Bayinya tak selamat, suaminya tega berkhianat, bahkan ia diusir dan dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertua.
Namun takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi Ibu Susu untuk bayi seorang mafia berhati dingin. Di sana, Sahira bertemu Zandereo Raymond, Bos Mafia beristri yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas sakit hatinya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 Aku Merindukannya!
“Sahira?!” Suara Zander memecah keheningan yang mencekam.
Ia berlari, seolah hanya nalurinya yang mendorongnya, melewati Mauren, Daren, dan Raymond. Wajah mereka tegang oleh kecemasan. Hanya Balchia yang tetap di tempatnya, senyum tipis, dingin, dan penuh rahasia menghiasi bibirnya.
Brak! Pintu kamar terbuka. Zander membeku di ambang pintu, matanya menangkap kengerian yang membeku di udara. Sahira terduduk di lantai, bergetar hebat. Di dekatnya, Mauren menutup mulut dengan kedua tangannya, matanya membelalak ketakutan. Sosok pembantu mereka tergeletak tak bergerak, sebilah pisau menusuk perutnya.
“Tuan… sa… saya…” lirih Sahira, suaranya pecah, matanya memancarkan ketakutan yang dalam. Zander berlutut, menarik Sahira ke dalam pelukannya. Ia mencoba memberikan kehangatan, meredakan trauma yang mengguncang setiap inci tubuh Sahira.
“Sahira, demi Tuhan, apa yang terjadi?” tanya Mauren, suaranya bergetar. Ia dengan cepat mengambil kedua bayi yang untungnya tertidur pulas di tempat tidur.
Saat Balchia melangkah masuk, Zander merasakan kekhawatiran yang mendalam. Ia takut Balchia akan menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkan Sahira. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya.
Balchia menghampiri Sahira, menyela pelukan Zander dengan gerakan yang dibuat lembut. “Sahira, kau terluka? Apa dia menyerangmu? Ya ampun, pembantu itu!” serunya dengan nada yang dibuat cemas dan berlebihan.
'Apa benar Balchia berubah?' batin Zander penuh keraguan. Kepedulian Balchia terasa seperti topeng yang sangat rapi.
“Zander,” lanjut Balchia, nada suaranya berubah menjadi penuh perhitungan. “Rumah ini tidak aman untuk Sahira. Pembantu itu jelas mengincarnya. Kau harus memulangkannya ke suaminya secepatnya, atau belikan saja dia rumah di luar sana. Jika Sahira terus di sini, pembantu lain bisa saja melakukan hal yang sama.” Balchia mengusap pipi Sahira yang sedikit bernoda darah. Gerakan itu terasa dingin dan tanpa emosi.
“Kau setuju kan, Sahira?” tanya Balchia, menuntut persetujuan.
“Chia, Sahira sedang syok, jangan bahas itu sekarang,” potong Mauren tegas. Ia menatap Zander. “Zan, bawa Sahira ke kamarnya. Biar Mama yang bantu obati.”
“Baik, Ma!” Zander mengangguk, mengangkat Sahira dengan lembut dan membawanya keluar, sementara Mauren mengikuti di belakang.
Daren dan Raymond bergegas ke ruang keamanan. Mereka harus mencari tahu motif di balik serangan ini. Apakah pembantu itu bertindak sendiri atau ada dalang di baliknya?
Hasil rekaman CCTV tidak menunjukkan interaksi mencurigakan. Kesimpulan sementara mengarah pada rasa iri, persis seperti yang dikatakan Balchia.
Di ruangan itu, Balchia sendirian. Ia menatap jasad pembantu itu dengan seringai sinis. “Bodoh! Wanita lemah sepertimu kalah darinya? Memang pantas kau mati,” bisiknya penuh kebencian. “Sudah dapat gaji buta, malah mati konyol tertusuk pisau sendiri!” Balchia menghentakkan kakinya kesal sebelum meninggalkan ruangan.
Di kamar Sahira, kedua bayi kembar telah terlelap. Mauren dengan telaten membersihkan luka di lengan Sahira yang terus mengeluarkan darah. Luka kecil, tapi Sahira kesakitan.
“Sahira, biar saya obati, tahan sedikit ya,” kata Mauren lembut.
“Ma, biar Zander saja,” sahut Zander, berdiri di sampingnya.
Tiba-tiba, jeritan kecil Sahira lolos dari bibirnya. Ia mencengkeram lengan Zander kuat-kuat, kuku-kukunya menggores kulit pria itu. Rasa perih menusuk, tetapi melihat perhatian tulus Mauren, rasa sakit itu terasa tidak berarti bagi Sahira.
“Ma,” panggil Zander ragu. Ia ingin mengungkapkan niatnya untuk menikahi Sahira, tetapi keraguan mencekiknya. Bagaimana jika Mauren menolak karena Sahira seorang janda? Zander menelan kata-katanya.
“Ada apa, hm?” jawab Mauren, memasang perban.
“Oh ya, Sahira,” Mauren kembali berbicara. “Setelah masa nifasmu selesai nanti, apa kau ada rencana untuk menikah lagi? Saya punya beberapa kenalan yang sedang mencari istri, lho.”
Jantung Zander berdegup kencang, menantikan jawaban yang sama dengan harapan di dadanya. Namun, Sahira menggelengkan kepala tanpa ragu. “Tidak, Nyonya. Saya tidak ingin menikah lagi.”
Dunia Zander runtuh. Kekecewaan pahit menggerogoti hatinya. Wanita yang dicintainya telah menutup pintu hatinya rapat-rapat. Tanpa kata, Zander berbalik dan pergi.
“Oh, Zander, mau kemana?” Mauren memanggil, tapi Zander tidak menoleh.
Sahira menghela napas panjang setelah Nyonya Mauren pergi. Sahira mencoba menenangkan gejolak perasaannya. Saat pikirannya mulai jernih, sebuah bau tak sedap tercium. Baby Zee buang air besar. Ia ingin memanggil pembantu, tapi kenangan mengerikan tadi masih membuatnya gemetar. Dengan hati-hati, ia memutuskan untuk mengurus bayi itu sendiri.
Saat ia membuka popok Baby Zee, matanya terpaku pada sebuah tanda lahir di pantat bayi itu. Napas Sahira tercekat. Tanda lahir itu... persis sama dengan tanda lahir bayi laki-lakinya yang dulu.
Di sebuah klub, Hansel memutar bola matanya. Bosnya, sang mafia kejam Zander Raymond, kini duduk di meja, mabuk parah. Hansel tidak akan datang jika bukan karena Zander memaksanya.
“Bos, apa yang terjadi?” tanya Hansel, mencoba mendapatkan jawaban.
Zander mengabaikannya dan terus meneguk bir. “Bos, apa hasil tes DNA-nya salah?” Hansel mencoba lagi. “Atau ada masalah baru?”
“Bos, jangan minum lagi!” Hansel merebut gelas Zander.
Zander tumbang, tapi tangannya meraih gelas lagi. “Hoi… tambah lagi!”
“Bos, kau mabuk begini karena Mbak Sahira, kan?” tebak Hansel.
“Hik… Kau benar, bodoh!” jawab Zander, mengangguk dengan terhuyung.
“Ada apa lagi dengan Mbak Sahira?” Hansel bingung. Bosnya yang kuat, tangguh, dan disegani, kini rapuh hanya karena satu wanita.
Zander mencengkeram bahu Hansel. Dengan setengah sadar, ia bergumam, “Perempuan itu, dia tidak mau menikah lagi! Aku tidak punya peluang dengannya, Hans! Padahal aku mencintainya! Aku merindukannya! Tapi dia tidak ingat aku sama sekali! Sepuluh tahun kami berpisah, sekarang kami dipertemukan lagi… tapi dia sudah menikah sama laki-laki lain! Punya anak sama orang lain! Aku sakit hati!” Zander memukul meja di depannya, melampiaskan amarah dan frustrasi yang menumpuk.
"Apa aku hamili saja dia, Hans?" desisnya.
Hansel terkesiap mendengar ide gila itu. Obsesi Zander pada cinta pertamanya begitu kuat hingga membuatnya mengucapkan hal di luar nalar.
“Sial, gimana caranya aku hamili dia kalau aku saja mandul!” teriak Zander putus asa, teriakannya dipenuhi rasa sakit.
Hansel hanya bisa menghela napas, menahan rasa malu yang meluap. Sepanjang malam, Zander mengamuk, mengoceh, dan menendang apa pun di depannya. Hansel sabar mengikutinya, dan pada akhirnya Zander ambruk di pinggir jalan.
“Cinta itu merepotkan!” keluh Hansel sambil memapah Zander masuk ke dalam mobil.
“Tapi, aku harus ceritakan ini ke Mbak Sahira,” gumam Hansel pada dirinya sendiri, menyadari bahwa ia memegang kunci untuk mengakhiri penderitaan Bosnya.
________________
To be continue...
Subscribe, like, vote, komen.
nanti tuh cebong berenang ria di rahim istri mu kamu ga percaya zan
Duda di t inggal mati rupa ny... 😁😁😁
makaberhati2 lah Sahira
fasar hokang jaya