Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jalan pulang
Udara sore di halaman rumah sakit militer itu terasa berbeda.
Bukan sekadar semilir angin yang melewati pepohonan rindang, melainkan semacam isyarat bahwa sebuah perjalanan panjang dan kelam akhirnya benar-benar sampai pada ujungnya.
Hari itu, setelah berbulan-bulan dirawat intensif, menjalani operasi demi operasi, dan menanggung rasa sakit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, Pak Jono akhirnya dinyatakan boleh pulang.
Di ruangan VIP khusus isolasi yang kini lebih mirip kamar biasa, Pak Jono duduk di kursi roda. Lengan kirinya,yang dulu hangus terbakar masih terbalut perban tipis, menutupi bekas luka yang sudah kering tapi meninggalkan jaringan parut tak terhapuskan.
Kaki kanannya yang patah kini ditopang pen besi. Ia masih sulit berjalan tanpa tongkat atau bantuan kursi roda.
Namun, dibandingkan ketika pertama kali ditemukan drone tim operasi gabungan tiga negara, keadaannya jauh lebih baik.
Ia masih hidup, dan itu saja sudah mukjizat.
Seorang dokter kolonel dengan wajah teduh masuk membawa berkas terakhir.
"Pak Jono," katanya sambil tersenyum, "hasil pemeriksaan pagi ini menunjukkan perkembangan luar biasa.
Kondisi paru-paru Bapak sudah stabil, tekanan darah normal, dan tidak ada infeksi lanjutan. Jadi, dengan ini… Bapak resmi diperbolehkan pulang."
Kalimat itu sederhana, tetapi terasa bagai dentuman gong kemenangan. Pak Jono menunduk, matanya berkaca-kaca. "Alhamdulillah...ya allah" bisiknya pelan. Ia menutup wajah dengan telapak tangan yang masih gemetar, menahan haru yang mendesak keluar.
Para perawat dan petugas medis yang selama ini merawatnya berkumpul di lorong depan kamar. Ada rasa lega, sekaligus sedikit enggan melepas pasien yang sudah seperti keluarga sendiri.
“Pak Jono itu pasien paling kuat yang pernah saya tangani,”
kata salah satu perawat perempuan muda kepada rekannya.
“Bertahan dalam kondisi segawat itu, lalu pelan-pelan membaik… Saya bahkan sering berpikir, mungkin Bapak ini punya nyawa cadangan.”
Pak Jono mendengar ucapan itu, lalu tertawa kecil meski wajahnya masih letih..
“Nyawa saya cuma satu, Nak. Tapi mungkin Allah masih kasihan sama saya.”
Sebelum meninggalkan kamar, ia sempat menatap jendela besar yang menghadap ke halaman rumah sakit.
Di balik kaca itu, langit sore menampilkan semburat jingga keemasan. Sekilas, ia teringat langit merah pulau itu,langit yang pernah membuatnya hampir putus asa. Sekarang, melihat langit biasa saja sudah terasa seperti anugerah.
Mobil dinas militer menunggu di halaman depan. Di sampingnya, berdiri istrinya, Bu Ani, bersama ketiga anak mereka: Siti, Rudi, dan Ayu. Sejak awal, pihak rumah sakit merahasiakan jadwal kepulangan ini demi keamanan dan privasi. Hanya keluarga inti yang tahu.
Begitu kursi roda Pak Jono didorong keluar, Bu Ani langsung berlari menghampiri. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan. Ia berjongkok, memeluk tubuh suaminya yang kini tampak kurus dan rapuh, jauh berbeda dari sosok nelayan perkasa yang dulu berangkat melaut.
“Pak…alhamdulillah akhirnya pulang juga,” isaknya.
Pak Jono hanya bisa menepuk-nepuk punggung istrinya dengan tangan kanannya yang masih kuat. “bu… maafkan bapa. bapa tahu, kalian pasti menderita karena bapa lama tak pulang.”
Siti, putri sulungnya yang kini duduk di kelas tiga SD, ikut menangis sambil memegang lutut ayahnya. “Ayah jangan pergi jauh lagi, ya? Jangan ninggalin kami di rumah…”
Rudi dan Ayu yang lebih kecil hanya menatap bingung, lalu bersembunyi di balik rok ibunya, seolah belum mengerti betapa besar arti momen ini. Namun mata mereka berkilau lega, melihat ayah yang sempat mereka kira tidak akan pernah kembali, kini hadir kembali,meski dengan tubuh penuh bekas luka.
Konvoi kecil itu bergerak menuju kampung halaman di sepanjang jalan raya lintas selatan pulau Jawa. Di sepanjang jalan, meski tidak ada media yang diperbolehkan meliput secara langsung, warga yang tahu kabar kepulangannya berdiri di pinggir jalan, melambaikan tangan dan bertepuk tangan dengan penuh rasa hormat.
“survivor tangguh! Selamat datang kembali, Pak Jono!” teriak seorang lelaki paruh baya dari pinggir jalan, sambil mengangkat topinya.
Pak Jono hanya bisa tersenyum tipis dari balik kaca mobil, matanya kembali basah. Ia tidak pernah merasa dirinya pahlawan. Ia hanya nelayan biasa yang kebetulan selamat dari tragedi yang menelan nyawa teman-temannya. Namun, di mata orang lain, bertahan hidup dari neraka seperti itu sudah cukup membuatnya pantas dihormati.
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan rumah panggung sederhana di tepi laut, suasana haru kembali pecah. Para tetangga sudah menunggu sejak sore, membawa bunga, makanan, dan doa-doa. Mereka menyambut Pak Jono dengan takzim, seolah menyambut kepulangan seorang saudara yang lama hilang.
Di ruang tamu, sebuah dipan sederhana sudah disiapkan. Bu Ani menata bantal dan selimut dengan penuh perhatian. “Biar Bapak bisa beristirahat nyaman di sini dulu, jangan naik tangga dulu. Kaki masih butuh waktu.”
Pak Jono mengangguk. Ia berbaring, menghirup bau rumahnya yang khas.
aroma kayu tua bercampur asin laut. Hidungnya terasa perih karena rindu yang terlalu lama terpendam. Rumah ini… tempat ia seharusnya berada, bukan gua gelap penuh mayat dan jeritan.
Malam itu, sebelum tidur, ia memandang anak-anaknya yang sudah terlelap di sisi ibunya. Hatinya penuh syukur, meski sekaligus sesak. Dalam hati, ia berjanji: apa pun yang terjadi, ia tidak akan lagi meninggalkan keluarganya sejauh dan selama itu.
Namun, saat semua terlelap, mimpi-mimpi buruk itu masih mengintainya. Ia masih sering terbangun dengan keringat dingin, seolah mendengar suara-suara di gua, atau melihat wajah-wajah teman yang sudah tiada. Trauma itu tidak hilang hanya karena ia sudah pulang.
Di atas ranjangnya, ia bergumam lirih, “Kawan-kawan… maafkan aku. Aku sudah pulang, tapi kalian tertinggal di sana. Semoga Allah menerima kalian dengan baik.”
Air matanya menetes tanpa ia sadari. Malam pertama di rumah terasa damai, tapi juga menyisakan luka yang tidak akan pernah benar-benar sembuh.
Keesokan harinya, pejabat desa, tokoh masyarakat, hingga perwakilan dari pemerintah datang berkunjung. Mereka membawa pesan resmi.
kasus kapal KM Laut Jaya 08 resmi ditutup, dengan catatan bahwa sebagian besar detail tidak akan pernah dipublikasikan.
Pak Jono hanya mengangguk. Ia tidak lagi peduli pada politik, diplomasi, atau kerahasiaan. Baginya, yang terpenting hanyalah ia bisa kembali menghirup udara kampungnya, melihat keluarganya, dan mencoba melanjutkan hidup, meski dengan tubuh cacat dan jiwa yang penuh luka.
Hari itu, untuk pertama kalinya sejak tragedi, Pak Jono benar-benar merasa: ia sudah pulang.