Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21
Cherry terbangun karena ponselnya berdering nyaring. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur dan langsung mengangkatnya.
“Halo?” suaranya masih serak.
“Oh, aku ganggu tidurmu ya?” suara seorang pria terdengar di seberang.
“A-Adrian?” Cherry memastikan.
“Iya, ini aku. Gimana kabarmu, Cherry?” tanya Adrian ramah.
“Baik kok. Kamu gimana?”
“Sekarang udah oke,” jawab Adrian singkat.
“Kenapa? Kamu kenapa-kenapa?” Cherry langsung cemas.
“Enggak, maksudku aku oke karena tahu kamu baik-baik aja,” sahut Adrian sambil terkekeh.
Cherry ikut tertawa kecil. “Kirain ada apa-apa.”
“Kamu khawatir ya?” goda Adrian.
“Iya dong.”
“Pagi-pagi udah bikin aku baper, nih,” gumam Adrian, membuat Cherry tersenyum.
“Ah, kamu. Jadi kenapa tiba-tiba telepon?” tanya Cherry.
“Emang enggak boleh? Kamu tuh tiba-tiba hilang. Tahu-tahu pindah ke kelas online. Aku sampai maksa Erika kasih nomor kamu, soalnya kamu enggak ninggalin kontak. Media sosial juga enggak punya,” jelas Adrian panjang lebar.
“Kenapa harus sejauh itu sih?” Cherry mengernyit.
“Soalnya aku kangen. Maksudku, kami semua kangen. Kamu enggak kangen aku?” pancing Adrian.
Cherry tersenyum samar. “Kangen kok.”
“Ehem.”
Cherry terlonjak. Ia menoleh dan mendapati Trevor sudah bangun. Tatapannya tajam menusuk.
Cherry buru-buru bergeser menjauh, duduk di sisi lain tempat tidur.
“Oh iya, selamat ya buat kelulusanmu,” ujar Adrian di seberang.
“Makasih. Kamu juga lulus, kan?” tanya Cherry.
“Ya iyalah. Erika juga lulus.”
“Wah, selamat buat kalian!” Cherry ikut senang.
“Selamat buat kita bertiga. Aku sama Erika mau rayain. Kamu ikut yuk.”
Cherry melirik Trevor yang masih menatapnya dingin. Apa maksudnya?
“Ah, enggak bisa,” Cherry menolak halus.
“Sayang banget. Kalau gitu, nanti siang kita video call aja. Erika kangen banget sama kamu. Tapi enggak sekangen aku sih,” goda Adrian lagi.
Cherry tersenyum. “Dasar gombal.”
“Oke. Oh iya, kami pengin lihat anak kamu juga” tambah Adrian.
“Ah!” Cherry terlonjak kaget saat pintu kamar mandi tiba-tiba dibanting keras.
“Adrian, nanti aja ya. Bye.” Cherry buru-buru menutup telepon.
Ia menghampiri pintu kamar mandi dan mengetuk pelan. “Trevor, kamu baik-baik aja? Aku dengar pintu dibanting.”
Pintu terbuka. Trevor keluar dengan wajah masam.
“Tanganku kelepasan, pintunya kebanting,” ucapnya datar.
“Oh… gitu.” Cherry hanya bisa mengangguk.
**
“Mama!” Arnold berlari menghampiri Cherry dan langsung memeluknya erat.
“Sayang, selamat pagi,” sapa Cherry sambil membalas pelukan.
“Selamat pagi juga, Mama. Pagi, Papa!” seru Arnold ceria.
“Pagi,” jawab Trevor singkat sambil mengacak rambut anaknya.
“Mama punya kabar baik nih,” ujar Cherry.
“Apa, Ma?” Arnold menatapnya penuh antusias.
“Mama lulus! Mama resmi jadi pengacara!” seru Cherry bahagia.
“Yey! Mama, kita rayain yuk!” Arnold melompat senang.
“Iya, tentu,” Cherry mengecup puncak kepala putranya.
“Selamat ya, Ma!”
“Makasih, sayang. Tapi Mama sikat gigi dulu ya. Kamu ikut Papa ke bawah dulu.”
“Oke, Ma.”
“Ayo,” ucap Trevor sambil menggendong Arnold dan berjalan tanpa sekali pun menoleh ke Cherry.
Cherry hanya menghela napas sebelum menyusul mereka ke ruang makan.
“Mama udah datang!” Arnold bersorak saat melihatnya.
Cherry tersenyum. “Mama bikin kalian nunggu lama ya?”
“Enggak kok.”
“Yuk, makan.”
Arnold menatapnya serius. “Mama, kenapa Papa kayak lagi bad mood? Kalian berantem ya?”
Cherry melirik Trevor yang hanya fokus makan. “Enggak, kok. Papa cuma lagi enggak mood aja.”
Arnold mengangguk polos, lalu kembali ceria.
Cherry mengambil sepotong Ayam, meletakkannya di piring Trevor. Pria itu menoleh sekilas. Cherry membalas dengan senyum tipis, lalu melanjutkan makan.
“Sayang, makan yang banyak, ya,” ujar Cherry pada Arnold.
“Mama, nanti siang kita nonton film?”
“Hmm, nanti teman-teman Mama mau video call. Mereka pengen kenalan sama kamu. Nanti Kamu mau say hi ya?”
“Teman Mama yang mana?”
“Teman kampus. Ada Tante Erika, sama Om Adrian.”
“Om Adrian?” ulang Arnold polos.
“Iya, sayang.”
Arnold tersenyum jahil. “Nanti kenalin Papa juga dong sebagai suami Mama.”
Cherry tersedak. Mode awkward: on.
Setiap kali mereka bertiga bersama, Cherry rasanya ingin menghilang saja.
“Kamu makan yang banyak, ya,” ia buru-buru mengalihkan topik.
**
Selesai sarapan, Cherry kembali ke kamar untuk mandi. Baru setelah selesai, ia sadar lupa bawa baju ganti.
Bodoh banget, Cherry.
Untungnya, kamar tampak sepi. Ia keluar pelan-pelan, mengambil pakaian dari lemari, lalu hendak kembali ke kamar mandi.
Sial, celana dalam yang digulungnya terjatuh, menggelinding masuk ke kolong ranjang.
Cherry berlutut, mencoba meraihnya. Tapi benda itu terus bergeser.
“Kamu ngapain?” suara yang paling tidak ia harapkan tiba-tiba terdengar.
Cherry menoleh kaget. “Trevor…”
Pria itu segera memalingkan wajah. Cherry mengernyit, lalu sadar belahan dadanya terbuka lebar. Hanya jubah mandi yang menutupi tubuhnya. Panik, ia langsung menutupinya rapat-rapat.
Ya Tuhan, ini balasan karena aku lulus? Sial banget.
“M-maaf. Aku cuma ambil… celana dalam yang jatuh ke kolong,” ucap Cherry gugup.
“Biar aku ambil,” tawar Trevor.
“Enggak usah! Aku ambil yang baru aja.” Cherry cepat-cepat menolak.
Ia hendak berdiri, tapi tiba-tiba tali jubahnya nyangkut di baut ranjang.
“Kenapa?” Trevor mendekat.
“Talinya nyangkut. A-aku enggak bisa lepasin,” Cherry panik.
“Biar aku bantu.”
“Enggak usah! Keluar aja,” pinta Cherry setengah putus asa.
“Enggak, biar aku.” Trevor tetap bersikeras.
Cherry menutup wajah dengan pasrah. Ya Tuhan, jangan bikin aku makin malu.
“G-gimana kalau kita tarik bareng aja? Kalau rusak enggak apa-apa, kan?” Cherry mencari jalan keluar.
“Oke.”
Mereka menarik bersamaan.
"Kyaa!" Cherry berteriak saat tarikan mereka terlalu kuat.
Tapi bukannya pantatnya jatuh ke lantai Cherry malah mendapati dirinya duduk tepat di pangkuan Trevor. Di selangkangannya!
Sial. Kenapa aku gemetar? Kenapa aku gugup? Cherry, hentikan!
“Trevor, kamu enggak apa-apa?” Cherry berbisik cemas.
Trevor hanya terdiam kaku.
“Aku baik-baik aja. Kamu berdiri sekarang,” ujarnya dingin.
Cherry menggigit bibir. Dia marah?
“I-iya.” Ia mencoba bangkit, tapi kakinya kebas. Cherry malah jatuh lagi ke pangkuannya.
“Ugh!” entah suara Trevor menahan sakit atau sesuatu yang lain.
“Sial, kakiku kebas,” gumam Cherry panik. Ia mencoba berdiri, tapi lagi-lagi jatuh.
“Fuck, berhenti! Jangan bergerak!” bentak Trevor, wajahnya memerah menahan sesuatu.
Cherry membeku. “Trevor, kamu… merah. Kamu sakit?” tanyanya polos.
“Shit!” Trevor mendadak bangkit dan langsung keluar kamar, meninggalkan Cherry sendirian.
Cherry menatap kosong. Apa aku bikin dia marah? Bodoh sekali kamu, Cherry.
“Trevor… maaf,” bisiknya lirih.