dulu gue udah punya lima suami kali.”
Dina langsung melempar bantal ke wajah Arabella. “Astagfirullah!” ucapnya melotot.
Elis tertawa, tapi masih dengan sisa amarah. “Gila ya, Bell. Kamu tuuh tahan banting banget. Aku yang denger aja pengen tonjok muka dua Ustadzah itu.”
Arabella duduk perlahan, wajahnya mendadak serius. “Gue nggak nyangka aja, mereka bisa sampe segitu bencinya. Gue pikir mereka Cuma sebel, gegara gue tanpa sengaja selalu berinteraksi sama Ustad Azzam dan Ustad Izzan, tapi ternyata mereka mungkin dendam sama gue.”
Sari mengangguk. “Dan parahnya, dendamnya bukan karena kamu nyakitin mereka. Tapi karena kamu nggak sengaja nyentuh hati orang yang mereka kagumi.”
Semua terdiam sejenak. Ruangan kecil itu mendadak sunyi, hanya suara kipas angin yang berdecit pelan.
“Eh, tapi tau nggak?” lanjut Arabella, senyumnya pelan tapi sinis. “Justru karena mereka kayak gitu, semua orang kan jadi tau siapa sebenernya yang buruk akhlaknya, gue? Masih bisa becanda. Mereka? Maen fitnah.”
Dina, Elis dan Sari saling pandang. Lalu Dina menepuk pundak Arabella pelan.
“Kamu memang barbar, Bell. Tapi kamu bukan orang yang jahar. Dan kita... bakal selalu di belakang kamu.”
“Yaaa... kecuali kamu beneran punya lima suami. Kita mundur perlahan.” Kata Elis nyengir.
Arabella tertawa keras. Dan malam itu, di antara tawa dan obrolan, mereka tidak sadar bahwa seseorang sedang mendengarkan dari balik pintu. Seorang santri yang dikirim Ustadzah Halimah untuk mengawasi gerak-gerik Arabella selanjutnya.
Tapi Arabella bukan gadis yang mudah dijatuhkan. Dan malam itu... hanya awal dari gelombang