Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Disa
Hari demi hari hubungan Emily dan Haidar semakin erat. Setiap pulang sekolah, Emily tidak lagi malu-malu saat membantu Haidar mengganti baju kerja atau menyiapkan minuman hangat untuknya. Kadang gadis itu bercanda sambil memegangi dasi Haidar, pura-pura jadi "istri kantoran" yang menyambut suaminya pulang kerja.
"Capek, Pak Guru tampan?" goda Emily dengan senyum manisnya.
"Capeknya langsung hilang kalau lihat istri cantik begini," balas Haidar, mencubit lembut pipi istrinya.
Emily tertawa, lalu menggelayut manja di lengannya. Kini, ia sudah tak canggung lagi untuk sekadar memeluk atau mencium pipi suaminya. Haidar pun selalu membalas dengan perhatian yang tulus—mengusap rambutnya, mengecup keningnya, atau membiarkan Emily tertidur di pangkuannya. Rumah itu semakin terasa hangat dengan tawa kecil dan gurauan mereka.
Di dapur, Emily mulai terbiasa menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Ia bahkan sudah hafal kesukaan Haidar, seperti nasi goreng pedas favoritnya dan teh hangat tanpa gula. Haidar sering bercanda kalau dirinya seperti anak kos yang dimanja istrinya sendiri.
Soraya juga membebaskan menantunya itu untuk memasak sendiri walaupun ada bibi yang membantu. Justru itu adalah kemajuan besar yang ditunjukkan oleh menantunya, dia sangat bahagia.
"Kalau gini terus, aku bakal tambah betah di rumah, nih," celetuk Haidar sambil duduk di meja makan, memandangi Emily yang sedang merapikan baju kotor Haidar.
“Emang sebelumnya nggak betah?” Emily pura-pura cemberut.
“Betah, tapi sekarang levelnya nambah. Betah banget!” Haidar terkekeh, membuat Emily melempar sendok kayu ke arahnya dengan kesal bercanda.
***
Sementara itu, di sisi lain kota, suasana berbeda menyelimuti Disa. Diam-diam ia duduk di bangku taman belakang sebuah kafe kecil. Pandangannya berkilat cerah saat sosok laki-laki yang dulu menemuinya di belakang sekolah muncul. Sudah lebih dari seminggu mereka tidak bertemu, karena laki-laki itu sibuk mengurus tugas kuliah dan proyeknya.
"Maaf ya, sayang, bikin kamu nunggu," ucap laki-laki itu sambil menarik kursi di hadapannya.
"Nggak apa-apa. Aku seneng kok kamu datang," balas Disa, wajahnya tampak lembut dan berbeda jauh dari sikapnya yang biasanya galak di sekolah.
Laki-laki itu meraih tangan Disa, menggenggamnya erat. Ada kehangatan di antara mereka, sebuah rahasia yang tak diketahui siapapun—bahkan keluarga Disa sendiri. Disa tahu hubungan mereka penuh risiko, tapi hatinya terlalu nyaman saat bersama pria itu.
Disa menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya meremas ujung rok pendeknya. Hari berjalan cepat dan sekarang sudah memasuki waktu malam. Keduanya masih ada di kafe itu.
Malam semakin larut, lampu-lampu taman kafe itu mulai redup, memberi nuansa yang menegangkan. Laki-laki di depannya tersenyum tipis, tapi sorot matanya tajam dan dingin.
"Kedepannya bagaimana?" tanya Disa dengan suara pelan, hampir berbisik.
"Sesuai yang sudah gue perintahkan," jawabnya tenang, seperti tak mau membuka ruang negosiasi.
Disa menggeleng cepat. "Gue nggak bisa, Kak. Itu pasti berisiko banget. Gue nggak mau… apalagi nanti bisa ganggu jadwal sekolah gue.” Suaranya bergetar, jelas ia ketakutan sekaligus tertekan.
Laki-laki itu mencondongkan tubuh, menatap Disa lurus-lurus. “Terus lo mau ketahuan sama orang?”
Wajah Disa pucat. “Nggak mau…” suaranya hampir tak terdengar.
“Ya udah, berarti lo harus siap,” katanya dingin, lalu menambahkan dengan nada yang membuat bulu kuduk Disa meremang, “Dan malam ini… seperti biasa.”
Disa terdiam, wajahnya semakin tegang. Napasnya memburu. “Lo egois!” serunya lirih, tapi penuh emosi.
Laki-laki itu menyunggingkan senyum sinis. “Nggak usah banyak ngomong. Lakukan aja apa yang gue perintahkan.”
Hening sejenak. Hanya suara angin malam yang berhembus, membuat suasana semakin mencekam. Disa mengepalkan tangan, matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak menjawab. Ada rasa takut yang mengikat langkahnya, seperti jerat yang tak bisa ia lepaskan.
Hari ini, Disa keluar rumah dengan alasan mengerjakan tugas kelompok di rumah teman. Hatinya berdegup kencang saat melihat motor laki-laki itu sudah terparkir di ujung gang rumahnya. Helm hitam disodorkan padanya tanpa sepatah kata, dan tanpa pikir panjang, Disa pun mengenakannya. Disa sudah merasa terikat dengan orang yang berada di depannya, jadi dia tidak memikirkan apa yang terjadi jika kedua orang tuanya tahu.
***
Mereka akhirnya sampai di sebuah apartemen lelaki itu yang lampunya redup. Begitu pintu tertutup, suasana berubah. Laki-laki itu menatap Disa tajam, namun kali ini tatapannya berbeda—ada gairah yang tertahan. Disa sendiri tak bisa membohongi perasaannya, ada kerinduan yang selama ini ia tekan.
“Kamu kangen aku, kan?” suara laki-laki itu berat dan dalam.
Disa terdiam, pipinya memanas. Ia menunduk, tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Ia hanya mengangguk pelan.
Laki-laki itu menariknya ke pelukan. Aroma parfumnya langsung menyergap indera Disa, membuat tubuhnya melemah. Mereka duduk di sofa, saling menatap seolah ada percakapan tanpa kata. Tangan laki-laki itu mengusap rambut Disa lembut, membuat gadis itu akhirnya luluh.
Malam pun berjalan sesuai yang sudah sering mereka lakukan. Ada rasa nyaman bercampur takut, ada degup jantung yang membuat Disa lupa pada ancaman atau risiko yang menunggu. Di ruangan itu, mereka hanyut dalam rasa yang tak bisa dijelaskan.
Hanya saja, di balik pelukan itu, hati Disa terasa bergejolak. Ia tahu ini salah, tapi ada sesuatu dari laki-laki itu yang membuatnya tak bisa pergi.
***
Malam semakin larut. Lampu-lampu rumah keluarga Disa menyala terang, tapi suasananya terasa sepi dan tegang. Mama Disa, baru saja mengganti pakaian kerjanya lalu beranjak ke kamar putrinya sambil membawa kantong makanan kesukaan Disa.
“Disa…” panggilnya sambil mengetuk pintu kamar. Tak ada jawaban.
Mamanya Disa menghela napas, memutar gagang pintu, dan mendapati kamar putrinya rapi tapi kosong. Tas sekolah Disa tersandar di kursi belajar, namun jaket dan beberapa barang kecilnya tidak ada.
“Disa?” panggilnya sekali lagi, kali ini dengan nada cemas.
Ia bergegas turun ke lantai bawah, memanggil asisten rumah tangga yang sedang merapikan meja makan.
“Mbok, Disa ke mana?”
Sang Mbok menggeleng. “Nggak tahu, Bu. Tadi sore cuma titip beli makanan aja, habis itu nggak kelihatan lagi.”
Mamanya mulai merasa tidak enak. Ia berjalan cepat ke pos security depan rumah.
“Pak, lihat Disa keluar?”
Security yang sedang berjaga tampak sedikit gugup. “Tadi sore, Non Disa izin mau ke rumah temannya, Bu. Katanya sebentar.”
Mamanya Disa mengerutkan dahi. “Rumah siapa?”
“Kurang tahu, Bu. Nggak bilang.”
Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Tanpa menunggu lama, ia menelpon satu per satu teman dekat Disa. Namun jawabannya sama.
“Disa? Nggak main ke sini, Tante. Dari tadi sore juga nggak ada kabar…”
Mamanya Disa mulai panik. Tangannya gemetar saat meraih ponsel lagi, mencoba menghubungi nomor putrinya, tapi tak ada yang mengangkat. Hanya suara operator yang menjawab: Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi.
“Ya Allah… Disa ke mana, sih, Nak…” gumamnya dengan suara bergetar.
Suasana rumah semakin mencekam. Pak Andry, ayah Disa, yang baru selesai rapat daring, ikut turun karena mendengar kegaduhan.
“Kenapa, Ma?” tanyanya serius.
“Disa nggak ada di kamarnya, Pa… Katanya ke rumah teman, tapi semua temannya bilang nggak tahu…” Suara Mamanya Disa mulai bergetar, air mata menggenang di sudut matanya.
***
Di lain tempat, di sebuah apartemen di tengah kota, lampu temaram membuat suasana terasa intim. Hujan gerimis yang turun di luar jendela menambah hawa dingin malam itu, tapi di dalam kamar, suasananya justru memanas.
Disa terbaring di ranjang king size, rambut panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah. Wajahnya tampak kelelahan namun matanya menyimpan banyak emosi: takut, ragu, sekaligus ketagihan akan sosok lelaki di sampingnya.
Lelaki itu—yang selalu ia panggil “Kak” tanpa pernah benar-benar menyebut nama aslinya di depan orang lain—sedang duduk di tepi ranjang sambil menatap Disa dengan tatapan tajam namun penuh penguasaan.
“Capek?” tanyanya datar sambil menyelimutkan tubuh Disa.
Disa hanya mengangguk pelan. Tangannya menggenggam erat sprei, napasnya masih belum teratur. “Aku… takut, Kak,” bisiknya lirih.
Si lelaki terkekeh kecil. “Takut apa, hm? Bukankah kamu yang memilih ada di sini? Kamu bilang suka sama aku, kan?”
Bersambung