NovelToon NovelToon
TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Janda / Cerai / Obsesi / Penyesalan Suami
Popularitas:7.9k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.

Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.

Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.

Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15. BERUSAHA WARAS

Uap tipis masih menempel di kulit Lucia selepas mandi. Helaan napasnya terasa lebih lega, seolah tetes-tetes air telah meluruhkan sebagian beban yang menempel di tubuh dan pikirannya. Rambut panjangnya masih basah, menetes perlahan hingga membasahi kain tipis yang kini melekat di tubuhnya. Namun, bukan gaun mewah atau pakaian perempuan yang ia kenakan, melainkan kemeja putih milik Evan yang kebesaran, menutupi lekuk tubuhnya dengan cara yang justru membuatnya terlihat semakin rapuh dan memikat.

Lucia berdiri di depan cermin besar di kamar tamu penthouse itu. Kemeja itu menggantung longgar, lengan panjangnya menutupi hingga pergelangan tangannya. Bagian bawah kemeja menjuntai sampai pertengahan pahanya, memperlihatkan kaki jenjangnya yang masih lembap berkilau oleh sisa air. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Perasaan asing menyeruak, antara malu, canggung, namun juga hangat, seolah ia sedang terbungkus dalam pelukan pria itu, meski tanpa benar-benar bersentuhan.

Di luar kamar, langkah kaki Evan terdengar bergetar tak teratur. Ia berdiri mematung di depan pintu yang sedikit terbuka, nyaris kehilangan kendali atas dirinya sendiri saat matanya tanpa sengaja menangkap sosok Lucia dengan kemeja putihnya.

Evan menggenggam keras gagang pintu, matanya berkilat penuh pergulatan. Ada bara yang menyala dalam dirinya, rasa cinta yang menggebu bercampur dengan keinginan purba yang nyaris menenggelamkan logikanya. Ia mencintai wanita itu lebih dari yang bisa ia ungkapkan, dan kini Lucia berdiri di hadapannya dengan tampilan polos sekaligus menggoda, membuat benteng kewarasannya bergetar.

"Lucia?" panggilnya hampir tak terdengar, seakan nama itu sendiri bisa membakar udara di antara mereka.

Lucia menoleh, tersentak kecil mendapati Evan berdiri di sana dengan tatapan yang begitu intens. Wajahnya memerah, jantungnya berdetak cepat. Ia buru-buru menunduk, mencoba merapikan kemeja yang jelas-jelas kebesaran untuk tubuh mungilnya.

"Aku ... hanya menemukan ini di lemari. Tidak ada pakaian lain yang bisa kupakai. Pakaianku keburu aku masukkan mesin cuci tadi," kata Lucia, suaranya lirih, nyaris seperti alasan yang dibuat-buat, padahal itu kenyataan.

"It's okay, Lucy. Aku yang salah karena tidak memikirkan soal pakaian yang akan kau kenakan," kata Evan seperti sedang menahan napas.

Evan menarik napas panjang, berusaha keras menahan gejolak yang menuntut untuk keluar. Ia berjalan mendekat, setiap langkahnya seolah membawa hawa panas yang membuat Lucia makin gugup. Tangannya hampir terulur, ingin menyentuh wajah wanita itu, ingin memastikan bahwa Lucia benar-benar nyata di hadapannya. Namun, ia menghentikan dirinya sendiri.

Jika Evan membiarkan dirinya hanyut, mungkin ia akan kehilangan Lucia selamanya. Ia harus menahan diri untuk tidak memeluk Lucy apalagi membawanya ke ranjang. Ia berusaha menekan insting prianya saat ini.

Evan akhirnya mengalihkan tatapannya, lalu berucap dengan suara berat yang ia paksa agar terdengar normal.

"Aku akan keluar sebentar ... membeli beberapa kebutuhan untukmu. Kau bisa bersantai di sini, anggap saja rumah ini rumahmu sendiri. Jelajahi sesukamu, jangan sungkan," kaya Evan dengan wajah memerah.

Lucia terdiam, lalu menatapnya dengan bingung. "Kau benar-benar membolehkan aku begitu?"

Senyum tipis muncul di wajah Evan, walau matanya masih menyimpan badai yang tak bisa diredam. "Tentu Lucy, kau bebas di sini."

Setelah itu Evan mengambil mantelnya dan berjalan keluar rumah.

Pintu lift menutup perlahan, meninggalkan kesunyian di dalam penthouse. Evan berdiri di dalamnya, menatap bayangan dirinya di cermin dinding. Napasnya terengah, seolah ia baru saja berlari menempuh jarak jauh, padahal hanya beberapa menit yang lalu ia meninggalkan Lucia di kamarnya.

Lucy, kau benar-benar membuatku hampir menerkammu tanpa sadar! batin Evan yang berteriak.

Wajah Lucia dengan kemeja putihnya terus menari di kepalanya. Setiap detail begitu jelas, rambut basah yang menetes, kulit pucat yang berkilau, kaki jenjang yang telanjang di bawah kain kemeja, serta mata yang sempat menatapnya penuh kepolosan. Itu bukan sekadar pemandangan; itu adalah godaan yang bisa mengoyak habis sisa logika yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Pria itu memukul pelan kepalanya dengan kepalan tangan, mencoba mengusir bayangan itu. Kendalikan dirimu, Evan. Jika kau terburu-buru, kau akan menakutinya dan kau akan kehilangan Lucia sebelum sempat memilikinya.

Sambil menekan tombol di ponselnya, Evan menghubungi Clara lebih dulu.

"Clara, aku butuh bantuanmu." Suaranya terdengar mendesak, tapi juga terbungkus sesuatu yang samar, seperti ketakutan yang ia coba sembunyikan.

Clara di seberang langsung merespons dengan nada ceria khasnya. "Oh? Seorang Evan Williams meminta bantuan? Hari bersejarah rupanya."

"Clara,"Evan memperingatkan dengan nada datar, membuat tawa kecil terdengar dari ujung sana.

"Oke, oke. Apa yang kau butuhkan?" tanya Clara.

"Lucy tinggal di tempatku untuk sementara. Aku akan membelikannya semua kebutuhan, tapi aku tidak tahu apa saja yang harus kubeli. Aku butuh kau untuk memilihkan, pakaian, peralatan pribadi, semua hal yang wanita butuhkan. Segalanya. Jangan lewatkan satu pun," jawab Evan.

Clara terdiam sepersekian detik, lalu suaranya meninggi penuh antusias. "Tunggu, kau bilang ... Lucia tinggal denganmu?! Oh Tuhan, Evan! Akhirnya juga! Aku sudah menunggu momen ini sejak-"

"Clara." Suara Evan tajam, memotong euforia itu. "Ini bukan waktunya untuk lelucon. Aku butuh kau dan Deren sekarang. Temui aku di butik langganan kita."

"Baik, baik. Aku akan seret Deren kalau perlu. Beri kami lima belas menit," kata Clara antusias.

Panggilan berakhir. Evan menyandarkan punggungnya ke dinding lift, menutup mata sejenak. Ada rasa lega karena ia setidaknya bisa menyiapkan sesuatu untuk Lucia. Ia ingin wanita itu nyaman, merasa aman, dan yakin bahwa rumah ini juga rumahnya.

Namun, jauh di lubuk hati, ia tahu alasan sebenarnya lebih rumit. Ini bukan sekadar tentang kenyamanan; ini tentang cara kecilnya menunjukkan cinta yang ia simpan begitu dalam.

Di butik mewah yang terletak di pusat kota, Evan sudah menunggu dengan ekspresi gelisah. Beberapa pegawai butik langsung berdiri tegak begitu melihatnya, memberi salam sopan. Namun Evan hanya mengangguk singkat, pikirannya sudah terlalu penuh untuk memedulikan tatapan mereka.

Tak lama, suara riang Clara terdengar dari pintu. "Evan?!"

Ia masuk bersama Deren yang tampak setengah dipaksa, tangan jasnya ditarik Clara tanpa ampun.

"Demi Tuhan, Clara, aku sedang di tengah rapat penting. Kau benar-benar menyeretku keluar hanya untuk belanja?" Deren menggerutu, meski tatapannya langsung jatuh pada Evan dengan penuh rasa ingin tahu. "Tapi kalau ini tentang Lucia, aku bisa memaafkanmu."

Clara menepuk tangan, bersemangat seperti anak kecil. "Ayo, ayo! Kita pilihkan pakaian untuk Lucia. Aku sudah lama ingin mendandani gadis itu. Bayangkan betapa cantiknya ia dengan dress sutra biru atau gaun kasual putih. Oh, atau mungkin piyama satin yang lembut!"

Evan hanya menghela napas. "Belikan semua. Aku tidak peduli berapa banyak atau berapa harganya. Pastikan hanya yang terbaik."

Clara langsung memekik kecil, lalu mulai berlarian ke sana kemari, menyuruh para pegawai mengambilkan ukuran yang ia perkirakan sesuai tubuh Lucia. Dress, blus, rok, celana, hingga aksesoris; semuanya ia pilih dengan teliti namun juga penuh antusiasme.

Deren, di sisi lain, hanya menatap dengan ekspresi lelah. "Kau sungguh serius dengan ini, Evan. Lucia sungguh ada di tempatmu? Apa yang terjadi?"

Evan menatapnya sebentar, kemudian berkata datar, "Sesuatu terjadi padanya. Semalam ada penguntit yang mengikutinya dan aku bersyukur dia meneleponku untuk meminta tolong. Aku membawanya pulang ke rumah karena aku pikir tidak aman jika membawanya pulang ke apartement kecil itu. Aku sudah berjanji akan melindunginya setelah ini."

Jawaban itu membuat Deren terdiam, menyadari kedalaman yang terkandung di balik kata-kata Evan.

Sementara itu, Clara sudah kembali dengan dua pegawai yang membawa tumpukan pakaian. "Ini baru permulaan. Kita juga butuh pakaian tidur, sandal rumah, perlengkapan mandi khusus wanita, kosmetik dasar, dan ... oh ya, tas kecil! Lucia pasti butuh itu."

Evan hanya mengangguk, membiarkan Clara mendominasi. Ia tidak peduli pada detail, yang ia tahu hanyalah Lucia harus mendapatkan yang terbaik, dan Clara lebih tahu cara mewujudkannya.

Namun di tengah kesibukan itu, tiba-tiba sesuatu menusuk pikirannya.

Kunci.

Jantungnya berdegup kencang. Ia merogoh saku celana dengan cepat, merasakan dingin logam yang seharusnya ada di sana. Kosong.

Panik menjalar ke seluruh tubuhnya.

Ruang kerja!

Ruang itu ... ruangan yang tidak boleh disentuh siapapun, apalagi Lucia. Di sana ada papan tulis kaca besar berisi foto-foto, catatan, dan potongan berita tentang kehidupan Lucia. Ada bukti pernikahannya, pengkhianatan Samuel, dan lebih buruk rencana balas dendam keluarga mantan suaminya itu yang menjadikan Lucia sebagai pusat. Lucia tidak tahu kalau Evan tahu tentang semua itu.

Jika Lucia melihat itu.

Evan langsung berdiri, wajahnya tegang. "Aku harus kembali sekarang."

Clara dan Deren menoleh bersamaan, terkejut dengan perubahan mendadaknya.

"Ada apa?" tanya Deren.

Evan sudah melangkah cepat menuju pintu. "Aku lupa sesuatu. Ikut aku, sekarang."

Clara berusaha mengejar dengan bingung. "Hei, bagaimana dengan belanjaannya?!"

"Kirimkan saja setelah selesai! Suruh mereka mengirimkannya ke ruamhku!" sahut Evan dari kejauhan, suaranya berat dan penuh kegelisahan.

Deren menatap Clara, lalu mengangkat bahu. "Sepertinya ini serius. Ayo."

Mereka bertiga segera bergegas keluar butik, meninggalkan para pegawai yang masih kebingungan dengan tumpukan pakaian setengah jadi. Clara memberikan kartu nama dan juga mengatakan untuk mengirim semua pakaian itu dan membayar tagihan atas nama Evan.

Mereka berkendara cepat. Seolah sedang mendatangi hidup dan mati seseorang.

Sesampainya di gedung, Evan dengan cepat berlari ke arah lift, meninggalkan Clara dan Deren yang tertinggal di belakang.

Lift kembali naik menuju penthouse. Jantung Evan berdentum begitu keras seolah ingin meledak. Bayangan Lucia berdiri di ruang kerjanya memenuhi kepalanya, membuat tubuhnya dipenuhi adrenalin.

Ia menggenggam erat kunci cadangan yang kini ada di tangannya, namun rasa panik tidak berkurang.

Semoga aku belum terlambat, doa Evan dalam hati.

Pintu lift terbuka. Evan melangkah cepat, Clara dan Deren hampir berlari mengikutinya yang ke luar dari lift yang bersebelahan dengan lift yang dipakai oleh Evan.

Begitu pintu penthouse terbuka, Evan langsung menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Senyap. Hanya suara detik jam yang terdengar.

Evan mencari sosok Lucia di kamar wanita itu, dapur dan sudut rumah. Sampai ruangan terkahir yang berharap kalau wanita itu tidak ada di sana.

Namun saat Evan membuka pintu ruang kerjanya, jantung pria itu nyaris copot.

Di sana ... berdiri Lucia. Tepat di ruang kerjanya.

Wanita itu berdiri kaku di depan papan tulis kaca, matanya menatap lekat pada foto-foto, catatan, dan potongan koran yang memenuhi dinding. Di sana tergambar seluruh kisah hidup Lucia, pernikahan yang retak, pengkhianatan Samuel, dan foto Lucia sendiri yang seolah dijadikan objek penyelidikan.

Lucia menoleh perlahan, mata indahnya membesar penuh keterkejutan.

"Evan ... apa ini?" tanya Lucia yang menyadari kehadiran pria itu.

Rasanya diri Evan diselimuti rasa cemas. Tubuhnya gemetar ketika melihat tatapan takut Lucia ke diri Evan. Takut kalau kali ini Evan akan kehilangan Lucia yang kedua kalinya, dan terlebih karena rahasia Evan sendiri.

1
Ir
kemarin di cere, sekarang di cariin lagi, karep mu ki piye samsul hmm
Archiemorarty: Tahu, sebel kali sama si Samsul ini /Smug/
total 1 replies
Miss Typo
semoga apapun niat Samuel ke Lucia semua gagal total
Miss Typo
semangat Lucia
Ir
yeuhhh kocak, amnesia lu samsul
Archiemorarty: Hahaha 🤣
total 1 replies
Ir
kak aku baca Deren dari awal lidah ku belit bacanya Daren terus tauu
Archiemorarty: Awalnya namanya maunya Darren, malah takut aku hany kebelit nulisnya ntar 🤣
total 1 replies
Ma Em
Evan , Clara dan Derren tolong lindungi Lucia dari Samuel takut Samuel akan mencelakai Lucia.
Ariany Sudjana
benar kata Evand, jangan buru-buru untuk menghadapi Samuel, karena prioritas utama sekarang kondisinya Lucia, yang sangat terpuruk. untuk menghadapi Samuel harus dengan perhitungan matang
Archiemorarty: Benar, gitu2 si samsul itu ular licik
total 1 replies
Ir
seharus nya jangan takut Lucu injek aja lehernya si samsul, trus si Evan suruh pegangin
Archiemorarty: astaga, barbar sekali ya /Facepalm/
total 1 replies
Ma Em
Semangat Lucia sekarang sdh ada Evan yg akan melindungi dari siapa saja orang yg akan menyakitimu , jgn sampai kamu terpengaruh dgn hadirnya Samuel , biarkan dia menyesal akan bat dari perbuatannya sendiri , semoga Lucia dan Evan selalu bahagia .
Archiemorarty: Setuju itu /Determined/
total 1 replies
Ir
penyesalan itu emang datang nya di akhir samsul, kali di depan namanya pendaftaran 😆
Miss Typo
keluar dari RS nikah ya 😁
Ir
bucin terooooossss 😏
Archiemorarty: Cieee...iri cieeee /Chuckle/
total 1 replies
Miss Typo
berharap sih segera nikah mereka berdua 😁
Ir
nyari laki kaya Rion, Dante, Davian sama Evan di mana sih, laki² yg semua aku di rayakan di cintai secara ugal²an, yg mau berusaha keras untuk kesejahteraan wanita nya, bukan yg kita mulai sama² dari Nol terus 😌😌
Archiemorarty: Mereka ada kok..di dunia fiksi aja tapi /Cry/
total 1 replies
Ariany Sudjana
Evand benar Lucia, kamu tidak sendiri lagi, ada Evand yang jadi tameng.
Ir
ini kalo kata orang Indonesia, sakit perut bukannya priksa ke dokter malah cuma bilang magh kronis, magh kronis, mag kronis tok 😏
Archiemorarty: Sebel soalnya /Smug/
total 3 replies
Miss Typo
itu karna pola hidup Lucia selama ini kali ya, atau karna pikiran juga.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih
Archiemorarty: Betul sekali
total 1 replies
Miss Typo
apalagi ini thor,,, kenapa masalah blm juga usai, msh ada trs masalah dlm kehidupan Lucia, kpn Lucia akan bahagia bersama Evan? 😭
Miss Typo: huaaaaaa pasti aku nangis mulu bacanya 😭🫣
total 2 replies
Miss Typo
berharap secepatnya mereka berdua menikah 😁
Miss Typo
apakah mereka berdua akan sampai menikah suatu saat nanti?????
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!