Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
"Maksudnya gimana?" Pak Vino yang diam-diam juga bisa mendengar ucapan Bu Windy karena meja mereka bersebelahan, menoleh pada istrinya.
Mengikis jarak, Bu Resha mendekatkan kepala ke arah suaminya, berbisik pelan agar suaranya tak sampai terdengar orang lain.
"Beberapa waktu lalu, Zayn sempat menunjukkan foto seorang gadis padaku. Katanya, namanya Aisha, dan aku masih ingat wajahnya agak mirip dengan anaknya Bu Windy itu."
Sejenak Pak Vino melirik ke arah Aisha.
"Masa sih? Mungkin kebetulan saja namanya sama. Lagian kalau anaknya Bu Windy gadis yang dimaksud, mereka tidak mungkin tidak tahu siapa Zayn."
"Memangnya Zayn belum cerita apa-apa ke Mas tentang gadis itu?" Lagi, Bu Resha berbisik dengan tatapan penuh tanya.
"Belum, sih. Tapi, aku pernah dengar Brayn bilang kalau gadis yang disukai Zayn dilamar orang lain, aku pikir itu hanya bercandaan dia untuk menggoda adiknya."
"Sepertinya ini serius, Mas. Brayn sering bilang kalau Zayn jadi tukang ojek. Awalnya aku juga pikir kalau Brayn bercanda. Tapi, mendengar pembicaraan Bu Windy dengan anaknya, aku jadi curiga kalau tukang ojek yang mereka maksud itu Zayn." Bu Resha menghela napas.
Pak Vino masih berusaha merangkai penjelasan Bu Resha dalam benak.
Menyambungkan dengan kebiasaan aneh putranya yang sering keluar rumah dengan mengendarai sepeda motor.
"Apa mungkin yang mereka bicarakan memang Zayn?"
"Aku sih yakin. Pertama, Aisha mirip dengan wajah gadis yang fotonya pernah diperlihatkan Zayn padaku, lalu Brayn bilang gadis itu dilamar laki-laki lain, dan sekarang mereka membicarakan tukang ojek yang tidak punya masa depan. Anak kita dihina, Mas!"
"Ssttt! Tenang. Biar saja. Aku mau lihat sejauh mana mereka menghina," bisik Pak Vino berusaha untuk tidak terpancing.
"Apa Aisha itu anak kandungnya Bu Windy?" tebak Bu Resha.
"Ya tidak tahu. Kasihan daja kalau dipaksa begitu. Lihat wajahnya sedih terus."
Bu Resha melirik gadis di meja sebelah. Wajah manis gadis belia itu tampak murung dan agak pucat. Bias ketakutan terlihat di sana.
"Kita harus bicara dengan Zayn untuk menanyakan ini," sela Bu Resha.
"Ya sudah, malam ini saja. Kita juga mau ke rumah barunya Brayn malam ini, kan?" balas Pak Vino.
Suara Bu Windy kembali terdengar ke telinga mereka.
"Pokoknya Mami tidak mau tahu, Aisha! Kamu harus mau menikah dengan Azka. Dia itu bisa menjamin hidup kamu dan menyelamatkan perusahaan Papi! Sedangkan si tukang ojek itu, dia belum tentu bisa kasih kamu makan!"
Pak Vino menarik napas.
Hatinya memanas mendengar hinaan yang dilontarkan wanita itu pada seseorang yang diduga adalah putranya.
**
**
"Kamu ini maunya apa sih, hah?"
Tubuh Aisha terhempas ke tempat tidur setelah mendapat dorongan keras dari sang mami.
Bibir gadis remaja berusia 19 tahun itu mengatup rapat, menahan tangis.
"Awas saja kalau lamaran besok kamu membuat Mami malu! Ingat ya, Aisha, perusahaan Papi kamu itu sudah diambang bangkrut. Azka satu-satunya orang yang bisa membantu kita sekarang!"
Aisha terdiam. Ingin melawan pun percuma. Bahkan ayahnya sendiri tak sanggup membelanya dari sang mami.
Terlebih sejak perusahaan keluarga mengalami kemunduran, ia bahkan harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri.
"Kenapa bukan Kak Syarin saja yang menikah dengan Mas Azka, Mi?" Aisha berucap lirih.
"Karena Azka maunya kamu!"
Tangan Aisha meremas seprai kuat-kuat.
Ingin rasanya ia menjerit agar seluruh dunia tahu kehidupan macam apa yang sedang ia jalani.
Terkurung di dalam sebuah keluarga yang lebih mirip seperti penjara, sementara ayahnya sendiri seperti robot yang selalu mengikuti keinginan istrinya.
"Sekarang kamu ke dapur! Masak untuk makan malam!" perintah wanita itu, lalu melangkah keluar.
Setelah menormalkan napas yang memburu, Aisha perlahan bangkit menuju dapur.
Ia sempat melihat Syarin, kakaknya yang sedang duduk santai sambil melakukan perawatan kuku.
"Sha, buatkan aku jus apel, ya," pintanya melirik sang adik.
**
**
Rumah baru yang dipersembahkan Brayn untuk Alina tampak indah sore itu.
Mereka baru saja menata ulang letak barang-barang. Sofa, lemari ditata ulang.
Berikut foto-foto yang menghiasi dinding ruang tamu dan ruang keluarga.
Alina sendiri sedang memasukkan bahan makanan ke dalam lemari pendingin untuk acara makan malam keluarga, sementara Brayn sedang membersihkan ruang tengah yang akan digunakan untuk makan malam nanti, sebab ruang makan mereka berukuran minimalis, sehingga tidak akan muat untuk menampung seluruh keluarga.
Brayn meletakkan beberapa bingkai foto ke meja bufet. Memandang sejenak foto pernikahan mereka.
Bibirnya tersenyum memandang wajah Alina yang tampak sangat cantik dengan kebaya putih dan makeup flawless.
"Masyaallah, memang cantik anaknya Om Bro ini." Berhenti sejenak, Brayn beranjak menuju dapur.
Di dalam sana Alina sedang memisahkan beberapa belanjaan. Memasukkan buah dan sayuran ke dalam wadah terpisah.
Brayn kembali terpaku memandangnya. Entahlah, berdekatan dengan Alina selalu mampu membuatnya ingin mengulang pengalaman semalam.
"Sudah belum?" bisik Brayn mendekap dari belakang secara tiba-tiba.
Alina tersentak saat merasakan sepasang tangan melingkar di pinggang, disusul dengan bibir kenyal yang menyentuh leher.
"Kak, aku belum selesai." Alina memberi sedikit jarak, tapi Brayn sepertinya tak rela. Ia terus menempel bak anak kucing.
"Apa lagi?"
"Mau bersihin buah untuk dimasukan ke kulkas."
"Ke kamar sebentar, yuk?" bisiknya manja.
"Mau apa, Kak, masih sore."
"Please! Lima menit saja?" Sebelah matanya berkedip merayu, bibirnya melukis senyum, sementara tangan yang nakal mengusap pinggang.
"Bohong! Lima menit mana cukup untuk Kakak!" Alina paham betul berapa durasi yang dibutuhkan suaminya.
Tentu saja lima menit tidak akan cukup.
"Kalau lebih dari lima menit, kamu boleh minta apa saja sebagai gantinya."
"Yakin?" Alina menatap ragu.
"Ya ampun, anaknya Om Bro! Tidak percayaan sekali."
Tanpa kata, Brayn meraih tubuh itu dan membawanya menuju kamar mereka di lantai atas.
Alina hanya pasrah ketika tubuhnya terhempas pelan ke tempat tidur, disusul dengan tubuh kokoh yang tiba-tiba merangkak di atasnya.
Tak ada perlawanan, apalagi tubuh kekar suaminya itu seperti mengunci, tak memberinya ruang untuk membebaskan diri.
Brayn seperti tahu letak titik kelemahan istrinya itu.
Dari yang semula terpaksa, jadi terhanyut. Dari yang semula mengomel menjadi desahan.
Bahkan, Alina telah lupa dengan buah dan sayuran yang belum selesai dicuci.
Alhasil, hampir setengah jam dihabiskan sang pengantin baru di kamar.
Durasi lima menit yang dijanjikan Brayn pun menguap bersama udara sejuk yang berhembus.
Ting! Tong!
Suara bel mengalihkan perhatian mereka berdua.
Alina yang masih berada di bawah pelukan suaminya itu refleks mendorong dada hingga keduanya terpisah.
"Ada tamu, Kak," ucapnya panik, sambil mencari pakaiannya yang terhempas entah ke mana.
"Duh, siapa lagi sih? Ganggu orang saja sore-sore." Brayn menggerutu sambil bangkit memunguti pakaiannya.
"Kakak buka pintu, ya. Aku mau ganti baju!" Secepat kilat Alina melesat ke kamar mandi.
Sementara Brayn segera keluar kamar sambil mengenakan baju kausnya. Berjalan menuju ruang tamu depan sambil menggerutu.
Ingin rasanya memaki siapa pun yang mengganggu sore hari yang berharga ini.
Namun, saat membuka pintu, ia tersenyum saat menyadari yang ada di sana adalah ayah mertuanya bersama Joane.
"Assalamualaikum," sapa Joane lebih dulu.
"Walaikumsalam, Om," balas Brayn tersenyum.
"Sepertinya kita datang di saat yang kurang tepat." Joane menahan senyum menatap Bagas.
"Tidak kok. Sedang beres-beres rumah saja, Om," kilah Brayn tersenyum. "Silahkan masuk."
"Yakin cuma beres-beres rumah?" gurau Joane menatap penuh selidik.
"Memang kenapa, Om?"
"Kalau begitu ... pakai celananya dulu, Pak Dokter. Untung yang datang kita, bagaimana kalau yang datang perempuan?"
Kedua alis Brayn saling bertaut mendengar ucapan Joane. Kepalanya spontan menatap ke bawah.
Sontak raut wajahnya berubah saat menyadari dirinya ternyata hanya mengenakan celana dalaman boxer.
Melihat raut wajah Brayn, Joane hampir menyemburkan tawa. Sementara Bagas tampak syok dengan sambutan menantunya.
"Ya Allah, habis diapain anak gue sore-sore?"
***********
***********
taunya mimpi Thor....
Alhamdulillah kalau masih baik2, saja...😅
biar sama" introspeksi terutama buat miaaaa
double up donk
gak mau denger tapi kedengeran