"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
“Kalau aku sewa ruko saja, jualan mie dan kopi seperti kemarin?” pikirnya lagi.
“Tapi sewa ruko? Uangnya tidak cukup,” pikir Riko.
“Apa aku pinjam uang ke Pak Yusuf? Kantornya kan tidak jauh dari sini,” bisiknya. Namun, ia segera menggeleng.
“Aku tidak bisa menggantungkan hidupku pada orang lain. Aku tidak boleh merepotkan mereka. Meminta bantuan orang bukan pilihan yang baik,” katnya pelan.
Riko terus melamun, mencari jalan keluar.
“Kalau pinjam ke bank?” pikirnya. Tapi langsung ia tolak.
“Namanya dagang, kadang untung, kadang rugi. Kalau untung, syukur, bisa mencicil hutang. Kalau rugi, bisa-bisa aku dipenjara. Kalau sampai dipenjara, aku jauh dari Melati, dan itu tidak bisa aku lakukan,” pikirnya sedih.
Riko terus memutar otak, memikirkan berbagai cara agar bisa menghidupi Melati dengan baik tanpa harus membahayakan mereka berdua.
Kawan, apakah kalian ingat ayah kalian, kan?
Kalau kalian melihat ayah kalian sedang melamun, yakinlah dia sedang berpikir keras untuk memenuhi semua kebutuhan orang-orang yang dicintainya.
Setelah sekian lama merenung, akhirnya tercetus sebuah ide: menjual kopi dan minuman dingin.
Modalnya sangat sederhana, hanya sepeda bekas, termos, gelas, dan kopi.
Meski sederhana, namun cepat menghasilkan uang, para pekerja pasti butuh kopi sebelum mereka bekerja dan setelah bekerja, dan tinggal modal semangat pantang menyeraj keliling Jakarta dengan speda bersama melati pasti menyenangkan,.
Demi melati riko akan berjuang sekuat tenaga memberikan yang terbaik, karena sejatinya lelaki dilahirkan untuk memberi bukan untuk meminta, lelaki lahir untuk mencintai bukan dicintai, lelaki lahir bukan untuk dirinya, coba kamu lelaki hidup memetingkan diri sendiri maka kamu akan mendapatkan kehampaan.
Esoknya, Riko dan Melati pergi ke Tanah Abang, dekat stasiun Tanah Abang. Di sana banyak penjual barang bekas, termasuk sepeda bekas. Setelah tawar-menawar harga, akhirnya mereka mendapatkan sebuah sepeda dengan harga yang pas.
Riko langsung mengajak Melati berkeliling Tanah Abang menggunakan sepeda baru itu. Melati sangat senang, apalagi saat ia bisa melihat Monas secara langsung untuk pertama kalinya.
Melihat kebahagiaan Melati yang sederhana itu membuat Riko sangat bahagia. Meski kehidupan mereka sederhana dan penuh perjuangan, momen-momen kecil seperti ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi mereka.
“Ayah, suatu saat aku ingin mengunjungi menara-menara di dunia,” ucap Melati dengan semangat.
“Emang kamu mau ke mana saja?” tanya Riko.
“Aku mau ke Menara efel, Menara Pisa, mau ke Tokyo, dan juga ke Menara Spink” jawab Melati dengan ceria.
“Kemana pun kamu pergi, wajib ke tiga tempat dulu, ya?” canda Riko.
“Kemana, Yah?” tanya Melati penasaran.
“Ke Mekah, Madinah, dan Palestina,” jawab Riko serius.
“Ok, Yah. Melati pasti bisa!” sahut Melati penuh semangat.
Keduanya kemudian memandang Monas yang berdiri megah di depan mereka. Meskipun dunia terkadang bercanda dan menghadirkan tantangan, mereka tetap menancapkan impian dan harapan yang kuat dalam hati.
Impian sederhana itu menjadi sumber kekuatan bagi mereka menjalani hidup dengan penuh semangat dan keyakinan.
Setelah puas melihat Monas, Riko berbelanja untuk kebutuhan dagang mereka. Ia membeli termos, gelas cup, sedotan plastik, dan kopi sasetan di toko grosir.
Pemilik kosan tidak mengizinkan memasak di dalam kamar, akhirnya Doni membeli air panas dari ibu kosan. Ibu kos tentu senang karena mendapatkan pemasukan tambahan.
Riko yang ramah dan mudah bergaul, cepat akrab dengan banyak penghuni kosan. Sebagian besar adalah pekerja proyek yang sedang membangun gedung-gedung tinggi di sekitar Kebon Melati.
Suasana kosan menjadi hangat karena kehadiran Riko yang selalu membantu dan menyapa dengan ramah. Meski hidup sederhana, kebersamaan di antara mereka memberikan semangat tersendiri.
“Bismillah… ayo kita jualan,” ucap Riko.
“Ayo, yah! Semangat, kita cari uang yang banyak,” sahut Melati.
Melati duduk di depan Riko, di belakangnya ada termos dan kopi sasetan.
Pagi itu, Riko mangkal di lokasi proyek, dan banyak pekerja yang membeli dagangannya. Ternyata, Melati sangat menikmati suasana itu. Ia bahkan ikut membagikan es yang sudah dibuat Riko kepada pembeli.
“Ini uangnya, anak manis,” ucap seorang pembeli sambil tersenyum.
Melati kegirangan dan berjingkrak-jingkrak.
“Yeyyy, Ayah! Uang, yah!” seru Melati dengan riang.
Semua orang melihat ke arah Melati, tapi Melati sama sekali tidak peduli.
Di tempat proyek, kopi Riko hampir habis terjual.
Riko merasa bersyukur karena hari pertama dagangannya laris manis.
Yang paling membahagiakan baginya adalah melihat Melati bahagia.
Momen sederhana itu memberinya semangat baru untuk terus berjuang demi masa depan yang lebih baik.
Hari keempat dagang kopi keliling, setelah seharian berjualan, Riko pulang ke kontrakan. Namun, hari ini ada yang berbeda. Melati terlihat murung.
Sampai di kosan, Melati masih saja cemberut.
“Kenapa kamu cemberut, sayang?” tanya Riko dengan khawatir.
“Kenapa, ya, Mama nggak mau ketemu Melati?” tanya Melati pelan.
Riko terkejut dengan pertanyaan itu.
“Mamamu sedang di luar, Nak. Nanti kalau Mama sudah pulang, pasti akan menemui Melati,” jawab Riko menenangkan.
“Ayah, gitu terus, Ayah bohong terus,” ucap Melati sambil terisak.
“Kenapa, sayang?” tanya Riko lembut.
“Tadi ada Mama, tapi Mama melihat aku saja tidak mau,” kata Melati sambil menangis.
“Melati salah apa? Kenapa Mama tidak mau bertemu Melati? Padahal Melati sekarang sudah besar, sudah bisa membantu Ayah,” ucap Melati dengan suara bergetar.
Riko tak mampu berkata apa-apa lagi. Dia sudah tidak bisa membohongi Melati. lagi
Riko memeluk Melati.
Melati masih menangis terisak. Ia tadi melihat Laras di dalam mobil dan sudah berusaha memanggil, tapi diabaikan.
“Tenang, sayang. Walau Mama nggak ada, Ayah akan selalu ada untuk Melati,” ucap Riko sambil membelai rambutnya.
“Yah, Melati salah apa, ya?”
Melati terus menangis di pangkuan Riko hingga akhirnya tertidur. Riko tetap membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.
Pagi itu, Melati terbangun dan segera merasakan sesuatu yang tak biasa. Tubuh Riko terasa panas, dan wajahnya terlihat sangat pucat.
Melati panik. Matanya Riko tertutup rapat.
Dengan cepat, Melati meletakkan tangannya di dahi Riko.
“Ayah!” teriak Melati.
Namun, Riko tak kunjung membuka mata. Bibirnya gemetar pelan.
“Ayah, bangun, Ayah!” Melati semakin panik sambil menangis.
“Ayah, bangun...”
Air mata Melati mengalir deras di pipinya.
“Ayah, bangun. Melati janji, nggak akan tanya soal Mamah lagi, ya,” ucap Melati dengan suara bergetar.
Melati terus menggoyangkan tubuh Riko, tetapi tubuhnya tetap diam.
Dengan panik, Melati segera berlari keluar, menuju kamar ibu kos.
“Ibuuuuu, tolong Ayah, Bu!” teriak Melati.
“Ada apa, Mel?” tanya ibu kos.
“Ayah… Bu… Ayah nggak bangun, bangun!” ucap Melati sambil terisak.
Ibu kos segera mengikuti Melati ke kamar Riko.
Setelah memegang dahi Riko, ibu kos berkata, “Sepertinya Ayahmu demam. Ibu akan panggil dokter, ya.”