'Kegagalan adalah sukses yang tertunda.'
'Kegagalan bisa jadi pelajaran dan cambuk untuk terus maju menuju sukses.'
Dan masih banyak kalimat motivasi ditujukan kepada seseorang yang gagal, agar bisa bertahan dan terus berjuang.
Apakah kalimat motivasi itu berlaku dalam dunia asmara?
Nathania gagal menuju pertunangan setelah setahun pacaran serius penuh cinta. Dan Raymond gagal mempertahankan mahligai rumah tangga setelah tiga tahun menikah.
Mereka membuktikan, gagal bukan berarti akhir dari kisah. Melainkan kesempatan untuk melakukan sesuatu yang baru, lebih bernilai. Lahir dari karakter kuat, mandiri dan berani, setelah alami kegagalan.
Ikuti kisahnya di Novel ini: "Ketika Hati Menyatu"
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U. 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. KHM
...~•Happy Reading•~...
Setelah membaringkan Nathania di atas tempat tidur, Didit kembali keluar kamar untuk menelpon. Dia mau memberitahukan musibah yang terjadi di Bali kepada teman-teman Nike. Sedangkan Magda tetap di kamar menemani Nathania yang belum sadar.
Magda terus menggosok telapak tangan Nathania yang dingin, agar bisa hangat. Namun melihat kondisi Nathania, dia jadi cemas dan hatinya makin sedih. Dia segera keluar kamar untuk berbicara dengan Didit. "Dit, apa kita telpon dokter atau bawa Thania ke rumah sakit saja? Aku sangat khawatir."
Didit segera mematikan telpon. "Tunggu sebentar. Kita coba sadarkan dia." Ucap Didit saat melihat Bibi membawa minyak kayu putih sambil menangis terisak.
Magda mengangguk lalu mengambil minyak kayu putih dari tangan Bibi. "Bi, tolong bikin minuman panas." Ucap Didit sebelum masuk ke kamar menyusul Magda.
Melihat tubuh Nathania masih berbaring tidak bergerak, Didit segera menggosok kakinya yang dingin dengan minyak kayu putih. Begitu juga dengan Magda, dia menggosok dada dan sesekali hidung, juga pelipis Nathania.
"Magda, tolong jangan tinggalkan dia sendiri. Nanti aku yang pulang ambil ganti. Kau stay di sini, walau dia sudah sadar." Didit memberikan instruksi, sambil terus bergantian menggosok tangan dan kaki. Magda mengangguk dan terus menggosok sambil berdoa dalam hati.
~*
Sebelum pagi menjelang, Nathania menggerakan tangan dan kaki lalu membuka matanya perlahan. Dia terkejut melihat Magda dan Didit, juga Bibi ada di dalam kamar. Mereka semua mengucap syukur melihat Nathania memandang mereka satu persatu dan mulai mengenali mereka.
Beberapa saat setelah yakin Nathania telah siuman, Didit memberikan isyarat kepada Magda. "Thania, mari bangun lalu minum teh hangat ini. Kau harus kuat. Siapa yang akan urus rumah ini, kalau kau sakit?" Magda berkata sambil menepuk pelan tangan Nathania.
Mendengar ucapan Magda, air mata Nathania mengalir. Suara tangisnya kembali terdengar, pelan. Dia menopang tubuh dengan kedua tangan untuk bangun lalu duduk bersandar. Sambil terus menangis, dia mengambil cangkir dari tangan Magda. Dengan tangan dan bibir bergetar, dia coba minum sedikit teh hangat. Magda terus membantu agar Nathania bisa menghabiskan teh sebelum dingin.
"Terima kasih, Kak. Bisa temani aku ke Bali?" Nathania bertanya pelan, setelah mengingat kejadian yang menimpa kakaknya.
Mendengar permintaan Nathania, Didit mendekati Bibi. "Bibi, tolong masak bubur sangat lembek dan encer buat Thania." Didit memberi instruksi, sebab dia tahu, Nathania pasti akan meminta hal itu.
Setelah Bibi keluar dari kamar, Didit mengambil kursi meja rias, lalu duduk di depan tempat tidur, depan Nathania. Sedangkan Magda masih duduk di pinggir tempat tidur sambil terus menggosok tangan Nathania.
"Thania, kau tidak perlu ke Bali. Tinggal di sini sambil tunggu kabar dari Frans. Dia yang akan mengurus Nike untuk dibawa pulang ke sini." Didit mulai menjelaskan perlahan, agar Nathania bisa mengerti situasi yang terjadi.
"Iya, Thania. Tidak ada gunanya kau ke sana. Justru kau sangat dibutuhkan di sini." Magda menambahkan. Mereka silih berganti menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan Nathania di Bandung.
Sebagai teman Nike, mereka tahu Nathania akan sendiri hadapi musibah ini. Oleh sebab itu, Magda dan Didit sudah sepakat, akan membantu Nathania hadapi kehilangan kakaknya.
Mereka tahu dari apa yang sering dibicarakan Nike. Hanya ada dia dan Nathania setelah orang tua mereka meninggal. Sedangkan mereka tidak pernah berkomunikasi dengan saudara orang tuanya yang tinggal di luar kota.
"Jadi Kak Nike akan dibawa pulang ke sini, Mas?" Tanya Nathania dengan suara pelan.
"Kita tunggu keputusan Frans. Kalau tidak dibawa pulang, baru kita ke sana." Didit berkata tegas. Hal itu dilakukan, sebab Nathania dalam kondisi tidak stabil dan sangat sedih. Dia akan ambil keputusan apa saja, agar bisa bertemu kakaknya.
Saat Magda sedang menjelaskan maksud Didit, Bibi masuk ke kamar. "Mas, Mbak, bubur sudah matang. Mau dibawa ke sini?" Tanya Bibi dengan suara pelan, tapi Nathania mendengar. "Bibi, aku makan di meja makan saja." Ucap Nathania pelan.
Nathania menyadari dari apa yang dikatakan Didit dan Magda. Dia harus kuat dan terima, kakaknya sudah tiada. Sekarang ada tanggung jawab lain yang harus diurus.
"Mari, kami bantu..." Magda memegang tangan Nathania untuk turun dari tempat tidur. Lalu dibantu Didit berjalan keluar kamar, sebab Nathania agak oleng.
"Ini saya siapkan sarapan juga buat Mas dan Mbak." Bibi menunjuk meja makan, dimana sudah tersedia dua piring dan cangkir berisi teh mengepul. "Terima kasih, Bi. Saya sampai ngga berasa lapar." Didit baru menyadari sudah sangat lapar, saat melihat makanan yang disediakan di atas meja.
Berita meninggalnya Nike yang disampaikan Frans membuat mereka sangat shok. Sehingga berlari begitu saja ke rumah Nathania.
"Magda, kau makan juga dengan Thania, supaya kita bisa berpikir. Thania, paksa makan, ya. Aku perlu banyak informasi darimu untuk membantu, kalau Nike dibawa pulang ke sini." Didit berkata setelah minum teh hangat. Nathania mengangguk sambil air mata terus mengalir.
Mereka masih duduk di meja makan, walau sudah selesai makan. Didit dan Magda bersyukur, Nathania bisa menghabiskan bubur dan telur yang disediakan Bibi, walaupun perlu durasi yang lama.
"Thania, kita bisa bicara?" Tanya Didit, serius. Nathania mengangguk pelan. "Baik. Sambil menunggu kepastian dari Frans, tolong berikan nomor telpon keluargamu. Supaya aku bisa kasih tahu." Didit mengulurkan tangan ke arah Nathania.
"Aku ngga tahu, Mas. Eh, Bibi tolong ambil HP warung, ya." Nathania ingat ponsel warung. Dia berharap kakaknya menyimpan nomor telpon Om Felix di ponsel warung.
Namun setelah diperiksa, tidak ada nomor telpon Om Felix. Hanya ada nomor telpon orang yang berhubungan dengan warung. "Mas, tolong tanya Mas Frans. Mungkin Kak Nike simpan nomor telpon Om Felix di HP nya." Nathania ingat kakaknya berkomunikasi dengan Om Felix, saudara Papanya sebelum menikah.
"Oh, Om Felix yang dampingi Nike nikah. Hanya satu itu?" Tanya Didit lagi untuk meyakinkan. "Aku hanya tahu itu, Mas." Nathania bingung, sebab belum bisa fokus untuk mengingat-ingat.
"Yang penting bisa dapat satu itu Dit, nanti beritanya bisa di estafet." Magda menambahkan, agar Nathania tidak dipaksa berpikir. Walau dia agak heran, mengapa Nathania meminta ponsel warung.
Saat sedang mencari nama Om Felix, ponsel warung berbunyi. Didit berikan ponsel kepada Nathania. "Siapa?" Didit bertanya tanpa suara, karena tidak ada nama di layar ponsel. Nathania menggeleng, dengan wajah bingung.
Melihat Nathania bingung dan menggeleng, Didit mengulurkan tangan minta ponsel lagi, karena nomor itu terus menelpon. "Hallo, anda siapa?" Didit langsung bertanya, sebab kondisi tidak memungkinkan untuk berbasa-basi.
"Anda siapa? Thania di mana?" Orang yang telpon balik bertanya. Didit tidak menjawab, tapi menautkan alis sambil berpikir dan melihat Nathania.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
semangat Raymond❣️