Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Baba 33
Malam itu usai perayaan kecil anniversary ketiga mereka, rumah dipenuhi kehangatan. Yudith sudah terlelap di kamarnya setelah ikut merayakan perayaan pernikahan kedua orang tuanya ,melihat orangtuanya saling bertukar kado dan cerita.
Andrew dan Nindya duduk di teras resort di tepi pantai hanya ditemani langit yang bertabur bintang dan debur ombak laut Angin malam berhembus lembut, membawa aroma hujan yang masih tersisa.
Andrew menggenggam tangan Nindya, menatapnya dengan sorot mata teduh.
“Terima kasih sudah bertahan bersamaku sampai sejauh ini,” ucapnya lirih.
Nindya tersenyum, meski matanya berkaca-kaca.
“Harusnya aku yang bilang begitu banyak hal yang membuatku ragu awalnya..”
Andrew terdiam, lalu tiba-tiba beranjak masuk kedalam kamar. Nindya mengerutkan kening, tapi tak lama kemudian Andrew kembali dengan sebuah kotak kecil berwarna merah marun dari beludru.
“Aku ingin kamu memakai ini” katanya.
Nindya menatapnya, bingung sekaligus tersentuh.
“Ndrew, ?”Ucap Nindya seilah tidak percaya melihat kilauan berlian dari dalam kotak itu.
Andrew tersenyum.
“Aku sudah lama mempersiapkan ini untukmu.”
Suasana mendadak hening, hanya suara dedaunan bergesekan yang terdengar. Nindya merasakan hatinya menghangat, seolah luka-luka kecil sebelumnya menemukan balutan lembut.
Andrew memasangkan kalung itu di leher jenjang Nindya
Malam itu terasa berbeda—bukan sekadar ulang tahun pernikahan, tapi awal dari sebuah janji baru: janji untuk terus saling menuntun, seberapa pun terjal jalan yang harus mereka lalui.
Satu bulan usai merayakan ulang tahun pernikahan ketiga mereka ,sudah masuk pada bulan dimana etnis tionghoa menjelang hari besar mereka.
Menjelang perayaan Chinese New Year, suasana kota mulai dipenuhi lampion merah, Mall mall etalase dan toko dihiasi ornamen emas.
Bagi banyak orang, ini adalah pertanda sukacita. Tapi bagi Nindya, nuansa itu justru menghadirkan keresahan. Ia tahu, di masa lalu Andrew selalu merayakan momen ini bersama Michelle dan keluarganya.
Beberapa minggu terakhir, sikap Andrew memang berubah. Ia sering pulang larut dengan alasan rapat bersama klien, sesekali juga terlihat gelisah meski berusaha menutupinya. Nindya yang selama ini berusaha sabar, kini hanya bisa memendam firasat yang kian menguat.
Suatu malam, saat mereka selesai makan bersama, Andrew membuka percakapan dengan nada hati-hati.
“Sayang…” suaranya terdengar tenang, tapi ada jeda panjang sebelum ia melanjutkan, “Beberapa waktu ke depan aku mungkin harus ke luar negeri. Perusahaan sedang menjajaki kerja sama dengan partner di sana.”
Nindya menatapnya, berusaha menjaga ekspresi tetap netral.
“Luar negeri? Ke mana?, berapa lama?” tanyanya pelan.
Andrew menarik napas.
“Guangzhou, dua minggu karena kan menjelang imlek juga sayang pasti mereka akan merayakannya.”
Hati Nindya terasa berat, entah mengaoa intuisinya mengatakan Andrew berbohong, apalagi kepergiannya kali ini menjelang imlek
“Oh begitu… semoga lancar urusannya sayang ,” jawabnya lembut.
Andrew menatapnya, seakan mencari sesuatu dalam ekspresi Nindya. Ia sempat ingin berkata lebih, tapi memilih diam.
Sementara itu, Nindya hanya bisa menunduk, berusaha menelan pahit yang menggumpal di dadanya. Ia tidak punya bukti apa pun untuk menuduh, tapi firasatnya semakin kuat ada sesuatu yang disembunyikan Andrew,
Hari-hari menjelang Imlek terasa berat bagi Nindya. Di luar, langit malam dihiasi kembang jalanan penuh hiasan merah keemasan, dan orang-orang sibuk dengan persiapan pesta keluarga. Namun di dalam dirinya, ada pergulatan yang tak bisa ia ceritakan pada siapa pun.
Andrew tampak tenang, tetap menjalani rutinitas, sesekali bercanda dengan Yudith, dan memberi perhatian pada Nindya seolah tak ada yang salah.
Justru sikap normal Andrew itulah yang membuat hati Nindya semakin gundah. Ia merasa Andrew sedang berusaha menutupi sesuatu.
Suatu malam, saat Andrew sibuk dengan laptopnya di ruang kerja, Nindya duduk di ruang keluarga sambil memandangi layar ponselnya. Ia tergerak untu membuka aplikasi berlogo abjad itu berwarna biru itu.
Cukup lama tangannya menggulir berandanya kemudian berniat mengetikan nama seseorang namun ia urungkan, karena ia tidak siap dan tidak tahu apa yang akan ia lihat di beranda nama yang ingin ia telusuri.
Ia menutup aplikasi itu serta meletakan ponselnya
Air matanya jatuh, tapi cepat ia hapus. Ia tidak mau Andrew tahu ia menangis lagi. Ia harus kuat.
Ketika Andrew keluar dari ruang kerja, Nindya tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.
“Sudah selesai, sayang?” tanyanya ringan.
Andrew mengangguk, menghampirinya, dan mengecup keningnya.
“Maaf, ya banyak yang harus dipersiapkan.”
Nindya mengangguk kecil, tidak bertanya lebih jauh. Dalam hatinya ia tahu, semakin ia mendesak, semakin Andrew mungkin akan menutup diri. Maka ia memilih diam, berharap doa dan kesabarannya bisa menjaga rumah tangga mereka.
Tapi jauh di dalam hati, bisikan itu tetap ada. Bisikan yang mengatakan Andrew tengah berbohong.
Beberapa menjelang hari kemudian , Andrew memberitahu Nindya bahwa ia harus berangkat.
“Aku terbang dari Changi, karena sekalian menjenguk Mama dulu.”
Nindya hanya mengangguk, meski hatinya terasa aneh. Ia sudah terbiasa dengan perjalanan bisnis Andrew.
Tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Nada suara Andrew terdengar sedikit terlalu hati-hati, seolah setiap kata sudah dipersiapkan.
“Kalau begitu hati-hati, ya. Jangan sampai lupa istirahat,” jawab Nindya pelan sambil mencoba tersenyum.
Andrew tersenyum hangat, mendekat lalu mengecup keningnya.
“Terimakasih sayang ,aku berangkat dulu.”
Namun, saat Andrew melangkah pergi meninggalkan rumah, ada kegelisahan yang makin kuat di hati Nindya. Ia mencoba menepis pikiran buruk, berdoa dalam hati agar semua baik-baik saja.
Yang tidak Nindya ketahui, tiket yang Andrew genggam bukan menuju Guangzhou. Dari Changi, ia memilih penerbangan lain—menuju Vietnam.
Negara tempat jejak masa lalunya masih tersisa, dan di sana Michelle menunggu berama dua anak mereka.
Selama penerbangan Andrew memilih untuk terlelap agar jarak yang akan di tempuh tidak terasa menyiksa.
Tanpa terasa jarak antara ia telah mendarat di bandara Tan Son Nhat , la melangkah keluar dari gate kedatangan dengan langkah mantap, namun hatinya bergejolak.
Pengeras suara bandara Tan Son Nhat mengumumkan kedatangan penerbangan dari Singapura, dan ia menarik napas panjang. Ia tahu betul, perjalanan ini bukan urusan bisnis seperti yang ia katakan pada Nindya.
Matanya menyapu kerumunan penjemput. Di antara wajah-wajah asing, tiba-tiba ia melihat sosok yang begitu familiar—Michelle.
Wajah itu masih sama seperti terakhir kali ia temui, hanya saja kini tampak lebih matang, sedikit lelah, namun tetap menampilkan senyum tipis yang menenangkan.
Di sampingnya berdiri dua anak mereka yang sulung, kini sudah menjadi anak perempuan cantik menatap Andrew dengan campuran rasa penasaran dan malu-malu.
Sementara si kecil, yang baru saja genap satu tahun, berada dalam gendongan Michelle, sesekali merengek kecil.
Andrew tertegun ada desir hangat sekaligus perih yang menyapu dadanya.
“Daddy…” suara lirih anak sulungnya terdengar ragu, tapi jelas.
Langkah Andrew seolah berat, namun tubuhnya bergerak sendiri mendekati mereka. Michelle tersenyum, meski sorot matanya menyimpan ribuan cerita yang tak terucap.
Andrew menelan ludah. Ada getaran aneh di tenggorokannya. Ia menyapa dengan suara pelan,
“How are you laopo?.”
Ketiganya berdiri di hadapannya kini. Michelle dengan tenang menyodorkan si kecil ke pelukannya. Andrew menerima, meski tangannya sempat bergetar.
Kehangatan tubuh mungil itu membuat hatinya seperti disayat —antara kebahagiaan, rasa bersalah, dan ketidakpastian.
Di sudut hatinya, bayangan Nindya dan Yudith berkelebat cepat, membuatnya semakin bingung pada arah yang sedang ia pilih.
mana nindya jd cewek terlalu lemot banget, di sakitin dikit nangis, coba jd cwek tu yg tegas, berpendirian, gedeg banget gw !