Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuruti permintaan Adelina.
Bu Norma menghela nafasnya sejenak, sambil mencoba menahan gejolak bahagia yang masih membuncah didalam dadanya.
Dengan suara yang tetap lembut namun sarat dengan penekanan, ia pun kembali berbicara melalui ponsel.
"Maaf, Nak… Ibu ingin bertanya lagi padamu, apa boleh?" tanya Bu Norma lagi, sambil cengengesan sendiri. Dan Adelina pun hanya menjawab pertanyaannya itu, dengan jawaban singkat.
"Iya!"
Mendapat jawaban seperti itu, Bu Norma pun kembali membuka mulut.
"Hehehe... Begini, Nak! Ibu ingin tahu, sebenarnya untuk apa kamu menelpon Handrian? Apa ada yang kamu mau sampaikan selain kabar kehamilan kamu itu?"
Sesaat kemudian, suara Adelina pun terdengar bergetar dari seberang, namun ia segera menjawab pertanyaan dari Ibu kandung Handrian itu, dengan suara yang sedikit tergagap.
"I-iya, Bu. Saya… saya menelpon Handrian karena Papa dan Mama saya ingin sekali bertemu dengannya. Mereka sudah tahu tentang kondisi saya, dan Papa ingin Handrian segera datang ke rumah. Papa juga bilang, kalau Handrian tidak datang… maka dia akan dikeluarkan dari perusahaan."
Kata-kata itu membuat tubuh Handrian semakin kaku. Nafasnya terasa tercekat, seolah paru-parunya sulit untuk bekerja normal.
Sehingga, ia pun langsung merebut ponselnya kembali, dan dengan wajah yang terlihat semakin gusar ia pun berbicara cepat.
"Adelina! Aku sudah bilang padamu, kalau aku tidak bisa meninggalkan Rosalina sekarang! Dia sedang terbaring lemah dengan darah yang terus mengalir. Istriku bisa kehilangan nyawanya kapan saja, Del. Bagaimana mungkin aku bisa meninggalkan dia begitu saja?"
Namun sebelum Adelina sempat menjawab, Bu Norma sudah lebih dulu menepuk keras lengan putranya, sambil menatap kearah Handrian dengan tatapan yang begitu menusuk, membuat Handrian langsung terdiam.
"Diam kamu, Handrian!" tegas Bu Norma dengan suara yang mendadak dingin.
Lalu ia kembali meraih ponsel milik Handrian, dan menempelkannya ditelinga, lalu Bu Norma langsung berbicara lagi pada Adelina.
"Tenanglah, Nak. Handrian akan datang. Kamu sampaikan saja pada Papa dan Mamamu, bahwa sebentar lagi dia akan menuju ke rumah kalian."
Mendengar hal itu, bola mata Handrian langsung membelalak. Dan ia pun mencoba menegur Ibunya itu dengan sebuah teguran yang menyerupai bisikan.
"Ibu. Apa yang Ibu katakan? Tidak mungkin aku pergi meninggalkan Rosalina. Dia sekarang sedang membutuhkan aku di sini." ucap Handrian dengan wajah memerah.
Namun Bu Norma segera menoleh dengan tatapan yang keras, dan tatapannya itu terkesan seperti baja yang tidak bisa ditembus. Kemudian ia pun berkata seperti orang yang sedang mendambakan harta. Namun masih dengan cara yang berbisik.
"Kamu dengar baik-baik ya, Handrian? Kamu tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Perusahaan itu adalah perusahaan yang menjadi tempat untuk menggapai masa depanmu selama ini. Sekarang wanita yang merupakan anak dari pemilik perusahaan itu sedang mengandung darah dagingmu. Kalau kamu menolak pergi, maka kamu itu akan kehilangan segalanya! Pekerjaanmu, masa depanmu, bahkan mungkin anakmu sendiri!"
"Tapi, Bu..." Handrian kini berucap dengan suara yang parau, dan terdengar putus asa.
"Kalau aku menuruti permintaan Adelina untuk pergi kerumahnya, bagaimana dengan Rosalina, Bu? Bagaimana kalau terjadi apa-apa disaat aku tidak berada di sisinya…"
Tapi saat itu juga, Bu Norma langsung mencengkeram bahu putranya erat-erat. Dengan suaranya yang merendah namun penuh tekanan, ia pun kembali berkata...
"Rosalina akan dirawat oleh para perawat dan dokter. Dia tidak akan sendirian. Tapi kamu… kalau kamu melakukan hal yang bodoh sekarang, maka kamu akan kehilangan masa depanmu, Nak. Dan kamu juga tidak akan tega kan, kalau anak yang sedang dikandung oleh putri dari pemilik perusahaan itu, akan lahir tanpa sebuah pengakuan? Kalau memang kejadiannya seperti itu, maka kamu ini ingin menjadi lelaki yang seperti apa, Handrian?"
Mendengar ucapan Ibunya tersebut, Handrian menggigit bibirnya begitu keras hingga hampir mengeluarkan darah. Bola matanya terlihat berair, dan kepalanya saat itu juga menunduk dalam dilema yang begitu besar. Ia memandang sebentar ke arah ruang rawat Rosalina, seolah berharap istrinya bisa mendengar hatinya yang saat ini sedang terbelah.
"Aku… aku tidak bisa, Bu…" suaranya hampir tidak terdengar.
"Aku benar-benar tidak bisa meninggalkan Rosalina…"
Namun saat itu, Bu Norma sudah tidak mau lagi mendengar penolakannya. Sehingga ia langsung meraih tangan anaknya, dan menariknya dengan cara paksa, agar menjauh beberapa langkah dari ruangan dimana Rosalina saat itu sedang terbaring.
"Kamu harus pergi sekarang juga, Handrian! Kamu fikir masa depanmu bisa kamu bangun hanya dengan duduk di sisi istrimu yang sama sekali tidak berguna? Tidak, Nak. Maka sekarang dengarkan Ibu! Kamu harus menemui keluarga wanita yang sedang mengandung anakmu itu, sebelum semuanya terlambat!"
Meskipun lengannya ditarik dengan kuat oleh Ibu kandungnya, tapi Handrian tetap berusaha menahan langkahnya. Karena saat itu hatinya sedang berteriak, akibat perasaan bersalahnya pada Rosalina.
Sedangkan dari seberang telepon, suara Adelina pun kembali terdengar, seakan menambah tekanan yang sudah begitu menghimpit batinnya.
"Handrian… aku mohon. Kalau kamu tidak datang sekarang juga, maka Papa benar-benar akan memecatmu dari kantor, dan aku juga tidak tahu lagi harus bagaimana, jika kamu tidak mau mempertanggung jawabkan kehamilanku ini…"
Kata-kata Adelina menusuk telinga Handrian begitu dalam. Sehingga ia hanya bisa memejamkan matanya rapat-rapat, karena saat itu ia merasa seluruh hidupnya bagaikan seutas tali, yang ditarik ke arah yang berlawanan.
Handrian masih saja berdiri dengan posisi tubuh yang diam mematung, disertai dengan wajahnya yang semakin pucat pasi.
Matanya kini hanya menatap kosong ke arah ruang rawat Rosalina, seolah ia ingin menempelkan dirinya di sana, dan menemani istrinya yang sedang terbaring dengan perban yang melingkari kepalanya.
Hatinya juga merasa sangat berat untuk meninggalkan wanita itu, meskipun dirinya tau, jika rumah tangganya saat ini benar-benar sedang dipertaruhkan.
Dan entah kenapa, saat ini ia sama sekali tidak merasa bahagia sedikitpun dengan kabar yang dibawa oleh Adelina, tentang wanita itu yang sedang mengandung anaknya.
Bahkan kini ia merasa panik, karena harus bertemu langsung dengan sang atasan, yang belum tentu akan menerima semua perlakuannya terhadap Adelina.
Akhirnya, ia pun kembali berkata pada sang Ibu, sambil menatap lekat-lekat netra perempuan paruh baya itu.
"Ibu… aku tidak bisa meninggalkan Rosalina sekarang. Dia butuh aku…" ucapnya lirih.
Bu Norma yang merasa kesal pun langsung meraih bahu Handrian, dan mencengkeramnya dengan kuat.
Ia juga menatap bola mata Handrian dengan bola mata yang terbelalak lebar.
"Dengarkan Ibu Handrian. Rosalina hanya terjatuh, bukan sakit parah, jadi kamu tidak perlu sekhawatir itu dengan keadaannya. Ibu yakin, jika sebentar lagi dia akan sadar dan baik-baik saja! Sekarang yang harus kamu fikirkan itu adalah masa depanmu."
"Tapi, Bu… bagaimana kalau..."
"Sudah." Bu Norma langsung memotong cepat perkataan Handrian, dengan suara yang mantap.
"Ibu yang akan menunggu Rosalina disini. Kalau ada apa-apa, dan sekecil apa pun itu, maka Ibu akan langsung memberi kabar padamu. Kamu percaya pada Ibu, kan?"
Handrian mengusap wajahnya, dengan nafas yang terasa berat. Hatinya masih menolak, tapi logika ibunya terdengar tidak terbantahkan.
Namun untuk saat itu, ia masih berusaha mempertahankan keinginan didalam hatinya sendiri.
"Aku tidak bisa… aku benar-benar tidak bisa meninggalkan Rosalina…" ujarnya lagi dengan suara serak, dan seperti menahan tangis.
Kini Bu Norma hanya bisa memegang tangannya erat-erat, dan mencoba membujuk Handrian dengan cara yang lain lagi.
"Kamu bisa, Nak. Kamu harus bisa. Rosalina akan aman di sini bersama Ibu dan juga bersama Dokter yang merawatnya. Sekarang itu, kamu justru harus menjaga masa depanmu demi dia juga. Apa kamu mau kalau kamu kehilangan pekerjaanmu dan tidak bisa lagi menafkahinya nanti? Kau harus berfikir jauh ke depan, Handrian."
Handrian terdiam karena kata-kata ibunya kali ini begitu menusuk. Dan dibalik rasa bersalahnya, ia tahu bahwa ada kebenaran yang terletak disana.
Dengan langkah goyah, akhirnya ia melirik sekali lagi ke arah ruang rawat Rosalina. Dan dari balik kaca itu pula, ia melihat wajah pucat istrinya yang sampai detik ini belum sadarkan diri.
Dengan hati yang terasa diremas dari dalam, ia pun memantapkan hatinya, dan memilih meninggalkan istrinya itu untuk bertemu dengan kedua orang tua Adelina.
"Maafkan aku, sayang… aku harus pergi sebentar. Bertahanlah…" bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.
Ia kemudian menoleh pada ibunya.
"Ibu janji, kan? Ibu akan menjaga Rosalina. Dan kalau ada apa pun, Ibu langsung kabari aku?"
Bu Norma mengangguk cepat, senyum menenangkan kini terbit di wajahnya.
"Ibu janji, Nak. Kamu tidak perlu khawatir. Pergilah, temui keluarga Adelina. Jangan biarkan kesempatan ini hilang."
Akhirnya, dengan langkah yang berat dan hati yang penuh beban, Handrian pun berjalan menjauh dari lorong rumah sakit, meskipun saat itu setiap langkahnya terasa menyesakkan, seolah ia telah meninggalkan sebagian jiwanya bersama Rosalina di ruang rawat itu.
Bersambung...