Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23 : Obat dan Racun.
Lian Hua terdiam, menatap Yi Chen yang kaku berlutut di lantai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia segera berbalik menuju sisi tempat tidur. Tangannya cepat meraih pergelangan tangan Wei Ming, mencari denyut nadi yang lemah di balik kulit tipis pria tua itu.
Wei Ming yang hanya bisa terbaring mengerutkan kening, suaranya pelan tapi sarat ejekan. “Gadis tidak tahu diri… apa yang kau lakukan?”
Lian Hua memutar matanya, menarik napas singkat. “Mungkin… aku hanya mencoba menunda waktu kematianmu.” Suaranya lirih, tapi mantap.
Ia kembali menunduk, jari-jarinya menekan nadi Wei Ming. Hening sesaat ketika ia merasakan denyut itu sangat tipis, hampir terputus, seakan setiap detik adalah perjuangan.
Dengan hati-hati, Lian Hua mengangkat tangan Wei Ming. Begitu ia mencoba menggerakkannya sedikit, tubuh tua itu bereaksi lemah, otot-ototnya nyaris tak memberi perlawanan. Lian Hua menggeleng pelan, lalu beralih ke kakinya, mengulang pemeriksaan yang sama. Hasilnya tak berbeda. Hampir semua otot Wei Ming kehilangan tenaga, rapuh seolah tak lagi mampu menyangga hidup.
Kening Lian Hua berkerut. Suaranya terdengar rendah, lebih kepada gumaman untuk dirinya sendiri. “Semua ototnya melemah… mungkin inilah alasan kenapa tubuhmu hanya bisa terbaring di atas tempat tidur.”
Ia terdiam sejenak, lalu bibirnya bergerak lambat menyebutkan sesuatu dengan serius, “Penyakit ini… mirip dengan Amyotrophic Lateral Sclerosis.”
Yi Chen dan Wei Ming sama-sama tertegun mendengar kata-kata Lian Hua. Wei Ming bahkan sempat menghela napas pendek sebelum menatap tajam. “Gadis ini… bukan hanya tidak tahu diri, tapi juga sok pintar.” Suaranya penuh cemooh, meski terselip sedikit kegelisahan.
Lian Hua mendengus, matanya berkilat kesal. Tanpa banyak bicara ia merogoh jubahnya, mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan pekat berwarna kehijauan.
Yi Chen mencoba menggerakkan tubuhnya yang tidak bisa digerakan olehnya. “Apa yang kau keluarkan itu? Jangan bermain-main di sini, Lian Hua.”
Sekilas, Lian Hua meliriknya dengan tatapan malas. “Tenang saja. Anggap saja ini bisa jadi racun sekaligus obat untuknya.” Ia mengangkat botol itu, memperhatikan cairan di dalamnya berputar pelan.
Yi Chen semakin menegang. “Racun?” geramnya.
“Racun… karena rasanya membuat siapa pun ingin memuntahkannya,” jawab Lian Hua santai. “Obat… karena mungkin bisa menunda sedikit waktunya sebelum benar-benar mati.”
Tanpa menunggu restu siapa pun, ia duduk di tepi ranjang Wei Ming. Tangannya dengan cepat membuka tutup botol dan menempelkan bibir botol ke mulut pria tua itu. Cairan herbal itu mengalir perlahan, melewati sela gigi, menyentuh lidah, hingga akhirnya tertelan.
Wei Ming tersentak. Tubuhnya yang lemah bergetar halus, wajahnya meringis dengan rasa pahit yang menusuk. Sejenak ia bahkan hampir memuntahkannya, namun tubuh yang sudah terlalu rapuh hanya bisa menelan paksa.
“Sialan kau…gadis tak tau diri.”
Lian Hua menatapnya tanpa berkedip, matanya teduh tapi penuh tekad. “Jika kau merasa mual… anggap saja itu harga yang pantas untuk tetap bisa bernapas lebih lama.”
Efek obat yang merambat di tubuh Yi Chen perlahan memudar, seiring dia memaksa tubuhnya terus bergerak meski rasa sakit masih menyengat di persendian. Napasnya tersengal, tetapi genggamannya pada lantai mulai mengendur. Dengan terhuyung, ia bangkit dari posisi berlutut. Otot-ototnya menegang, wajahnya menunduk, lalu perlahan terangkat dengan sorot mata kuning menyala penuh amarah.
Tangannya mengepal hingga urat-urat menonjol. Setiap langkahnya berat, namun tekadnya mengalahkan rasa lemah yang masih tersisa. Suara hentakan kakinya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.
“Lian Hua…” panggilnya, suaranya serak, bercampur geraman seperti binatang buas yang siap menerkam.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂