Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SIDANG LANJUTAN
Fajar baru menyapu atap rumah ketika Maya berdiri di depan cermin, mengenakan blus putih sederhana dan rok hitam selutut. Jas tipis pinjaman dari Rani menutupi bahunya. Ia menatap wajahnya yang pucat, mencoba tersenyum meski bibirnya terasa kaku. Map cokelat di tangannya berat, seperti membawa seluruh masa depannya dan Nayla.
Di dapur kecil kos, Bu Ina sudah bangun lebih dulu. Aroma kopi instan memenuhi udara.
"Udah siap, May?"
"Udah, Bu. Besok… maksudnya hari ini, saya nggak bisa lama di rumah. Sidang lagi."
"Waduh… iya ya. Ya udah, Nayla biar saya yang jagain. Kamu fokus di sidang."
"Saya takut, Bu. Dia nggak akan main-main kali ini."
"Takut itu wajar, tapi inget, kamu udah berjuang empat tahun sendiri tanpa dia. Jangan biarin orang yang ninggalin kamu dan anakmu selama itu tiba-tiba ngaku paling peduli."
Maya menunduk, matanya memanas. "Makasih, Bu."
Mobil hitam sudah menunggu di depan kos. Adrian duduk di kursi pengemudi, setelan abu-abu gelapnya rapi tanpa cela.
“Masuk,” ujarnya singkat.
Di perjalanan, ia memaparkan strategi. “Jangan potong pembicaraan. Lihat aku, bukan dia. Kendalikan emosi. Satu letupan bisa menghancurkan segalanya.”
Maya hanya mengangguk, tapi di dadanya, jantung berdegup seperti genderang perang.
Pengadilan Negeri ramai. Wartawan berkerumun, kamera membidik setiap langkah mereka. Adrian menuntun Maya masuk cepat, melewati lorong panjang menuju ruang sidang.
Di dalam, Reza sudah duduk di kursi tergugat, setelan jas hitamnya mahal, senyumnya sinis. Tatapannya seperti sengaja menusuk hati Maya. Di sebelahnya, pengacara wanita berwajah dingin tengah menata berkas.
Sidang dimulai. Pengacara Reza berdiri, suaranya lantang.
“Yang Mulia, klien kami adalah ayah kandung yang bertanggung jawab dan memiliki sumber daya memadai. Sementara pihak penggugat—” tatapannya melirik ke arah Maya —“pernah terbukti tidak mampu secara finansial, dan… emosional.”
Maya ingin membalas, tapi Adrian mencondongkan tubuh sedikit. “Diam,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Kini giliran Adrian. Ia berdiri perlahan, posturnya tegak sempurna.
“Yang Mulia, mari kita bicara tentang tanggung jawab. Klien saya membesarkan anak ini hampir empat tahun sendirian. Empat tahun tanpa satu pun kunjungan, tanpa satu pun kiriman uang, tanpa telepon, tanpa kabar dari tergugat. Dan sekarang, setelah hidup mereka stabil, tiba-tiba dia kembali mengklaim hak asuh. Itu bukan tanggung jawab. Itu kemunafikan.”
Suara di ruang sidang bergemuruh, beberapa orang saling berbisik. Hakim mengetuk palu untuk menenangkan suasana.
Pengacara Reza mencoba membalas, tapi Adrian cepat memotong.
“Bukti-bukti ada pada kami. Rekening bank menunjukkan tidak ada transfer satu rupiah pun dari tergugat selama empat tahun. Catatan sekolah anak ini menunjukkan hanya satu wali yang hadir setiap acara penting—dan itu adalah klien saya.”
Reza bersandar di kursi, wajahnya mulai kehilangan senyum. Tangannya mengatup erat di pangkuan.
Pengacara lawan berusaha menggiring opini, “Tapi Yang Mulia, absennya selama itu bukan berarti ia tidak peduli—”
Adrian menoleh sekilas, matanya dingin. “Kalau itu bukan berarti tidak peduli, lalu apa arti peduli bagi mereka? Empat tahun, Yang Mulia. Anak ini belajar berjalan, bicara, membaca—semuanya tanpa ayahnya.”
Kata-kata itu menghantam ruangan seperti palu. Maya merasakan dadanya sesak, tapi juga sedikit lega. Selama ini, hanya ia yang tahu betapa perihnya menjalani semua sendirian. Kini, kenyataan itu diucapkan lantang di depan hakim.
Sidang memanas. Reza menatap Maya tajam, seakan ingin merobek pertahanannya. Namun Maya mengingat pesan Adrian, menatap lurus ke depan, fokus pada suara pengacaranya yang tak gentar sedikit pun.
Saat sidang diskors, Reza berjalan mendekat.
“Kamu pikir bisa menang? Aku punya segalanya untuk rebut Nayla.”
Maya menatapnya tanpa berkedip. “Segalanya kecuali waktu yang kamu buang.”
Adrian berdiri di sampingnya, postur tubuhnya menutup jarak. “Cukup. Mundur.”
Reza menatapnya dingin, lalu melangkah pergi.
Maya menarik napas panjang. Pertempuran baru saja dimulai, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa punya senjata yang sepadan.
kamu harus jujur maya sama adrian.