NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 30

"Ada apa sayang hmm?." tanyanya sambil menyibakan rambut Istrinya dengan lembut, alih alih menjawab tangis Nindya pecah, Andrew semakin kalut.

Ia merengkuh istrinya dalam dekapan dada bidangnya dan menepuk nepuk bahu Nindya yntuk menenangkannya.

“Sayang.. pesawat yang di tumpangi Ibu dan Bapak tumpangi... jatuh.” Suaranya parau dan tangisnya kembali pecah.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," Ucap Andrew sambil mengusap wajahnya.

Andrew terdiam sesaat dunia seakan berhenti. Ia hanya bisa memeluk Nindya yang langsung terisak dalam pelukannya. Yudith, yang belum mengerti apa-apa, ikut menangis karena melihat Mamanya menangis begitu keras.

Sepanjang hari ponsel tidak lepas dari genggaman Nindya, keesokan harinya ia sengaja minta cuti demi mengikuti perkembangan kecelakaan yang menimpa Ayah dan Ibunya itu.

Andrew tidak tinggal diam ia sangat mengkhawtirkan kondisi mental Istrinya pun turut mengajukan cuti hari itu

Kepastian pahit datang nama kedua orang tua Nindya tercantum dalam manifes penumpang yang meninggal dunia.

Dan yang membuat Nindya pilu keberadaan jenazah para korban belum di temukan tim SAR masih berupaya mencari keberadaannya.

Saat mendengar kabar itu Wajah Nindya semakin memucat.

“Kuat sayang.. kuat sayang,” bisiknya lirih sambil menguatkan pelukan.

Namun Nindya yang tidak kuat menerima kenyataan itu kembali jatuh pingsan.

Hari-hari berikutnya menjadi gelap bagi Nindya. Rumah yang biasanya dipenuhi tawa berubah sunyi.

Nindya menjadi pemurung dan menolak bicara, air matanya seakan tak pernah kering.

Nindya bagai patung hidup, setiap detiknya ia habiskan dengan diam dan menangis, matanyanya tampak cekung dan semakin tirus

“Sayang... jangan begini makan ya sayang.”Bujuk Andrew sambil menyuapkan nasi kemulut Nindya, namun istrinya hanya menggeleng.

"Kalau begini... aku yang sekarang takut kehilangan kamu sayang." Ujar Andrew sambil merengkuh Nindya dalam pelukannya.

"Kenapa harus aku... Kenapa ya Allah." Tiba tiba Nindya teriak histeris Andrew dengan sigap merangkul Nindya.

"Istighfar sayang.. istighfar, Allah memilihmu karena kamu sanggup." Bisiknya sambil membelai rambut dan menciumi kening istrinya.

"Aku sendirian ...aku tidak punya siapa siapa lagi."Ratap Nindya.

"Ada aku.. ada Yudith , kamu tidak sendirian sayang."

Kondisi Nindya semakin memprihatinkan kepergian kedua orangtuanya dalam satu waktu , menggoncang jiwanya

Hal itu mempengaruhi ritme kehidupan Andrew konsentasinya pecah saat dikantor karena memikirkan istrinya, saat ia akan meninggalkan rumah hatinya was was takut terjadi hal hal yang tidak diinginkan.

Setiap lima menit memantau keadaan rumah melalui cctv yang terhubung diponselnya.

"Sayang kamu tidak sendirian , ada aku sayang, jangan berfikir yang tidak tidak ya? aku pergi kekantor dulu."Pesannya sambil menatap prihatin kearah Istrinya.

Tiga minggu setelah kabar duka itu,suasana rumah Nindya masih diliputi kesedihan. Foto kedua orang tuanya yang kini berbingkai hitam terpajang di meja ruang tamu, setiap kali melewati sudut itu, hati Nindya seperti di sayat.

Ada malam-malam di mana ia menangis sendirian, duduk di lantai kamar sambil memeluk sajadah, merasa kosong dan kehilangan arah.

Andrew, meski sering lelah sepulang kerja, selalu bangun ketika mendengar isakan lirih itu. Ia tidak banyak bicara, hanya duduk di samping Nindya, menggenggam tangannya erat, seolah berkata bahwa ia tidak sendirian.

Nia sahabatnya sesekali datang untuk menguatkannya.

"Kamu tahu kan Nind, Allah tidak akan menguji hambanya sekiranya hambanya tidak sanggup?." Ucap Nia sambil menggenggam tangannya.

"Tapi Nia ini terlalu berat, rasanya aku ingin ikut mereka."

"Hussh! ..Ingat ada Yudith yang masih butuh kamu jangan ngawur."

Yudith pun menjadi alasan kuat bagi Nindya untuk tetap berdiri. Setiap kali anak kecil itu memeluknya sambil berkata polos,

“Mama jangan nangis lagi ya” hatinya luluh.

Hari demi hari, perlahan Nindya mulai bisa enerima keadaan dan tersenyum kembali—walau sesekali air mata masih jatuh.

Namun satu hal yang pasti, dari kehilangan besar itu ia semakin sadar Andrew benar-benar menepati janjinya untuk selalu ada.

Hari-hari setelah kehilangan itu memang berat, tapi waktu perlahan memberi ruang bagi hati Nindya untuk kembali bernapas.

Ia mulai berusaha menjalani rutinitas seperti biasa. Pagi-pagi, Nindya kembali menyiapkan sarapan sederhana untuk Andrew dan Yudith, meski kadang tangisnya kembali pecah saat kerinduan itu datang menyeruak.

Andrew selalu mendampingi dan menguatkan istrinya,ia sadar betul bahwa peristiwa tragis yang menimpa Mertuanya menjadi pukulan terbesar dalam hidup Istrinya.

Di meja makan, Andrew sering melontarkan gurauan kecil hanya untuk membuat Yudith tertawa—dan tawa Yudith itu, tanpa disadari, menjadi obat tersendiri bagi Nindya.

Di kantor, Nindya juga berusaha menjaga profesionalitas. Meski hatinya masih rapuh, ia berusaha bangkit dan tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan

Rekan-rekannya beberapa kali menanyakan kabarnya dengan penuh simpati, dan Nindya hanya menjawab dengan senyum tipis,

“Aku sudah berdamai dengan keadaan.” Padahal sesungguhnya, kekuatan itu bersumber dari Andrew yang setia menemaninya.

Suatu malam, setelah Nindya selesai menidurkan Yudith, ia duduk bersama Andrew di teras rumah. Udara malam begitu tenang, hanya suara dengung Ac menemani. Nindya bersandar di bahu Andrew dan berbisik pelan,

“Terima kasih ya, sayang...”

Andrew merangkulnya erat, menatap langit yang bertabur bintang.

“Tidak perlu berterimaksih sayang, itu kewajibanku sebagai suami mendampingi kamu dalam suka dan duka”

Ucapan itu membuat hati Nindya bergetar. Untuk pertama kalinya sejak orang tuanya tiada, ia merasa ada rumah baru—rumah yang dibangun bukan dari tembok, tapi dari kasih sayang Andrew dan Yudith.

Malam itu, Nindya tersenyum dengan tulus. Luka itu masih ada, tapi perlahan digantikan oleh kekuatan untuk menata hidup baru bersama orang-orang yang ia cintai.

Suasana rumah telah kembali ceria setelah tiga bulan kepergian orang tua Nindya, di hari libur itu keduanya memutuskan untuk quality time di rumah saja.

Sore itu suasana rumah begitu hangat. Nindya, Andrew, dan Yudith duduk bersama di ruang keluarga.

Tawa kecil Yudith memenuhi ruangan ketika Andrew pura-pura menjadi kuda-kudaan yang ditunggangi anak kecil itu. Nindya hanya tertawa sambil merekam momen tersebut di ponselnya—momen sederhana yang penuh kebahagiaan.

Namun kehangatan itu buyar ketika tiba-tiba ponsel Andrew yang tergeletak di meja berdering. Nama yang tertera di layar membuat Andrew refleks menegang—Mother.

Sekilas ia menatap layar, lalu buru-buru menempelkan telunjuk ke bibirnya, memberi isyarat agar Nindya dan Yudith diam.

Nindya yang semula tersenyum langsung terdiam. Gerakan kecil Andrew terasa seperti tamparan di wajahnya. Ada sesuatu yang disembunyikan.

Andrew bergeser, mengangkat telepon dengan suara yang diturunkan sedemikian rupa.

 “Halo, Ma...” katanya, suaranya terdengar kaku, seakan khawatir didengar orang lain. Ia berjalan kearah balkon.

Nindya menatapnya dari jauh, dadanya terasa sesak. Kenapa ia tidak boleh bersuara saat "Ibu Mertuanya."

Begitu panggilan berakhir, Andrew berusaha kembali bersikap biasa, bahkan mencoba menggoda Yudith lagi. Tapi tatapan Nindya dingin, senyum itu sudah lenyap.

“Kenapa kami tidak boleh bersuara?” suara Nindya pecah, lirih namun tajam.

Andrew terdiam, mencoba mencari alasan. “Nindya, Mama itu pendengarannya sudah sangat berkurang itu sebabnya aku meminta kalian untuk tidak bersuara.—”

“Oh ya?, bukan karena hal lain?!."Sahut Nindya Dingin

Pertanyaan itu menggantung di udara. Andrew menghela napas panjang, tapi tidak mampu memberi jawaban yang memuaskan.

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!