NovelToon NovelToon
Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Jejak Cinta Di Bukit Kapur

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / Dokter
Popularitas:8.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ichi Gusti

Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.

Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".

Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JALAN KELUAR

“Kalian akan meninggalkan ku?” Tiba-tiba suara yang dikenal mengejutkan Kirana dan Leontes.

“Pak Raka!” seru Kirana yang  terkejut karena kemunculan Raka yang tiba-tiba.

Leontes juga sempat terkejut, namun akhirnya ia hanya berujar, “kita harus segera meninggalkan tempat ini, sebelum orang-orang Suku Al-Khazar menemukan dan mengeksekusi kita di sini karena telah masuk wilayah terlarang mereka tanpa izin.”

Kirana merasa bersalah kepada Raka karena tidak membicarakan hal ini terlebih dahulu dengan pria itu. Namun ia yakin, Raka akan paham saat ia memberi penjelasan nanti.

“Anda benar, Pangeran! Kita harus segera pergi dari tempat ini! Karena prajurit yang berjaga di luar tidak mampu lagi menahan.

Leontes memimpin di depan sementara Kirana dan Raka mengiringi di belakang.

Cahaya dari permata di cincin Kunci Timur memantul di dinding batu, menebarkan kilau biru yang bergerak-gerak mengikuti langkah mereka. Dinding lorong sempit itu lembap, udara pengap bercampur bau mineral dan tanah basah, membuat napas terasa berat.

Suara langkah pasukan suku Al-Khazar semakin dekat, gema teriakan mereka mengisi lorong sempit. Teriakan itu disertai denting logam, menggetarkan udara seperti suara perang yang merambat melalui batu.

“Kanan atau kiri?” bisik Kirana ketika lorong bercabang dua. Nafasnya tersengal, pipinya memerah bukan hanya karena lelah, tapi juga karena degup jantung yang memacu aliran darah dengan cepat seiring adrenalin yang meningkat.

Leontes meraba dinding dengan ujung jarinya, matanya menelusuri ukiran samar di sudut kiri lorong—gambar seekor naga yang tubuhnya melingkar membentuk spiral, ujungnya mengarah ke bawah. “Ke kiri. Naga selalu menunjuk ke jalan keluar.” Suaranya tenang, tapi ada nada tergesa di baliknya.

Mereka berlari. Langkah sepatu menghantam lantai batu yang dingin. Raka yang berlari tepat di belakangnya sesekali menyentuh bahunya, memastikan ia tidak terpisah. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Kirana merasakan sesuatu yang menghangat di tengah dinginnya udara gua.

Lorong itu menurun tajam, lalu berubah menjadi jalur batu licin yang menuntun mereka pada suara gemuruh air.

Ketika mereka sampai di tepinya, Kirana tertegun. Di hadapan mereka terbentang sungai bawah tanah yang airnya berkilau aneh—bukan hanya karena pantulan cahaya permata, tapi seperti ada sinar yang memancar dari kedalaman itu sendiri. Airnya tampak hidup, seperti kabut bercahaya yang mengalir.

“Ini… bukan air biasa,” gumam Kirana, matanya membelalak. Ia merasa seolah sungai itu sedang memanggilnya.

Leontes menatap ke kegelapan arus, matanya menyipit. “Arusnya menuju ke arah  timur. Mungkin ini mengalir ke laut… atau ke tempat lain.” Ia mengucapkannya dengan nada penuh arti, seolah "tempat lain" itu bukan sekadar daratan jauh, tapi sesuatu yang lebih misterius.

Raka berdiri di samping Kirana, matanya tak lepas dari wajahnya. “Kirana, kalau ini memang gerbang, kau yakin mau masuk? Kita tidak tahu apa yang menunggu di seberang.” Suaranya rendah, nyaris seperti hanya untuk mereka berdua.

Kirana menoleh, menatap mata Raka. Ada ketegangan di sana, tapi juga kepercayaan yang anehnya membuatnya merasa aman. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah menemukan jalan pulang,” jawabnya lirih.

Teriakan dari belakang semakin keras. Sinar obor mulai terlihat di ujung lorong. Gema langkah kaki musuh seperti dentuman drum yang memanggil maut.

“Kita tak punya pilihan,” kata Leontes sambil melepas mantel, lalu menyandang kotak berisi cincin dan benda lain yang ditemukan  tadi di punggungnya. “Kita masuk.”

Leontes melompat ke air tanpa ragu, tubuhnya lenyap dalam riak bercahaya.

Kirana menggigit bibir, lalu melangkah maju. Tepat sebelum ia melompat, Raka memegang tangannya. “Aku di sini, Kirana,” katanya singkat, namun nada nya mengandung janji yang tak terucap. Kirana mengangguk, lalu mereka melompat bersama.

Airnya dingin menusuk, seperti ribuan jarum yang menembus kulit, tapi tidak menyakitkan—lebih seperti kejutan yang membangunkan semua indera. Tidak seperti air sungai biasa, ada tarikan halus di sekeliling tubuh mereka, seperti pusaran yang tak terlihat, dan sepertinya air itu tidak membuat basah. Hanya seperti udara yang bersifat cair.

Cahaya biru dari permata semakin terang, menembus air dan membentuk garis-garis cahaya yang melengkung, seakan menunjukkan arah.

Di dalam air, segalanya terasa hening, hanya bunyi jantung mereka yang terdengar di kepala. Kirana membuka mata dan melihat Raka di sebelah nya. Mata mereka bertemu—pandangan yang seakan berbicara: Kita akan melewati ini bersama.

Tiba-tiba, di dasar sungai, Kirana melihat pahatan batu melingkar dengan simbol matahari bersayap di tengahnya. Simbol itu memancarkan cahaya keemasan yang mengalahkan biru dari cincin. Ia meraih ke bawah, nyaris menyentuh pahatan itu…

Namun arus deras seperti tangan tak terlihat menarik mereka ke bawah, memutar mereka seperti daun dalam badai.

Bayangan Leontes yang berenang di depan semakin kabur, cahaya di sekitarnya menyatu menjadi pusaran biru dan emas.

Semua berubah gelap.

Hanya ada dingin, tekanan, dan kesunyian yang menelan.

Yang terakhir Kirana dengar hanyalah gema samar suara Leontes di kejauhan:

“Kita sudah di jalurnya…”

Air berputar semakin cepat di sekitar mereka, seolah seluruh sungai menjadi pusaran raksasa. Kirana merasakan tubuhnya terombang-ambing, tapi ada sesuatu yang aneh—ia tidak merasa kehabisan napas. Seperti ada lapisan tipis udara yang membungkus wajahnya, memberi cukup oksigen untuk bertahan.

Di sampingnya, Raka berenang dengan gerakan mantap, matanya terfokus pada cahaya biru dari cincin yang kini berputar di dalam kotak di punggung Leontes. Sang pangeran tampak seperti pemandu yang tahu ke mana arus akan membawa mereka.

Tiba-tiba pusaran berhenti. Mereka seperti keluar dari tabung air yang tak berujung, lalu tubuh mereka terhempas ke permukaan dan terjatuh di genangan luas dalam sebuah gua. Atap gua di atas mereka dipenuhi kristal yang memantulkan cahaya biru menjadi pelangi berkilau.

Kirana menoleh, terengah-engah. “Di mana ini?”

Leontes menyibakkan rambutnya, matanya meneliti sekeliling. “Kalau aku benar… ini adalah Ruang Nadi. Dari sinilah seluruh jalur bawah tanah menuju ke timur bercabang.”

"Apa itu?" Kirana menunjuk sesuatu yang tertancap di dinding. Sesuatu yang menyerupai sebuah tingkat dengan ukiran emas.

Leontes dan Raka mendekati benda itu. Cahaya cincin yang berada di tangan Leontes dan Raka bersinar terang. Begitupun dengan kalung yang ada di leher Kirana. Kalung itu tiba-tiba melayang dan menarik Kirana mendekat ke arah benda yang tertancap itu.

"Aku akan mencoba mencabut benda ini!" ujar Leontes. Lalu meletakkan tangan nya di benda itu.

Keras!

Meskipun Leontes berusaha sekuat tenaga,  benda itu tetap bergeming.

Raka akhirnya turun tangan karena cincin yang berada di tangan nya juga bergetar, seolah ingin mengangkat tangan Raka ke arah benda itu.

Nihil.

Akhirnya Kirana juga ikut meletakkan tangan di sana.

Cahaya dari ketiga benda pusaka yang berada pada ketiganya beresonansi dan terlihat berputar  membentuk lingkaran diantara tangan yang memegang benda pusaka seperti tongkat itu.

Shrink!!

Tiba-tiba tongkat tercabut tanpa memerlukan tenaga sedikitpun.

***

1
Sri Lestari
katanya pagi peenikahannya kog ada obor?
Ichi Gusti: iya juga ya. makasih kk. kita ralat ya.
total 1 replies
Sri Lestari
loooh...trus gmana nih kbarnya puskesmas klo ditinggal kepala n dokternya dlm waktu bbrapa hari ini???
Ichi Gusti: Bisa diatur 😁
total 1 replies
kalea rizuky
lanjut donk seru neh
kalea rizuky: ia nanti cuss
total 2 replies
kalea rizuky
ini dunia gaib apa dunia jaman dlu sih Thor
Ichi Gusti: Dunia zaman dulu yang memiliki hal-hal gaib
total 1 replies
kalea rizuky
transmigrasi apa gmna nieh
kalea rizuky
ini cerita sejarah apa misteri sih
Purnama Pasedu
berlanjut
Purnama Pasedu
serem
Purnama Pasedu
horor ya
Ichi Gusti: genre misteri 😁
total 1 replies
Purnama Pasedu
lakukan dok
Purnama Pasedu
senangnyaaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!