Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 33.
Dengan langkah mantap, Damar akhirnya memutuskan untuk menghampiri Nyonya Rarasati.
Brugh!
“Ah!” seruan kecil terdengar ketika gelas di tangan pria itu tumpah berantakan.
“Sialan! Siapa yang berani__” ucapan pria itu terhenti saat melihat siapa yang menabraknya. Matanya melebar, wajahnya berubah penuh hormat. “Tuan Damar... selamat malam.”
Ia buru-buru mengulurkan tangan, Damar menyambutnya dengan sikap tenang.
“Saya minta maaf, tidak sengaja.” Ucap Damar dengan wajah innocent.
“Oh, tidak apa-apa. Hanya minuman, saya bisa ambil lagi,” jawab pria itu dengan tersenyum tanpa curiga apapun.
Nyonya Rarasati melirik sinis, ia yakin bahwa Damar sengaja melakukannya.
“Sebaiknya Anda ke toilet dulu... jas Anda basah, Tuan Bima.”
Pria bernama Bima itu baru menyadari jasnya yang lengket oleh minuman, ia mengangguk. “Kalau begitu, saya permisi.”
Begitu Bima benar-benar pergi, Nyonya Rarasati menipiskan bibir menahan kesal.
Nadira menatap bergantian antara ibu mertuanya, dan Damar. Lalu ia berpura-pura meringis. “Aduh, Mah... Dira ke toilet sebentar, ya.”
“Eh!” Nyonya Rarasati mencoba menahan, tak ingin ditinggalkan berduaan dengan Damar. Tapi Nadira pura-pura tak paham, malah berlari kecil meninggalkan mereka.
Kini hanya tersisa Damar dan Nyonya Rarasati, suasana canggung menggantung di antara mereka.
“Bagaimana kalau kita bicara sebentar? Cari tempat yang lebih tenang,” ucap Damar.
Nyonya Rarasati menyeringai. “Kenapa? Berdiri di sampingku membuatmu risih? Atau... kau takut ketahuan Medina?”
Damar menatap sang mantan kekasih dengan lekat. “Bukan, aku tak takut apa pun untuk diriku sendiri. Lagipula, aku dan Medina sudah resmi bercerai seminggu lalu. Aku hanya khawatir orang-orang akan menggunjing mu... mengira kau penyebab dari perceraian itu.”
“Aku bukan alasanmu bercerai, Damar. Aku tidak seperti Medina... yang terus menempeli mu meski tahu kau sudah punya pasangan. Aku berbeda darinya,” jawabnya dingin.
Damar mengangguk pelan. “Kau benar, kau bukan Medina. Kalian berdua sangat berbeda.”
Ucapan itu membuat Nyonya Rarasati terdiam sesaat, bibirnya bergerak pelan. “Kita bicara di balkon.”
Ia melangkah lebih dulu, Damar mengikuti di belakang.
Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata seorang wanita muda mengawasi setiap gerakan mereka.
“Veronica, bukankah itu ayahmu?” bisik seorang gadis pada temannya. “Jadi benar kabar itu... orang tuamu sudah bercerai, dan kini Ayahmu sudah duda. Apa masalah di rumah tangga orang tuamu, karena... ayahmu punya wanita lain?”
Gelas di tangan Veronica bergetar, rahangnya mengeras. Ia memang datang ke pesta ini untuk mengawasi ayahnya karena diperintahkan oleh Medina, dan kini bukti itu terpampang jelas. Seperti kata ibunya... jika ayahnya berselingkuh.
“Tika, kau cari tahu siapa wanita yang barusan bersama Papaku. Cari dengan jelas, nanti... aku akan membelikan tas yang kau inginkan.” Katanya dingin.
“Oke,” temannya pun segera bergerak.
Saat Veronica hendak meletakkan gelasnya di meja, tubuhnya tak sengaja tersenggol seseorang.
“Maaf,” ucapnya singkat.
Veronica menoleh, mendapati seorang pria berdiri tegap di depannya. Namun pria itu hanya menoleh sekilas, tak berkata apa pun lalu melangkah pergi seakan dia tak penting.
Veronica tertegun, matanya berbinar dengan kilat aneh. “Menarik... akhirnya ada pria yang tidak terpikat oleh kecantikanku dan mengejarku. Sepertinya, dia tipeku.”
Pria itu... Ardan.
Sementara itu, Ardan berhasil menemukan Nadira. Ia merangkul istrinya dari samping.
“Loh, Mama di mana?” tanyanya.
“Nggak tahu, tadi aku tinggalin Mama sama Om Damar. Hihihi...” Nadira terkikik geli.
Ardan tergelak, kepalanya menggeleng pelan. Ia dan Nadira memang sudah sepakat, mungkin sudah waktunya menyatukan ibunya dengan Damar. Terlebih setelah tahu, Damar-lah yang selama ini membantu menyelamatkan perusahaan dari serangan ayah Claudia.
.
.
.
Udara malam menyambut mereka begitu pintu kaca menuju balkon terbuka. Angin lembut berembus, membawa aroma bunga dari taman di bawah. Lampu-lampu kota berkelip jauh di sana, seakan menjadi saksi bisu.
Nyonya Rarasati menyandarkan tubuh di pagar balkon, kedua tangannya terlipat. Tatapannya diarahkan ke langit malam, namun jelas ada keresahan yang ia sembunyikan.
Damar berdiri beberapa langkah di belakangnya. Sejenak ia hanya diam, menatap punggung wanita itu.
Akhirnya pria itu membuka suara. “Terima kasih sudah mau ke sini. Aku tahu, bicara berdua denganku... pasti membuatmu tak nyaman.”
Nyonya Rarasati mendengus pelan. “Kau bilang takut orang-orang menggunjing ku, tapi kayaknya... kau lah yang takut kalau ada orang salah sangka pada kita.”
“Aku serius...” Damar mendekat perlahan, suaranya tenang tapi dalam. “Aku hanya tidak ingin kau terluka karena orang salah menilai. Aku bisa menanggung gunjingan, tapi tidak ingin kau terluka.”
Nyonya Rarasati terdiam, sudut matanya menoleh sekilas. Ada sedikit getaran yang ia sembunyikan di balik wajah dinginnya.
“Kenapa kau terdengar seolah-olah peduli sekali padaku, Damar? Bukankah kau menjauhiku selama ini?”
Damar menarik napas panjang, lalu menatapnya tanpa berkedip.
“Karena, aku memang peduli padamu. Aku menjauhimu karena memutuskan untuk menyelesaikan urusanku dengan Medina terlebih dahulu, sebelum aku menemuimu lagi sebagai... pria single. Kau juga yang bilang, tak ingin disebut sebagai wanita perusak rumah tanggaku.“
Kata-kata itu membuat dada Nyonya Rarasati berdegup lebih cepat, meski bibirnya masih berusaha menjaga garis tegas. “Jangan bermain-main denganku."
“Aku tidak bermain-main,” potong Damar cepat. “Percaya atau tidak, kau masih ada dalam hatiku."
Jantung Nyonya Rarasati semakin berdegup. Ia menelan ludah, berusaha tetap berdiri tegak namun tak mengatakan apapun.
“Ras… sebenarnya perceraian ini sudah lama tak bisa dihindari. Aku dan Medina sudah bertahun-tahun tidak hidup seperti suami istri. Hubungan kami hambar, hanya sekadar status.” Suara Damar terdengar berat, seolah ada beban yang baru saja ia lepaskan.
Ia menarik napas dalam, menatap kosong sejenak sebelum melanjutkan.
“Tapi kali ini… saat aku tahu dia berselingkuh, itu sudah melewati batas kesabaranku. Aku bisa menoleransi banyak hal darinya, tapi pengkhianatan ini... tidak. Apalagi, sejak awal… pernikahan kami bukan pernikahan yang sesungguhnya. Itu hanya perjanjian, tak pernah ada cinta di sana.”
Ia lalu mendekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Sorot matanya dalam, seakan mampu menembus tembok pertahanan yang selama ini Nyonya Rarasati bangun. “Aku tak pernah mencintai Medina, Ras. Sejak dulu sampai sekarang... aku hanya mencintaimu.“
Hening merambat, hanya suara angin dan detak jantung yang bergemuruh di telinga masing-masing.
Nyonya Rarasati akhirnya membuang tatapannya ke lampu kota. “Aku tidak tahu... harus percaya padamu atau tidak.”
Damar tersenyum tipis, meski sorot matanya penuh kesungguhan. “Baiklah, jangan percaya kata-kataku. Percayalah pada apa yang akan aku lakukan mulai sekarang padamu. Itu lebih jujur... daripada seribu kata janji.”
Wanita itu membisu, tapi jemarinya yang menggenggam pagar balkon tampak bergetar halus.
*
*
*
Ahay, mulai baper nih Mama Raras. Btw, aku tuh bingung panggilan buat Nyonya Rarasati, gpp lah... kdg Ra, Rara, Raras 🤣
___TBC.
Aku suka cerita kakak 👍👍👍