Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Dengan langkah mantap aku keluar rumah.
Mobil melaju menembus jalanan yang mulai sepi. Dalam hati, aku sudah bisa membayangkan senyum Megan yang akan menyambutku. Perasaan kacauku tadi mendadak sedikit mereda hanya dengan bayangan itu.
“Setidaknya Megan bisa menenangkan aku,” gumamku lirih. Untuk sementara Ratu aku lupakan dulu. Setidaknya aku ingin membuat pikiranku tenang sejenak.
Begitu sampai di apartemennya, Megan sudah menunggu di depan pintu dengan balutan dress santai. Wajahnya cerah seolah tahu aku benar-benar membutuhkannya malam ini.
“Papah Erlangga…” suaranya manja menyambutku.
Aku langsung meraih tangannya, masuk ke dalam apartemen yang wangi dan hangat.
“Aku kangen kamu, Megan… aku butuh kamu sekarang,” bisikku berat.
Dia tertawa kecil, tubuhnya melunak dalam dekapanku. “Sabar, Papah Erlangga… nanti saja telah pulang dari makan di luar."
“Aku enggak peduli. Aku cuma butuh kamu dulu.”
Baru saja aku hendak melanjutkan hasratku, Megan menahan dengan telapak tangannya di dadaku. Ia tersenyum manis, tapi tatapannya tegas.
“Mas… aku tahu kamu butuh aku. Tapi malam ini aku sudah siapkan rencana. Kita makan malam di luar, terus jalan ke mal. Ada barang yang aku ingin beli.”
Aku terdiam, sedikit kesal karena nafsuku terputus begitu saja. “Megan, aku benar-benar butuh kamu sekarang. Enggak bisakah nanti saja?”
Dia menggeleng pelan, rambutnya bergoyang lembut. “Enggak bisa. Kamu janji sama aku mau temanin. Lagian aku mau lihat kamu ganteng pakai kemeja itu di depan banyak orang. Biar orang-orang tahu aku enggak salah pilih.”
Aku menghela napas berat, mencoba menekan rasa kecewaku. “Jadi aku harus nunggu sampai kita selesai jalan-jalan?”
Megan tersenyum makin lebar, tangannya mengelus pipiku. “Iya dong, Mas. Anggap saja ini pemanasan. Malam ini masih panjang, kan?”
Aku akhirnya pasrah. Walau ada rasa jengkel, aku tetap menuruti kemauannya. Seperti biasa, Megan tahu bagaimana caranya mengendalikanku.
...****************...
Setelah selesai makan malam, aku dan Megan berjalan bergandengan tangan menuju mobil. Ia terlihat sangat antusias, matanya berbinar saat menyebutkan butik yang ingin ia datangi. Aku menurut saja, menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan ke arah pusat perbelanjaan terbesar di kota ini.
Setibanya di sana, Megan langsung menarik tanganku masuk ke sebuah toko branded. Ia berkeliling, mencoba satu per satu tas yang harganya jelas membuatku terperangah. “Mas, lihat yang ini. Cocok kan sama aku?” tanyanya sambil menenteng tas berwarna krem.
Aku mengangguk pelan, meski dalam hati terasa berat. Belum sempat aku bernapas lega, Megan sudah menunjuk sepatu yang harganya tidak kalah fantastis. “Yang ini juga, Mas. Pas banget dipakai nanti.”
Aku tidak kuasa menolak. Kasir mulai menghitung semua belanjaan Megan, dan angka yang tertera hampir menyentuh 10 juta. Dadaku sesak. Uang hasil korupsi dari kantor yang tadinya masih lumayan tebal, seketika menyusut drastis.
Saat kuberikan kartu pembayaran, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisku. Aku berusaha tersenyum di depan Megan, menyembunyikan rasa cemas yang membuncah. Megan justru semakin bahagia, pelukannya hangat ketika kami keluar dari toko dengan membawa banyak kantong belanjaan.
“Terima kasih, Mas. Kamu memang selalu bisa bikin aku bahagia,” ucapnya manja sambil menyandarkan kepala di pundakku.
Aku tersenyum kecil sambil melirik Megan yang sibuk membuka-buka kantong belanjaannya di kursi sebelah. Bagiku semua ini tidak masalah. Yang penting Megan senang, puas dengan apa yang kuberikan, dan pada akhirnya bisa memuaskanku di ranjang. Itu sudah cukup membuatku merasa di atas angin.
Lagi pula, aku masih punya banyak cara untuk menutup semua pengeluaran ini. Korupsi yang kulakukan di kantor selama ini berjalan mulus. Tidak ada yang curiga, tidak ada yang berani bertanya lebih jauh. Semua laporan keuangan selalu bisa kuatur seakan-akan bersih.
Aku merasa aman. Seolah dunia ini benar-benar ada di genggamanku. Megan di sampingku, anak-anak yang menurut, bahkan Ratu yang kian hari makin kehilangan tempat di rumah. Semua seperti permainan yang bisa kukendalikan sesukaku.
Aku melirik Megan lagi. Ia tersenyum puas, seakan yakin bahwa aku akan selalu mampu memenuhi segala keinginannya. Dan entah kenapa, senyum itu membuatku semakin yakin untuk terus melangkah di jalan yang kupilih, tanpa peduli ada jurang besar yang mungkin menanti di depan.
Karena semuanya sudah beres, aku memutuskan untuk pulang ke apartemen Megan, aku sudah tidak sabar ingin menumpaskan hasratku yang belum tersalurkan. Itulah gunanya jika kita punya cadangan.
Jika Ratu tidak bisa membuatku puas di atas ranjang, maka ada Megan yang bisa aku andalkan. Kuncinya hanya satu buat Megan senang dan penuhi keinginannya. Maka dia dengan suka rela memberi kehangatan untukku.
"Kamu sudah puas, kan berbelanja hari ini?" tanyaku
“Sudah, Mas. Kamu memang laki-laki terbaik yang bisa diandalkan, hanya kamu satu-satunya orang yang bisa bikin aku bahagia,” kata Megan sambil menggenggam tanganku. Ucapannya membuat dadaku semakin membusung. Benar, aku memang selalu bisa diandalkan. Untuk anak-anakku, aku tetap papah yang hebat. Untuk Megan, aku lelaki idaman. Dan untuk Ratu? Ah, dia hanya sosok yang sudah kalah sejak awal.
Aku tersenyum miring, penuh kesombongan. Mereka semua butuh aku, tapi aku tidak butuh siapa-siapa. Aku yang memegang kendali, aku yang menentukan bagaimana jalan cerita ini berakhir.
...****************...
Sesampainya di apartemen, aku langsung mengunci pintu dan meletakkan kunci di atas meja. Megan tersenyum manja sambil menaruh tas dan sepatu barunya ke sofa, seakan ingin memamerkan hasil belanja mahal tadi.
Aku menatapnya dengan penuh gairah. “Malam ini, Mas nggak mau ada yang ganggu,” ucapku dengan suara berat, lalu menariknya ke dalam pelukan. Megan pura-pura menolak, mendorong dadaku sedikit, tapi matanya jelas berkilat penuh godaan.
Semua hasrat yang kutahan sejak makan malam tadi akhirnya pecah. Aku menumpahkan seluruh ego, ambisi, dan nafsu pada dirinya. Bagiku, inilah puncak kemenangan: bisa memiliki perempuan muda yang cantik, bisa memanjakannya dengan uang hasil ‘pintar’-ku, lalu mendapatkan balasan kenikmatan darinya.
Di dalam pikiranku hanya ada satu hal: aku adalah lelaki paling beruntung. Istriku boleh pergi, anak-anak justru sudah menyuruhku untuk mencari istri baru, bahkan kantor bisa saja runtuh sekalipun—tapi malam ini, aku tetap raja di hadapan Megan.
...****************...
Pagi itu aku terbangun dengan kepala berat. Masih terbayang jelas semalam bersama Megan, betapa puas dan bahagianya aku bisa mendapatkan semua yang kuinginkan. Tapi begitu ponselku berbunyi bertubi-tubi, kepalaku langsung pening.
Pesan masuk dari rumah—dari anak-anakku yang mengeluh soal sarapan yang belum ada, seragam sekolah yang masih kotor, dan rumah yang berantakan. Semua kembali pada kenyataan: Ratu sudah tak ada, dan tanpa dirinya, rumah seperti kapal pecah.
Aku mengusap wajah kasar-kasar, kesal sendiri. “Kenapa harus ribut pagi-pagi begini?!” gerutuku sambil membanting ponsel ke kasur. Rasanya aku ingin terus bersama Megan tanpa peduli masalah rumah, tapi aku juga tak bisa membiarkan anak-anak terus mengeluh.
Di antara rasa malas dan tanggung jawab yang menekan, pikiranku jadi kacau. Aku benci harus mengurus hal-hal kecil begini, sesuatu yang seharusnya sudah diatur oleh istri.
"Mas, kamu mau ke mana?" tanya Megan baru saja bangun dari tidurnya.
"Aku harus pulang ke rumah, hari ini aku harus berangkat ke kantor. Anak-anak juga harus sekolah," jawabku.