Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.
Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.
Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.
Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.
Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.
Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:
“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di balik pesta kristal
Keesokan harinya, Dreadholt sudah ramai sejak pagi. Jalanan berbatu menuju gerbang besar dipenuhi deretan mobil-mobil mewah para bangsawan pada zamannya. Cat berkilau menyalakan cahaya matahari, suara pintu mobil yang dibuka sopir bersarung tangan terdengar rapi satu demi satu. Dari dalam mobil, muncullah para tamu—gaun panjang berlapis sutra, jas hitam dengan bordir emas, perhiasan yang memantulkan cahaya, dan senyum penuh percaya diri.
Perjamuan Grand Duchess memang belum dimulai, tetapi halaman dan kebun bunga sudah riuh. Para gadis bangsawan berkumpul, tertawa kecil, saling berbisik penuh pamer sembari memperlihatkan perhiasan dan gaun. Aroma parfum mahal bercampur dengan wangi mawar, lili, dan lavender yang memenuhi kebun, membuat udara terasa berat oleh keanggunan yang dipaksakan.
Di sisi lain keramaian itu, tiga sosok berjalan lebih tenang. Rosella melangkah paling depan, seragam pelayan berwarna hitam–putih membungkus tubuhnya dengan sederhana, meski potongannya lebih rapi dan elegan dari seragam harian biasa. Rambutnya diikat bersih ke belakang, langkahnya stabil, matanya dingin mengamati keadaan sekitar. Di sampingnya, Lyrra dengan postur tegap, seragam yang sama, wajahnya terlihat kalem. Dan di belakangnya, Feya—yang bahkan dengan kostum pelayan pun tetap sibuk mengomentari segala sesuatu.
“Lihat itu, lihat itu!” bisik Feya, matanya melirik ke arah seorang gadis bangsawan bergaun hijau tua dengan hiasan bulu menjulang di kepalanya. “Apa dia salah kostum? Itu bulu atau antena? Kalau ada angin sedikit saja, mungkin bisa menangkap sinyal radio.”
Lyrra buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. “Feya … jangan keras-keras. Kita ini pelayan, bukan tamu. Kau mau orang itu menoleh dan mengira kita kurang ajar?”
“Tapi Lyrr, coba bayangkan kalau aku pakai itu di kepalaku,” lanjut Feya dengan serius yang pura-pura. “Orang-orang pasti menaruh lampu di atasnya, lalu mengira aku tiang penerangan.”
Rosella akhirnya menoleh, tatapannya datar. “Kalian berdua terlalu berisik.” Nada suaranya tenang, dingin, tapi cukup membuat Lyrra langsung menegakkan tubuhnya. “Kalau kalian terus begitu, nanti aku juga yang akan kena tatapan curiga.”
Feya malah cepat-cepat menggamit lengan Rosella, pura-pura bergelayut manja. “Ah, Rosella … wajahmu yang dingin itu sudah cukup membuat semua orang diam menatap kita. Kau tahu tidak? Kau seperti patung marmer—indah tapi … menakutkan.”
Lyrra ikut menimpali dengan nada lembut. “Dia ada benarnya. Kau terlihat dingin, Rosella. Tapi justru karena itu, banyak mata yang memperhatikanmu, meski pura-pura sibuk dengan urusan mereka sendiri.”
Rosella hanya menatap sekilas ke arah bunga mawar, lalu melanjutkan langkah. “Kalau begitu, biarkan saja mereka memperhatikan. Aku tidak tertarik bersaing dalam parade bulu dan permata itu.”
Feya memasang wajah pura-pura tersinggung. “Hei! Jadi menurutmu aku juga bagian dari parade itu? Padahal aku memilih pita seragamku dengan hati-hati tadi pagi! Setidaknya sebut aku … hm … pemandangan indah yang menyejukkan mata.”
Lyrra akhirnya tidak bisa menahan diri dan tertawa kecil. “Pemandangan indah, katanya. Padahal baru saja kau mengolok gadis lain.”
“Itu beda!” Feya cepat membela diri, menepuk dadanya dengan gaya dramatis. “Aku tidak butuh bulu setinggi menara untuk terlihat menawan.”
Rosella hanya menoleh sebentar, tanpa ekspresi, lalu kembali berjalan. Senyum tipis yang hampir tak terlihat sempat muncul, tapi cepat sekali hilang.
Mereka bertiga terus melangkah menyusuri kebun, di antara tatapan ingin tahu dari para bangsawan. Tidak ada perhiasan berkilau atau gaun mencolok yang mereka kenakan, hanya seragam pelayan yang sederhana namun rapi. Tapi entah bagaimana, ocehan Feya dan ketenangan Lyrra membuat suasana di antara mereka jauh lebih ringan daripada pesta penuh pamer yang tengah berlangsung.
Namun langkah Rosella tiba-tiba terhenti ketika dari arah berlawanan, suara seorang pria menyapanya dengan nada lembut namun penuh keyakinan.
“Ah, ternyata kita berjumpa lagi.”
Rosella mengangkat wajahnya, dan matanya langsung membeku sepersekian detik. Itu bukan orang asing. Lelaki berambut pirang yang tegap, dengan senyum lembut yang khas—Lojareth.
Feya, yang ikut melihat jelas wajah itu, hampir melompat kegirangan. Ia menahan napas, matanya melebar seakan menemukan sesuatu yang selama ini tak ia duga.
“Bukannya kau …?” Suaranya tercekat, nyaris seperti bisikan, tapi jelas penuh keterkejutan.
Senyum ramah Lojareth semakin mengembang. Ia menatap mereka bertiga dengan sikap yang sama sekali tidak sombong, bahkan ada kehangatan yang sulit disangkal.
“Kita bertemu lagi, Nona,” ucapnya pelan, senyum itu terasa begitu alami, seolah ia memang terbiasa memperlakukan orang dengan kelembutan.
Di belakangnya, berdiri dua orang pengawal bersenjata yang wajahnya langsung dikenali Rosella. Ya, keduanya adalah sosok yang sempat ia lihat pada kejadian sebelumnya—tegap, sigap, dengan tatapan tajam yang tak memberi ruang untuk disepelekan.
Lojareth sempat menoleh pada mereka. Dengan suara tenang tapi penuh wibawa, ia memberi perintah,
“Segera persiapkan hadiah ulang tahun untuk Grand Duchess. Jangan sampai ada yang kurang.”
Kedua pengawal itu menunduk dalam-dalam sambil menjawab serempak,
“Baik, Pangeran.”
Kata sapaan itu—Pangeran—membuat ketiga pelayan itu sontak terdiam. Lyrra hanya bisa menahan napas, wajahnya menegang. Rosella sendiri, meski terkejut, tetap berusaha menjaga ekspresinya tetap kalem. Ia tidak ingin terlihat kehilangan kendali. Tapi lain halnya dengan Feya—ia benar-benar kehilangan akal.
“Pa–pangeran?! Tunggu—jadi selama ini … kau … oh Astaga! Kau pangeran?!” Suaranya meluncur cepat penuh kepanikan sekaligus kagum, membuat beberapa orang di sekitar sampai menoleh sebentar.
Rosella buru-buru menoleh pada Feya, memberi isyarat agar ia diam, sebelum akhirnya menunduk sopan pada Lojareth.
“Maaf … jika pada pertemuan sebelumnya saya tidak begitu menghormati Anda, Pangeran.”
Namun Lojareth hanya tersenyum, nada suaranya tetap hangat.
“Tidak masalah. Hanya karena kau tidak tahu identitasku, bukan? Aku mengerti.” Ia menatap Rosella dengan pandangan yang sulit ditebak, lalu menambahkan dengan nada lebih pelan, “Tapi menurutku, akan lebih baik jika kau tetap memanggilku seperti biasa.”
Ada jeda singkat. Rosella akhirnya membalas senyum tipis, menunduk sedikit lebih dalam.
“Kalau begitu … saya akan menurutinya.”
Feya menoleh ke Lyrra, mulutnya melongo sebelum bergumam cepat, “Apa aku satu-satunya yang merasa seperti baru saja pingsan setengah nyawa?” Lyrra menahan tawa, meski matanya masih tak lepas dari sosok Lojareth.
Lojareth lalu melangkah sedikit mendekat, pandangannya lembut tapi penuh rasa ingin tahu.
“Jadi … kalian bertiga bekerja di sini?” tanyanya sembari melirik Rosella, kemudian menggeser tatapan ke arah Lyrra. “Aku belum berkenalan denganmu sebelumnya.”
Rosella menunduk sedikit, lalu menjawab dengan tenang, “Ya, kami bekerja untuk Grand Duchess. Dan … ini Lyrra.”
Lyrra buru-buru menunduk hormat, suaranya hampir tak terdengar.
“Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia.”
Lojareth mengangkat tangannya pelan, senyumnya tak berubah.
“Cukup sebut aku Lojareth saja. Tak perlu formalitas berlebihan, terlebih pada hari seperti ini.”
Feya lagi-lagi tidak bisa menahan diri. Ia mendekat pada Rosella, berbisik dengan nada yang jelas bisa didengar semua orang, “Astaga, Rosella, kau benar-benar bisa tetap tenang di depan seorang pangeran? Kalau aku, mungkin sudah jatuh pingsan sejak tadi!”
Rosella hanya menghela napas, matanya sekilas melirik Feya dengan ekspresi datar—seakan mengatakan kau terlalu berlebihan. Namun dalam hatinya, ia sendiri tak bisa menyangkal kalau pertemuan ini memang mengguncang dirinya.
.
Suasana koridor besar kediaman Grand Duchess yang semula hanya ramai oleh lalu–lalang pelayan dan prajurit, mendadak menegang ketika sebuah suara lantang dan penuh nada merendahkan terdengar.
“Ah, ternyata benar. Tidak kusangka seleramu semakin rendah, Lojareth. Bahkan seorang pelayan pun kau ladenin.”
Langkah semua orang terhenti. Beberapa pelayan yang lewat buru-buru menunduk, menyibak jalan. Rosella, Feya, dan Lyrra yang berdiri di samping Lojareth otomatis menunduk dalam, meski ekor mata mereka tak luput menangkap sosok yang baru datang.
Seorang pria tinggi menjulang, bahunya bidang, jubah ungu gelap berlapis emas menjuntai anggun ke lantai. Rambut cokelat keemasan disisir rapi ke belakang, memantulkan cahaya obor di sepanjang dinding. Sepasang matanya—biru keabu-abuan, tajam dan menusuk—memancarkan arogansi yang tak bisa disembunyikan. Dialah Putra Mahkota Ardent Corvalis.
Udara di koridor itu terasa berbeda, seolah semua orang dituntut untuk lebih menahan napas.
Lojareth menoleh perlahan. Senyum lembut tetap ia pertahankan, meski jelas ada bayangan getir di balik tatapannya. “Kukira Kakak Pertama tidak akan datang ke pesta ulang tahun Grand Duchess.”
Putra Mahkota mengangkat dagunya, mendengkus dengan sikap meremehkan. “Kakak? Aku bukan kakakmu.” Tatapannya melirik tajam, penuh penolakan, seakan ucapan itu sebuah penghinaan.
Ia maju setapak, lalu dengan suara yang sengaja dibuat keras agar terdengar siapa saja yang ada di koridor, ia melanjutkan. “Anak selir rendahan sepertimu … apa pantas sejajar denganku? Bahkan menyapaku dengan sebutan itu sudah merupakan arogansi yang menjijikkan.”
Kata-kata itu menusuk. Bahkan Rosella yang mendengarnya bisa merasakan dinginnya, seolah udara di sekeliling mereka membeku. Lyrra menunduk semakin dalam, sementara Feya menggigit bibirnya agar tidak bersuara.
Namun Lojareth hanya tersenyum tipis. Senyum yang bagi orang luar terlihat tenang, tetapi Rosella tahu—dari tatapan matanya yang berusaha tetap lembut—bahwa hati pria itu diguncang oleh rasa jengah yang ia tekan habis-habisan.
Rosella akhirnya melangkah setapak maju. Ia menunduk hormat, tetapi suaranya keluar dengan tenang, jelas, dan penuh maksud.
“Putra Mahkota …,” ujarnya pelan. “Orang yang benar-benar berada di puncak, tak akan perlu repot-repot merendahkan orang lain untuk membuktikan ketinggian dirinya.”
Kata-kata itu terdengar seperti ucapan sopan, tapi nada halusnya membawa sebuah sindiran tajam.
Putra Mahkota menoleh cepat. Tatapannya menyipit, menusuk Rosella dengan ketidaksukaan yang begitu jelas. “Dan kau .…” Suaranya dingin. “Pelayan rendahan, berani sekali membuka mulutmu di depanku. Jangan kira wajah manismu bisa menyelamatkanmu. Tempatmu hanyalah menunduk, mengangguk, dan diam.”
Feya sudah ingin menahan lengan Rosella, tapi gadis berambut pirang itu tetap tegak, masih menunduk sedikit sesuai adab, namun suaranya tak bergetar sedikit pun ketika menjawab.
“Jika suara kecil dari seorang pelayan bisa membuat Yang Mulia marah, barangkali bukan aku yang terlalu lancang … melainkan hati Anda yang terlalu mudah tersentuh.”
Sejenak, hening menelanjangi udara. Lyrra menahan napas, Feya terbelalak. Para prajurit di sekitar bahkan sempat saling pandang. Itu adalah keberanian yang nyaris nekat.
Mata Putra Mahkota menyala dengan amarah yang ditahannya. Ia menatap tajam Rosella, seolah ingin menelannya hidup-hidup. Namun di sekitarnya banyak mata yang mengawasi, dan ia tahu reputasinya sebagai pewaris tak boleh ternoda hanya karena debat dengan seorang pelayan.
Dengan gerakan cepat, ia mengibaskan jubah ungunya yang panjang. “Mulutmu sungguh lancang. Aku tidak akan lupa bagaimana bentuk wajahmu!” Nada suaranya menusuk, penuh ancaman tersirat.
Tanpa menunggu jawaban, Putra Mahkota melangkah pergi, langkah-langkahnya bergema angkuh, meninggalkan hawa emosi yang masih menempel di dinding koridor.
Rosella tetap menunduk, tak bergeming, meski dalam dadanya jantung berdetak kencang. Feya hampir pingsan karena takut, sementara Lyrra hanya bisa menghela napas dalam-dalam.
Lojareth menatap Rosella dari samping. Ada sorot terkejut yang tak bisa ia sembunyikan, lalu perlahan ia tersenyum kecil—senyum yang kali ini bukan lagi sekadar topeng lembut, melainkan sebuah rasa kagum yang tulus.
.
.
.
Bersambung
Hallo guys gimana kabarnya? Maaf kemaren nggak update soalnya lagi gegana alias gelisah galau merana soalnya belum gajian dan kebetulan kuota habis terus wifi lemot, duhhh menyiksa sekali😔 walaupun sekarang juga belum gajian, hikss:'( maap curhat:v
masak gitu aja ga ngerti 😁