"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekesalan Sewindu
Sewindu turun dari motor matic yang mengantarnya pulang malam ini. Dia tersenyum ramah dan berterima kasih pada pengemudinya.
Dengan tangan yang mendorong pagar basah, Sewindu memandangi pekarangan yang masih kosong.
Jangankan mobil Wisnu, seluruh lampu rumah bahkan belum menyala. Sudah pasti pria itu tidak pulang sama sekali setelah mengantarnya tadi.
Dibiarkannya pagar itu terbuka begitu saja. Tak lupa, dia tinggalkan payung kuning milik Naya di teras — mengeringkannya di antara angin malam.
“Tahu gitu, aku pesan ojek dari tadi aja!” gerutu Sewindu dengan bibir mengerucut.
“Lagian berharap apa sih, Ndu? Mas Wisnu udah pasti lebih milih buat nemenin pacarnya daripada jemput kamu!”
Kaus kaki basah itu dia banting keras di atas lantai teras. Benar saja, kakinya sudah memucat dan keriput di sana.
Tak langsung masuk dan membersihkan diri, Sewindu malah duduk di selasar rumah seraya meluruskan kakinya yang sudah lelah karena berdiri cukup lama.
Saat itu juga, sebuah mobil putih memasuki area pekarangan rumah. Siapa lagi kalau bukan Wisnu.
Sewindu tak sedikit pun berdiri dari tempatnya. Dia bahkan tak memedulikan kedatangan pria itu.
Matanya menatap nanar pada sepatunya yang basah kuyub di tangannya. Digoyangkannya benda itu, berusaha mengeluarkan sisa air dari dalamnya.
“Kan sudah saya bilang, tunggu saya jemput!”
Gadis itu memejamkan matanya dan menghela nafas cukup panjang. Dia tak memiliki energi untuk membalas emosi Wisnu itu.
“Kamu dengar saya nggak sih, Ndu?”
Sewindu mendongak. Matanya yang memerah lelah menatap lurus pada Wisnu.
Sewindu tak akan pernah takut dengan tatapan tajam itu.
Sewindu meregangkan otot lehernya yang menegang perlahan. Menimbulkan suara renyah di antara mereka.
Pria itu beracak pinggang. “Kamu tahu nggak, saya kerepotan nyari kamu di kampus barusan!”
“Aku kan udah bilang, Mas. Aku bisa pulang sendiri,” sahut Sewindu dengan tenangnya.
Dirogohnya saku rok hitam yang setengah basah, dia berikan lembaran uang yang sedikit basah pada Wisnu. “Nih, sisanya. Makasih.”
Setelahnya, dia berderap masuk ke dalam rumah tanpa ingin berlama-lama lagi melihat Wisnu. Dia sedang tak berminat melihat wajah dingin itu.
Sementara itu, Wisnu meremas erat segenggam uang kertas itu. Matanya lurus pada punggung Sewindu yang sedikit tembus pandang.
“Kalau kamu nggak mau nurut sama saya, mending nggak usah nikah sama saya, Ndu.”
Langkah Sewindu terhenti. Tangannya menggigil, memegang gagang pintu kamar yang dingin.
Matanya memejam pelan. “Boleh nggak, kalau aku bersih-bersih dulu. Baru setelah itu terserah Mas Wisnu mau marahin aku selama apa pun.”
Setelah mengatakan itu, Sewindu tak lagi menunggu jawaban. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan berderap menuju kamar mandi setelah mengambil baju ganti.
...****************...
Uap air mendidih menyapa wajah manisnya. Sewindu berusaha menghangatkan tubuhnya di depan kompor yang menyala.
Desis air terdengar saat dia mulai menuangkan air itu ke dalam cangkir berisi sekantung teh celup. Bersamaan dengan suara tapak kaki yang kian mendekat.
Gerakan tangan Sewindu yang mencelupkan kantung teh itu memelan. Tak ingin buru-buru membalikkan tubuhnya.
“Windu,” panggil Wisnu dari belakang sana.
Sewindu terdiam, begitu pula dengan tangannya. Tenggorokkannya terlalu kering untuk bicara sekarang.
Gadis itu akhirnya membalikkan tubuhnya. Matanya yang sedikit memerah karena kedinginan, menatap lurus pada Wisnu.
“Kalau kamu menyesal menikah dengan saya, bilang saja sekarang.”
Sewindu masih diam. Namun, kali ini dia menunduk dan tersenyum simpul. Tangannya langsung memegang dinding cangkir tanpa mengenal panas.
“Kenapa? Pacar Mas Wisnu sudah mau menikah sama Mas Wisnu? Sudah berubah pikiran?”
Pria itu mengerutkan keningnya. “Ini nggak ada sangkut pautnya sama Dara, Ndu.”
“Oh, namanya Mbak Dara?” Sewindu mengulang nama itu. "Cantik."
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Ndu,” timpal Wisnu dengan tatapan datar.
Meski di dalam ruangan yang sama, mereka memberi jarak cukup jauh di antara satu sama lain. Seolah berdekatan adalah hal yang tabu.
“Masih terlalu cepat, Mas Nu. Memangnya, pernikahan ini sudah berjalan berapa lama, sampai kamu nanyain hal itu?”
Bertolak belakang dengan secangkir teh hangat yang menguarkan aroma menenangkan. Percakapan mereka jauh dari kata hangat, terlalu dingin.
Sewindu tersenyum konyol. “Magang aja butuh minimal 3 bulan, Mas Nu. Ini kita belum sampai selama itu.”
“Kamu terganggu dengan hubungan saya bersama Dara?” tanya Wisnu tanpa basa-basi lagi.
“Aku udah bilang dari awal, aku nggak masalah sama hubunganmu itu, Mas.”
Wisnu mengikis sedikit jarak di antara mereka. “Terus, kenapa sikap kamu begini? Sok dingin! Sok cuek!”
"Kamu tahu, Ndu? Saya harus ninggalin pacar saya sendirian di rumahnya tadi gara-gara harus jemput kamu!"
Sewindu ikut mendekat. Senyuman tipis tak sedikit pun luntur dari wajahnya. Kini, hanya meja makan yang menjadi jarak di antara mereka.
"Kamu ninggalin dia di rumahnya kan?"
Gadis itu menumpukan kedua tangannya di atas meja. “Kamu tahu nggak, berapa lama aku nunggu sambil hujan-hujanan di depan kampus, Mas?”
Gadis itu menggigit bibirnya sendiri, pipinya ikut menggembung bulat menahan umpatan yang ingin sekali dia lontarkan pada Wisnu malam ini.
“Udah gitu, kamu datang-datang langsung marah-marah! Harusnya aku yang marah, Mas!”
Sewindu menjauhkan tangannya dari cangkir panas di atas meja itu. Menahan dirinya agar tidak menyiram wajah Wisnu yang tampak menyebalkan saat ini.
Melihat Wisnu yang bergeming, Sewindu mulai geram. Ditegakkannya tubuhnya bersama helaan nafas cukup keras.
“Maaf,” katanya,”Itu kan yang Mas Wisnu tunggu dari tadi?”
Setelahnya, gadis itu berjalan menjauh dari sana. Meninggalkan secangkir teh panas yang dia buat dengan sia-sia.
Sementara, Wisnu masih diam menatap perginya punggung penuh geram itu. Dia tahu Sewindu kini tengah menahan kesal padanya.
“Kalau emosi tuh keluarin aja,” ucapnya menahan langkah Sewindu.
Gadis itu sontak kembali berbalik. Wajahnya sudah merah padam, bagai bom waktu yang siap meledak kapan pun.
“Gitu?” tanya Sewindu, sedikit menantang.
Dia kembali berderap, mengikis jarak di antaranya dan Wisnu. Tak peduli bahwa dia harus merelakan lehernya mendongak tajam pada pria jangkung itu.
Sementara itu, Sewindu tak tahu bahwa Wisnu kini tengah menahan tawanya mati-matian. Sewindu tak tahu bahwa emosi Wisnu sudah reda sejak beberapa saat yang lalu.
Melihat Sewindu dari jarak sedekat itu, Wisnu dapat melihat dengan jelas mata Sewindu yang kian membulat.
“HIH!”
Sewindu meraup wajah tampan itu dengan tangannya, hingga kacamata Wisnu melorot ke ujung hidung mancungnya.
Sewindu mana berani melakukan lebih dari itu? Meski kakinya sudah gatal ingin menendang dan jemarinya butuh peregangan dengan menjambak rambut lebat itu.
Berbeda dengan Sewindu yang masih menahan kesalnya, Wisnu justru kebalikannya.
Pria itu membenahi kacamatanya yang turun akibat ulah Sewindu. Matanya lantas kembali menatap jelas sosok Sewindu.
“Sudah?” tanyanya seraya menunduk.
Sewindu akhirnya memundurkan tubuhnya. “Sudah!” jawabnya ketus.
Wisnu sontak tersenyum kecil. Dia mengacak rambut yang dicepol tinggi itu, sebelum melangkah pergi menuju kamarnya.
Sewindu yang ditinggalkan begitu saja, membeku di tempat. Dia menoleh pada Wisnu yang kian menghilang di balik dinding.
"NGGAK JADI MARAH-MARAH!?" serunya lantang.
Namun, hanya suara pintu tertutup yang menyambutnya.